Menumpang perahu mesin, pada suatu terik siang, sampailah saya di muara Sungai Way Apu yang lebar. Kota kecil Namlea tempat bertolak terlihat seolah terapung di seberang Teluk Kayeli. Alferd Russel Wallace, naturalis Inggris, yang tahun 1861 sudah berburu burung, capung, dan kupu-kupu di muara Way Apu pasti tidak menduga bahwa di tempat air meluah, ada perkampungan yang justru berada di atas air.
—
ITULAH Kampung Kaki Air, atau Oja Sallo dalam bahasa Bugis.
Saya duduk di sebuah warung bertiang kukuh. Kepala kampung yang saya jumpai di rumahnya mengajak saya berbincang di luar karena hawa rumahnya sedang sumuk. Sambil ngopi, tentu saja, ia bercerita tentang sejarah kampungnya tersebut.
Sesuai namanya, Kampung Kaki Air memang didirikan di atas air dengan tiang-tiang kayu gelam. Kayu ini kian kuat bila terbenam lumpur atau terendam air. Pendiri kampung tak lain para pelaut Bugis dari Kolaka dan sekitarnya. Mereka berlayar ke timur, menghindari kecamuk perang DI/TII pimpinan Kahar Muzakar, 1950–1965. Namun siapa nyana, di sini mereka bertemu para tahanan politik (tapol) 1965. Di depan mata mereka, derita hidup para tapol tak kalah dengan derita kecamuk perang di kampung halaman.
”Ah, begitulah, kitorang masih di tanah air yang sama toh,” kata Bapak Kepala Kampung sambil mengembuskan asap rokok. Sebentar saja asap lenyap diembus angin.
”Betul, Bapak,” jawab saya seraya mereguk kopi pahit.
Selain asal usul Oja Sallo, saya tertarik mendengar cerita beliau tentang sebuah pulau kecil di depan kampung. Dari warung, saya menatap pulau penuh bakau itu. Gundukan tanah memanjang berupa delta kecil membelah muara menjadi dua. Namun, orang-orang menyebutnya pulau, yakni Pulau Nusa Kapal, karena memang terbentuk dari kapal terdampar. Pada masa para tapol dibawa memudiki Sungai Way Apu menuju daratan pembantaran di lembah Waeapo, di atas Pulau Nusa Kapal didirikan rumah jaga atau rumah monyet yang ditunggui petugas bersenjata. Setiap kapal atau perahu masuk dan keluar muara harus melapor di sana.
Sekilas tampak seperti rumah penjaga mercusuar, kata Pak Kepala Kampung berumpama; pedoman bagi kapal-kapal dari hulu atau masuk dari teluk. Pada hakikatnya memang, dengan cahaya senternya yang melesat-lesat, petugas jaga kerap menuntun perahu atau kapal yang lewat malam-malam di situ. Seperti cahaya suar, senter mereka mengarahkan kapal ke alur dalam, menghindari beting, tunggul pohon, dan akar-akar bakauan. Sehingga semua selamat-sentosa membawa padi dalam karung-karung goni buat diselundupkan ke Namlea. Atau sedini hari, kayu gelondongan lewat digalah para tapol yang mendapat tugas corvee dari Dan Tefaat buat dijual secara ilegal di seberang teluk.
Menjadi unik karena ”mercu” itu sendiri berdiri di atas badan kapal karam. Bekas badan kapal mengempang lumpur dari hulu, dan lama-kelamaan menggunduk jadi pulau atau delta mini. Tak ada catatan kapal apa yang terdampar. Namun, menurut warga, pulau itu sudah ada jauh sebelum leluhur mereka mendirikan Kampung Kaki Air.
Tak tertutup kemungkinan itu kapal VOC yang berburu rempah-rempah ke Banda dan nyasar ke pulau kayu putih. Kala itu mereka berburu pala dan cengkih, sementara minyak hijau dari penyulingan kayu putih baru dikenal luas di Hindia pasca kejayaan pala. Atau boleh jadi kapal tersebut terseret arus aer putih yang terkenal ganas dan berbahaya di Maluku sehingga masuk ke Teluk Kayeli. Sial! Arus menyeret kapal terus ke tepi, sampai ke muara Way Apu yang sedang pasang.
Ini perlu penelitian tersendiri, desah Pak Kepala Kampung; ia menyambung rokoknya. Tapi, bagi saya ada yang tak kalah menarik dari itu semua. Setelah mereguk kopi pahit yang kesekian kali, saya simak lanjutan cerita si bapak:
Suatu hari, katanya, seorang petugas rumah monyet menemukan tak sengaja benda dari bawah tanah. Saat itu, sehabis buang air di balik semak bakau, kakinya masuk lumpur. Ia menginjak sebatang kayu yang segera mencuat dan rupanya bukan kayu. Setelah ia tarik hati-hati ternyata itu moncong senapan: sebuah bedil!
Ia menggigil. Mula-mula ia sembunyikan di rumpun bakau. Setelah berbagi informasi dengan tiga kawannya yang piket, senjata itu diambil, dilap pelan-pelan. Mengilap, kecuali ada bagian tetap karat. Mereka lalu berbagi tugas. Saat dua orang berjaga, dua orang lain menggali, seakan membuat perigi tawar di antara air payau. Mereka temukan sepucuk bedil lain sudah lapuk dan patah. Mereka tambah semangat menggali.
Semua dilakukan diam-diam karena jika ketahuan komandan, mereka bisa ditempeleng karena penggalian ilegal atau dianggap melalaikan tugas. Lebih dari itu, mereka tak akan dapat hasil. Komandan pasti berleleh iler sebagaimana sifatnya di Unit; hijau matanya melihat pohon-pohon ditebang, papan digergaji dan panen padi para tapol. Jadi, kenapa harus berbagi sesuatu yang pasti tak akan adil-merata dengan komandan?
Sesungguhnya, meski kalangan berpangkat rendah, prajurit jaga Nusa Kapal cukup makmur juga karena punya pemasukan tetap dari hasil ”lapor-melapor”. Setiap ada rombongan tapol corvee bawa kayu, papan, atau padi ke Namlea, mereka selalu dapat jatah dari hasil penjualan gelap itu. Namun, karena mereka bertugas di atas lambung kapal yang ditaksir menyimpan kekayaan, bukankah mereka pun berhak kaya seperti para komandan? Ya, mereka bahkan percaya kapal bermuatan emas, gulden, atau mata uang kuno. Demi hasil maksimal, tapi rahasia tetap terjaga, mereka putuskan melibatkan warga. Tentu yang dapat dipercaya menyimpan rahasia. Jadi, penggalian Nusa Kapal kian menjanjikan.
Sampai di situ saja cerita asal usul Nusa Kapal saya dengar. Bapak Kepala Kampung juga tak berhasrat melanjutkan. Tapi siapa menduga, keesokan harinya saat saya lanjut menyusuri Pantai Sanleko –salah satu tempat pendaratan awal tapol– saya bertemu La Tondu. Ia memberi isi, atau katakanlah jiwa, pada cerita yang sebagian sudah saya dengar di Oja Sallo, Kaki Air.
***
La Tondu, nelayan Pantai Sanleko, diajak ke Nusa Kapal bersama dua temannya oleh prajurit Tonwal Unit Garam. Itu sesuai pesan prajurit jaga di Nusa Kapal supaya membantu mencarikan warga untuk diajak bekerja sama. Rupanya, prajurit jaga sengaja mencari warga yang tinggal agak jauh dari lokasi supaya informasi penggalian tak bocor ke kampung terdekat. Dan melalui sesama prajurit, seorang Tonwal berhasil mencarikan tenaga yang dimaksud –tentu dengan sejumlah kesepakatan.
”Tim” La Tondu bersampan ke muara Sungai Way Apu. Di sana mereka diminta menggali tanah Nusa Kapal. Rimbunan bakau menyembunyikan aktivitas mereka sepanjang siang hingga malam. Mereka temukan tambahan senjata dan amunisi. Peluru berkarat dan bedilnya banyak yang patah. Tapi, kata prajurit jaga, semua bisa diperbaiki dan disepuh kembali. Prajurit lain telah dapat informasi tempat reparasi senjata di Namlea dan Ambon, sekalian tempat menjualnya di pasar gelap.
Sementara bagi La Tondu, saat-saat menggali seperti itu, mengingatkannya pada KRI Dompu yang dituduh menyelundupkan 5.000 pucuk senjata di Teluk Sampolawa, kampung halamannya di Buton sana. Senjata itu konon untuk melawan pemerintah dan menghidupkan ajaran komunis. Semua pihak yang dianggap terlibat ditangkap. Tak terkecuali La Tondu. Waktu itu ia kuli pelabuhan. Ia dibawa ke kantor koramil setempat bersama buruh lainnya. Karena semua orang mengenal mereka sebagai kuli pelabuhan, setelah sedikit ”dipermak”, mereka diperbolehkan pulang.
Peristiwa awal tahun 1969 tersebut tak mudah tercerabut dari ingatan La Tondu.
Ia juga tahu bahwa pejabat dan sejumlah bangsawan yang ditangkap konon dibawa ke sebuah pulau yang kemudian diberi nama Pulau Ular. Itu untuk mengelabui nelayan supaya tak ke sana sebab banyak mayat pesakitan yang ditanam. Bahkan Bupati Buton, M. Kasim, dibawa ke Kendari, lalu dipulangkan ke penjara Baubau, dan tak lama setelah itu ditemukan tewas. Padahal diketahui kemudian, KRI Dompu hanya mengalami kerusakan mesin dalam perjalanan ke Maluku sehingga terpaksa singgah di Teluk Sampolawa. Ajaibnya, inilah yang dijadikan sumber fitnah, entah oleh siapa dan untuk apa.
La Tondu yang waktu itu berusia 17 tahun tak ingin berpikir apa-apa lagi. Ia beserta beberapa keluarga Buton senasib melarikan diri ke Buru. Mereka menetap di Pantai Sanleko. Menjadi nelayan dan membuat garam. Sebagian menebang sagu dan menyuling kayu putih. Pekerjaan apa pun asal halal. Sampai suatu hari, Tonwal yang mengawasi tapol pembuat garam (disebut juga Unit Khusus Garam Sanleko, sebagaimana Unit Khusus Kayu Putih di Keteltimba) mengajak mereka untuk sebuah ”proyek” di Nusa Kapal.
Itulah awal mula La Tondu terlibat. Sebenarnya ia masih trauma berurusan dengan tentara, tapi ada nada memaksa dalam ajakan itu. Maka, sebagaimana orang-orang Bugis di Oja Sallo, keluarga Buton di Sanleko ini juga masih di tanah air yang sama toh?!
***
La Tondu, dalam usia 23 tahun saat itu, terus menggali dan menggali; saya bayangkan ia seperti menggali cerita dan ingatan saat ini, dalam usia lebih 60. Banyak senjata dan barang yang mereka temukan. Lambung kapal itu seolah lumbung senjata. Kadang La Tondu bergidik ngeri, jangan-jangan yang ia gali adalah kapal perang Dompu, sebab bukankah menurut kabar kapal yang dimaksud dalam perjalanan ke Maluku? Sejak meninggalkan Buton, ia putus berita dari dunia luar sehingga tak pernah tahu lagi mengenai kapal Dompu. Bahkan ia berjuang melupakan semua itu.
Akan tetapi malahan, dalam tahun yang sama dengan pelariannya, Agustus 1969, sebuah kapal perang lain tak kalah besar berlabuh di Teluk Kayeli: Kapal ADRI XV. Kapal tersebut membawa tapol ’65 dari Jawa. Dan Pantai Sanleko jadi tempat pendaratan pertama, selain muara Way Apu. Orang-orang bernomor punggung didaratkan dengan landing craft, bahkan di kemudian hari mereka ikut membuat garam.
Sampai akhirnya, pengujung tahun 1974, La Tondu diminta bekerja di Nusa Kapal. Hanya sementara. Bila penggalian usai, ia akan kembali menambang garam di Sanleko. Namun entah bagaimana, penggalian itu diketahui Dan Tefaat!
Para prajurit rumah monyet segera menuding La Tondu dan kawan-kawan telah menggali diam-diam!
Tak ada lagi yang dapat dikatakan. La Tondu dan tiga kawannya ditangkap dan siap dikirim ke Jikukecil. Jikukecil, Anda tahu, itu tempat interogasi dan penjara terkejam di dunia, diperuntukkan bagi tapol bermasalah. Mereka yang berulah di Unit-Unit Waeapo akan digiring menyusuri Sungai Way Apu, menyeberang teluk, lalu diangkut truk ke bagian atas Kota Namlea. Di tepi savana kering terletak penjara Jikukecil itu.
La Tondu merenungi nasibnya bersama dua kawannya sesama orang Buton. Mereka melarikan diri ke Buru untuk menjadi manusia bebas karena trauma dengan peristiwa 1969 di tanah kelahiran. Tapi, sebentar lagi mereka akan jadi pesakitan seperti para tapol. Itu pun jika masih untung selamat keluar dari Jiku.
Karena penjara di Jiku waktu itu masih penuh oleh para pesakitan pascaperistiwa 12 November 1974, La Tondu dan kawannya sementara ditempatkan di bangunan kosong belakang rumah monyet. Peristiwa 12 November itu sendiri terjadi di Unit II/Wanareja, tak jauh dari markas komando (mako): seorang prajurit Tonwal dihabisi sekelompok tapol yang melarikan diri. Selain perburuan di seluruh Buru (mengerahkan helikopter), semua Unit di Waeapo ”dibersihkan” secara besar-besaran. Para pantolan ”intelektual” diangkut ke Jiku. Entah sudah berapa kapal lewat di muara Way Apu.
La Tondu melihat semua itu dan sangat menderita menanti giliran. Prajurit yang mengajaknya dulu menggali sudah tak kelihatan lagi. Kini ada prajurit pengganti yang sebenarnya juga ikut menikmati penjualan beberapa barang kepada kolektor. Sebagian lain tak terlihat lagi, konon, mereka sudah lebih dulu ke Jiku.
”Jangankan kalian, petugas yang luput mengawasi kalian pun sudah dipermak di Jiku,” kata si petugas pengganti. La Tondu antara percaya dan tidak, sebab mutasi kadang untuk menyelamatkan prajurit yang bersalah. Ia juga masygul dengan ungkapan ”luput mengawasi kalian” karena jelas ia diajak, bahkan dipaksa.
Hasil galian harta karun mereka pun masih dikemasi. Komandan memerintahkan prajurit pengganti untuk mengatur barang-barang temuan itu ke dalam peti. Tinggal menunggu kapal ke Ambon, barang akan diberangkatkan karena konon harganya lebih mahal dibanding pasar gelap Namlea. Jelaslah La Tondu dan kawannya dijadikan alasan atau alibi, sementara barang itu tak menghalangi para prajurit dan terlebih komandan beroleh limpahan rezeki.
Sebentar lagi mereka akan ”dijikukecilkan” dan mungkin dieksekusi. Sementara para prajurit yang telah mengulurkan ”mawar” akan menjadi kaya raya dan hidup bahagia.
Ada satu ungkapan dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Pramoedya Ananta Toer: uluran tangan penuh duri. Sebenarnya itu ungkapan Kadis, mantan wartawan Ekonomi Nasional di Jakarta. Kadis (tak disebut lengkapnya) pernah jadi staf pabrik pensil Indonesia Pertama dan Pram penasihatnya. Pram dan Kadis sama terbuang ke Buru, bahkan tinggal di Unit bersebelahan. Tapi, yang penting kita ketahui adalah arti ungkapan itu: bahwa ada bantuan diulurkan tangan seseorang, lembut seperti mawar, pada seseorang lain yang membutuhkan, padahal di balik uluran tangan itu ada duri yang tajam!
Nah, itu dialami La Tondu dan kawannya! Para prajurit mengulurkan tangan penuh duri. Membuat mereka menderita kini.
Namun, Tuhan berkehendak lain. Pada hari keempat, hujan lebat sepanjang hari. Muara meluap, menggulung sekalian rumah monyet dan para prajurit jaga yang tertidur. La Tondu yang tak bisa tidur sepanjang malam itu berenang meloloskan diri. Masih ia lihat barang-barang antik yang dikemasi itu hanyut terapung-apung dalam peti, bersama sepatu, topi, dan baju dinas prajurit jaga. Tapi, ia tak melihat kawan-kawannya lagi.
La Tondu terdampar di Pantai Masarete dekat Kayeli. Menumpang perahu nelayan, ia melarikan diri untuk kali kedua. Kali ini ia sembunyi di Pulau Manipa, di timur Buru; itu kampung halaman Kapten Jonker yang bersama Aru Palaka terkenal di Batavia sebagai penakluk Pariaman dan Ulakan di pantai barat Sumatera.
La Tondu kembali ke kampung keduanya di Sanleko setelah rombongan tapol terakhir dipulangkan ke Jawa tahun 1979; bersamaan datangnya rombongan awal orang-orang trans. Ia kembali jadi penambang garam, seperti saat saya jumpai. (*)
Namlea-Jembrana-Bantul, 2018–2021
Catatan:
Tonwal = Peleton Pengawal, satuan prajurit pengawal Unit.
Unit = Kompleks barak tapol. Total ada 21 Unit, di samping Unit Khusus.
Dan Tefaat = Komandan Tempat Pemanfaatan (Inrehab) Pulau Buru, mengepalai Unit.
Corvee = Tugas lapangan, biasanya mendadak dan rahasia, dari Dan Tefaat kepada tapol.
—
RAUDAL TANJUNG BANUA, Buku cerpennya antara lain Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai dan Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan.