JawaPos.com- Gresik merupakan salah satu kabupaten produsen songkok atau kopiah terbesar di Indonesia. Usaha itu sudah ada sejak tempo dulu. Warisan dari generasi ke generasi. Turun temurun. Pandemi Covid-19 sempat memukul mereka. Bahkan, disebut-sebut pukulan tertelak sepanjang sejarah industri kopiah.
Namun, seiring kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia yang membaik, senyum para pelaku usaha kopiah di Gresik pun mengembang, Usaha mereka telah sembuh. Bangkit kembali. ‘’Di awal-awal pandemi pada Maret 2020 lalu, praktis usaha mandek jegrek. Berhenti total. Kini, alhamdulillah pulih. Sudah 100 persen normal,’’ kata Achmad Toni, salah seorang perajin kopiah di Kampung Kauman, Gresik.
Toni masih ingat betul. Wabah virus Korona itu begitu memukul. Apalagi terjadi pada Maret. Bersamaan menjelang datangnya Ramadan. Padahal, momentum itu merupakan hari rayanya para pelaku usaha kopiah. ‘’Pasar gemuk kami itu pada puasa dan Lebaran. Sampai 70 persen. Begitu pandemi datang, pasar macet, stok di luar tidak terserap, maka produksi pun berhenti,’’ ujar mantan ketua PAC Ansor Gresik Kota itu.
Selama pandemi, Toni memilih memberhentikan usaha. Mesin-mesin konveksi tidak lagi mendesing sepanjang waktu. Sejumlah pekerjanya juga terpaksa dirumahkan hingga beberapa bulan. Sebetulnya, dia juga iba dengan mereka. Sebab, kebutuhan hidup terus berjalan. Bersyukur, Ramadan dan Lebaran tahun ini, situasi Covid-19 relatif membaik. Tren pasar terus menggeliat. Tangan-tangan produksi para pekerja pun bergerak normal.
Toni adalah generasi ketiga. Dia meneruskan usaha dari ayah kandungnya. Ayahnya mewarisi sang kakek. Usaha kopiah itu dirintis sejak sebelum kemerdekaan RI. Mulai memasarkan dengan cara dipikul keliling. Roda Mas, merek kopiah buatan Toni, telah cukup besar merambah pasar nasional. Terutama di kabupaten/kota Pulau Jawa, sebagian Sumatera, dan Kalimantan.
Bahkan, saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018, Toni juga mendapat berkah tersendiri. Dia mendapat pesanaan 1.000 kopiah dari Kementerian Pemuda dan Olahraga RI. Kopiah khusus Asian Games 2018 itu tidak ubahnya dengan kopiah pada umumnya. Hanya, di ujung kanan atas kopiah, diberi gambar logo Asian Games 2018.
Gerak produksi kopiah made ini Toni, memang belum full modern atau semua serba mesin. Namun, dia tetap optimistis tetap akan bisa survive. Meski di Gresik ada begitu banyak pelaku usaha kopiah, namun ada pangsa pasar sendiri-sendiri. Tidak saling mematikan. ‘’Pasar kopiah masih sangat besar dan potensial. Selama masih ada bulan puasa dan Lebaran, insya Allah akan tetap bertahan,’’ kelakarnya.
Toni hanya satu di antara perajin kopiah di Kabupaten Gresik yang merasakan dampak hebat pandemi Covid-19. Berdasarkan data dari Pemkab Gresik, ada ratusan pelaku usaha. Mereka tersebar di Kecamatan Gresik Kota, Kebomas, Sidayu, Ujungpangkah, Duduksampayen, Bungah, Manyar, Panceng, Kedamean, Cerme, dan Dukun. Namun, kecamatan yang menjadi sentra adalah berada di wilayah Gresik Kota dan Bungah.
Ada banyak merek kopiah asal Gresik yang sudah begitu membumi. Bahkan, telah dipakai para tokoh nasional sejak dulu hingga kini. Sebut saja, Presiden Soeharto, B.J. Habibie, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo. Beberapa mereka ternama kopiah Gresik di antaranya ada Awing, Roda Mas, Palu, Dua Pendopo, Pondok Indah, Sahara, dan banyak lagi.
Meski sudah bertahun-tahun, Toni mengaku belum banyak sentuhan kehadiran pemerintah. Sebagian besar masih menjalankan usaha mandiri. Menekuni usaha kopiah terbilang tidak rumit. Tuntutan inovasi pasar pun tidak begitu banyak. Maklum, model kopiah dari dulu relatif statis. Kalaupun ada perubahan, tidak banyak. Yang penting, ketersediaan bahan baku. Terutama beludru yang harus impor dari Korea dan Amerika.
Karena itu, harga kopiah pun linier dengan harga beludru tersebut. Makin bagus dan berkualitas beludru, harga kopiah juga makin mahal. Demikian juga, ketika stok beludru langka dan berimbas harga naik, maka juga berpengaruh pada harga eceran kopiah. ‘’Sepengetahuan saya, harga satu kopiah paling mahal ada dalam kisaran Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu. Mayoritas kurang dari Rp 100 ribu,’’ ungkapnya.
Ke depan, Toni dan sejumlah perajin memimpikan ada semacam wadah atau koperasi. Organisasi itu bisa menjadi wadah pengembangan dan pemberdayaan bagi para pelaku usaha kopiah. Koperasi itu yang nanti bisa berperan sebagai tengkulak bahan-bahan bakunya. Lalu, para anggota bisa membeli di koperasi bersangkutan. Tentu, dengan harga lebih kompetitif. Atau, mungkin bisa membayar belakangan,
Dulu sekali, pernah ada koperasi itu. Nah, peran pemerintah bisa MoU dengan negara produsen bahan baku seperti beludru tersebut. Kalau sekarang, perajin kopiah melangkah sendiri-sendiri. ‘’Jadi, sudah waktunya ada kolaborasi sehingga life time usaha kopiah ini benar-benar bisa panjang. Dan, pelaku-pelaku usaha Gresik yang sebagai produsen terbesar nasional kelak tidak punah. Kalau di pelaku usaha batik, kan sudah berjalan demikian,’’ katanya.
Dr Mohammad Thoha, praktisi sejarah Kota Gresik, menyebut, pada 1965-1967 salah satu masa keemasan bagi pelaku usaha kopiah. Termasuk di Gresik. Hal itu dilatarbelakangi konflik antara aparat, kelompok antikomunis, dan PKI dengan lambang palu arit tersebut. Saat itu, tengah ada gerakan pemberantasan PKI sampai ke akar-akarnya. Nah, kopiah yang identik dengan Islam atau kaum santri, menjadi satu simbol identitas untuk melindungi diri dari ancaman pembunuhan agar tidak dicap terlibat sebagai PKI.
Sama dengan kabupaten/kota lain, saat itu di Gresik juga terjadi pembunuhan para tokoh dan konsituen PKI. Dulu, basisnya banyak di wilayah selatan. Sedangkan Gresik utara atau pesisir adalah kaum santri. Lokasi eksekusinya di laut. Namun, Thoha tidak ingin menyalahkan satu pihak. Sebab, yang berkembang saat 1965-1967 itu pilihannya membunuh atau dibunuh. ‘’Tapi, itu bagian dari rentetan sejarah panjang di mana-mana. Relasi antara Islam, terutama NU dan PKI,’’ ungkapnya.
Karena itu, lanjut dia, wajar kalau masyarakat saat itu beramai-ramai memakai kopiah. Jadi peneguhan diri termasuk kaum santri.’’Bahkan, sampai sekarang kan lihat saja terkadang orang lebih suka pakai kopiah daripada pakai baju. Orang mencari rumput saja ada yang memakai kopiah, sambil agak mengkreng begitu dan kadang tidak berbaju,’’ ujarnya.
Menurut Thoha, ada banyak versi tentang sejarah panjang kopiah. Sebagian literatur ada yang menyebut kopiah sudah mulai ada sejak pemerintahan Sunan Giri abad ke-15. Namun, ada juga yang menyatakan perkembangannya pada era kolonial Belanda. ‘’Sebagai simbol santri, antiasing atau bukan bagian dari penjajah. Sebab, dulu kan blangkonan,’’ jelas mantan sekretaris PCNU Gresik itu.
Dalam perkembangannya, Thoha mengungkap ada sebagian kelompok yang berusaha kuat mendeskralisasi kopiah sebagai salah satu kebangaan di Nusantara. Yakni, dengan mengampanyekan atau mengenakan busana ke-Arab-Araban. Seolah yang memakai kopiah dinilai kampungan, tradisional, dan sejenisnya. Sedangkan mereka mengklaim lebih Islami.
‘’Nah, gerakan ini mesti diwaspadai. Kita mesti tetap bangga dengan kopiah sebagai salah satu identitas Indonesia seperti banyak disebut Bung Karno para pendiri negeri ini serta leluhur kita,’’ pungkasnya.