Dilayani Napi, Kopi Janji Bui Jadi Menu Andalan

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Dilayani Napi, Kopi Janji Bui Jadi Menu Andalan


Sarana asimilasi dan edukasi bagi warga binaan di penjara makin beragam. Tidak melulu kegiatan pertanian dan perikanan. Usaha masa kini yang banyak digandrungi pun digeluti. Misalnya, Lapas Kelas II-A Sidoarjo yang memiliki D’prodeo Cafe sebagai alternatif tempat ngopi warga Kota Delta. Melibatkan narapidana sebagai pelayannya.

MAYA APRILIANI, Surabaya

Yunita Suci Lestari cukup ahli membuat ramuan minuman berbahan dasar teh. Seduhan teh tubruk buatan warga binaan Lapas Kelas II-A Sidoarjo itu pun harum. Membuat semua orang yang disuguhi terpikat untuk segera meminumnya.

Tidak hanya pandai membuat minuman, Yunita juga pandai dalam hal pelayanan dan hitungan. Tak heran, perempuan 31 tahun itu dipercaya untuk menangani pelayanan menu dari pelanggan.

Termasuk menerima pembayaran. Ibu satu anak itu tidak canggung menjalankan tugas tersebut. Dia mengaku sudah terbiasa melakukannya sebelum menjadi warga binaan. ’’Dulu pernah bekerja di kafe juga,’’ ucapnya, lantas tersenyum.

Soal melayani pelanggan, Yunita sudah terbiasa. Dia juga telah kebal dengan beragam karakter orang. Warga binaan di blok wanita (W) itu bisa menghadapi pelanggan dengan sabar.

Yunita yang dibui karena kasus pemalsuan dokumen mengaku senang bisa terpilih menjadi bagian D’prodeo Cafe. Tidak semua warga binaan memiliki kesempatan sama seperti dirinya.

Proses untuk bisa lolos menjadi tim kafe milik penjara di tengah Kota Delta itu tidak mudah. Ada seleksi yang harus dilalui. Selain latar belakang dan pengalaman, karakter juga menjadi pertimbangan.

Termasuk perilaku di dalam hunian. Bahkan, untuk bisa ’’bekerja’’ di luar jeruji besi, harus ada pihak yang menjamin dia. Keluarga memastikan bahwa Yunita bisa dipercaya. Tidak akan berulah dan melarikan diri meski berada di luar bui. ’’Jadi, tidak langsung bisa di sini,’’ lanjut warga binaan yang divonis 4,5 tahun penjara itu.

Bahkan untuk dapat melayani pembeli, dia harus mengikuti pelatihan dulu. Sebelum kafe dibuka secara resmi, dia menjalani praktik melayani pembeli. Bersama empat warga binaan lainnya.

Total napi yang dipercaya di kafe tersebut lima orang. Dua orang di bagian pemesanan, dapur, dan pembayaran. Tiga orang lainnya bertugas untuk mengantarkan pesanan pelanggan. Yunita termasuk di bagian pemesanan, dapur, dan pembayaran. Dia berada di dalam kafe yang berbentuk kontainer itu.

Luas kafe berwarna merah itu 10 meter persegi. Di dalamnya, ada kompor, beragam jenis kopi, sirup, dan makanan beku. Tapi, tidak semua pesanan dimasak di tempat tersebut.

Ada dapur khusus yang dipakai untuk memasak menu pesanan pelanggan. Letaknya di sebelah tempat pencucian mobil. Ukurannya lebih kecil. Didominasi warna kuning. Di dalam dapur itu ada beragam piring dengan berbagai ukuran. Mulai kecil hingga besar.

Yunita yang sudah menjalani pidana selama satu tahun delapan bulan selama ini hanya mengikuti kegiatan pembinaan di dalam lapas. Membuat kerajinan atau pengajian. Dengan adanya tambahan kegiatan berjualan di kafe, dia lebih senang. ’’Tidak mikir kapan cepat pulang. Pasti capek banyak kegiatan, tapi senang,’’ ucap perempuan asli Surabaya itu.

Justru dengan banyaknya kegiatan itu, dia bisa sejenak melupakan masalah. Kerinduan pada keluarga pun bisa sedikit terkikis. Dia bisa menghirup udara di luar penjara meski dalam kontainer juga tidak leluasa.

Beruntung, Yunita tidak sendirian. Ada M. Farid Setyawan yang menjadi rekan kerjanya. Laki-laki 22 tahun itu juga berpengalaman di bidang kafe. Sebelumnya, dia menjadi waitress di salah satu kafe di Sidoarjo. Sering juga melayani pelanggan. Sekarang tugasnya berbeda. Khusus di bagian masak dan meracik minuman. Spesialisasinya membuat sajian kopi.

’’Khas di kafe ini kopi janji bui,’’ kata Farid. Minuman berbahan kopi yang dicampur susu racikannya dibuat ala kafe penjara. Ada 28 jenis minuman yang dapat dipesan. Dingin atau panas. Kopi janji bui dibanderol dengan harga tertinggi.

Menu makanan masih terbatas. Hanya ada mi instan goreng atau kuah dengan harga Rp 7 ribu. Harga berubah jika ditambah kornet, telur, atau keju. Harga masing-masing topping itu Rp 5 ribu.

Camilannya lebih beragam. Ada 12 macam. Mulai siomay ayam hingga nugget pisang. Ada juga camilan dengan nama bola-bola bui. Bahan dasarnya dari singkong. ’’Nugget pisang dan bola-bola bui dibuat warga binaan sendiri,’’ lanjut Farid.

Para perempuan di blok W yang membuat makanan tersebut. Bahan bakunya masih membeli. Lahan asimilasi di sebelah kafe belum ditanami pisang atau singkong. ’’Bahan camilan sudah jadi, tinggal menggoreng atau dipanasi,’’ kata napi kasus penganiayaan yang dihukum 5,5 tahun itu.

Farid memegang peran dalam mengolah makanan maupun camilan. Sebab, sebelum kafe diresmikan, dia juga ikut belajar. Kemarin laki-laki asal Pati itu tampak percaya diri. Siap melayani tamu dan undangan yang memesan menu kafe. Dengan celemek dan sarung tangan plastik plus masker yang menjadi peranti pelayanan.

Sama dengan Yunita, Farid juga mengaku beruntung bisa terpilih menjalani asimilasi di kafe. Hal itu membuat pengalamannya di bidang kafe bertambah. Ilmu wirausaha makin terasah. Dia pun memiliki keinginan untuk membuka usaha serupa selepas bebas dari penjara. ’’Semoga pendemi cepat berakhir dan makin banyak pembeli,’’ ucapnya.

Kafe di pinggir jalan itu kemarin (16/10) diresmikan Plt Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kemen PAN-RB Jufri Rahman. Dia berkeliling untuk melihat loket-loket pelayanan di Lapas Kelas II-A Sidoarjo. Juga menanyakan teknis pelayanan kepada masyarakat. Termasuk melihat lahan asimilasi untuk pembibitan lele dan kegiatan potong rambut yang juga digawangi para napi.

Jufri mengapresiasi berbagai kegiatan di Lapas Delta. ’’Ini upaya yang sangat positif untuk WBP (warga binaan pemasyarakatan),’’ katanya. Apalagi, lanjut dia, dalam menjalankan kegiatan tersebut, WBP mendapat komisi 20 persen dari hasil kerja mereka.

Menurut dia, kesuksesan pembinaan lapas adalah WBP menjadi orang yang berhasil saat mereka sudah keluar dari lapas atau rutan. ’’Soft skill sangat diperlukan oleh WBP,’’ lanjut dia.

Kepala Lapas Kelas II-A Sidoarjo Teguh Pamuji menyatakan, jam operasional kafe rencananya pagi hingga malam. Tapi, pagi hanya melayani pembelian minuman. Terutama untuk warga yang mencucikan kendaraan.

Sore hingga malam, kafe dibuka dengan layanan penuh. ’’Lima warga binaan yang terlibat di kafe melayani pembeli,’’ kata Teguh. Mereka bakal berada di luar penjara mulai pukul 16.00 hingga 22.00. Sesuai dengan jam buka kafe.

Itu merupakan hal yang tidak biasa. Sebab, biasanya saat malam, semua warga binaan kembali ke sel. Termasuk mereka yang menjalani program asimilasi, kerja di luar bui. Tapi khusus untuk ’’pekerja’’ di kafe, justru mereka menjalani asimilasi malam hari.

Tidak khawatir melarikan diri? Teguh menyatakan bahwa hal itu telah diantisipasi sejak dini. Mereka sudah melalui seleksi. Paham akan risiko jika lari dari bui. Hak asimilasinya dicabut lagi. 

Saksikan video menarik berikut ini:


Dilayani Napi, Kopi Janji Bui Jadi Menu Andalan