Horor Bahasa

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Horor Bahasa


Kenapa Tuhan tidak menciptakan bahasa yang pasti-pasti saja? Yang mencakup segala hal yang ada di muka bumi. Setiap hal memiliki ekspresi kata maupun frasa masing-masing, dan orang tak akan salah paham? Aturan tata bahasa cukup satu dan konsisten?

—-

PERTANYAAN itu tak perlu jawaban. Karena kenyataannya, kita tahu bahasa merupakan hal yang tumbuh bersamaan dengan evolusi manusia, bahkan secara biologis. Dari bunyi yang sederhana sampai sistem aksara dan tata bahasa yang semakin rumit.

Jika kita bicara tentang kebebasan, bahasa merupakan wilayah yang kita bisa bayangkan awalnya merupakan lautan kebebasan. Ketika kita menemukan hal-hal yang tak bernama, kita memberinya nama. Ketika kita ingin menyampaikan informasi, kita menciptakan sistem agar informasi itu tersampaikan.

Bayangkan, sambil menulis esai ini saya mendengarkan lagu lama yang dinyanyikan ulang Via Vallen, Kopi Dangdut. Kalau dipikir-pikir, sebetulnya apa makna dari kopi dangdut? Apakah itu sejenis kopi, seperti kopi tubruk, kopi arabika, atau kopi aceh? Atau itu sejenis musik, varian lain dari musik dangdut?

Saya hanya bisa menebak-nebak. Si pencipta lirik, Fahmi Sahab, mempergunakan kehendak bebasnya untuk menciptakan frasa tersebut, jika memang ia orang pertama yang mempergunakannya.

Menilik hubungan manusia dengan bahasa sebetulnya seperti mengintip bagaimana manusia bergelut dalam kebebasan dan kontrol kekuasaan.

Mari kita lihat. Sebebas-bebasnya kita bisa menciptakan kata, mempergunakan bahasa, pada titik tertentu kita sadar bahwa untuk sama-sama bisa dimengerti, harus ada kesepakatan di antara pengguna bahasa. Kesepakatan itu merupakan benih-benih kontrol, meskipun relatif longgar.

Ini persis sebagaimana kehidupan warga sehari-hari. Kita bebas bergerak ke sana kemari. Bebas memakai pakaian apa pun. Bebas makan apa pun. Lalu, kebebasan itu mulai direnggut oleh kebebasan orang lain. Komunitas, dalam tingkat tertentu bisa negara, mulai menciptakan aturan.

Dalam berbahasa, aturan-aturan itu jelas diciptakan. Bahasa Indonesia setidaknya mengenal Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Itu belum termasuk aturan tata bahasa hingga mana kata yang benar dan kata yang salah (yang sebetulnya lebih merujuk ke ragam bahasa).

Apakah aturan-aturan itu semata-mata merupakan upaya agar kekacauan berbahasa terhindari? Apakah itu bisa disamakan dengan aturan berlalu lintas agar kendaraan tak saling bertabrakan? Apakah bisa disamakan dengan hukum agar orang tak saling mencuri dan membunuh?

Mari kita berpikir positif bahwa memang itulah tujuannya.

Masalahnya, di sisi lain aturan bukan lagi soal kesepakatan bersama. Bukan lagi soal kalau berkendara sepakat berada di sebelah kiri. Bukan soal kita sama-sama sepakat bahwa ”apel” merujuk ke satu jenis buah. Soalnya, aturan menciptakan situasi di mana ada pihak yang mungkin melanggar aturan, dan pihak yang bertugas menegakkan aturan.

Hierarki ini menciptakan kuasa, dan kuasa cenderung korup. Polisi merasa berhak untuk mengukur kecepatan kendaraanmu, memeriksa surat-surat. Kita? Tentu tak memiliki hak tersebut.

Seperti saya bilang, hubungan manusia dengan bahasa bisa menjadi cermin bagaimana manusia menghadapi dinamika kuasa. Seperti kasus urusan lalu lintas, akan muncul pihak yang merasa lebih superior dalam berbahasa. Mereka bahkan tak ragu untuk menentukan mana kata yang salah dan mana yang benar.

Ketimpangan kuasa ini sering kali menciptakan reaksi. Jika akhir-akhir ini bermunculan protes masyarakat atas kelakuan anggota kepolisian, bukan kebetulan bahwa pada saat yang sama kita mendengar protes-protes masyarakat pada beragam otoritas bahasa, seperti Badan Bahasa maupun produk turunannya semacam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Meskipun begitu, horor sesungguhnya dalam ketegangan antara kebebasan dan kontrol ada di tahap berikutnya. Tahap yang saya pikir sedang kita hadapi sekarang, di segala bidang. Tahap pengawasan.

Kamera CCTV ada di mana-mana. Kita bisa kena tilang bahkan tanpa harus ada polisi yang menyaksikan pelanggaran kita, asal terekam. Sesama warga saling mengawasi (bahkan mencurigai). Zaman ini adalah zaman pengawasan, di mana semua orang dicurigai akan berbuat salah.

Pergerakan kita dipantau melalui gerak gadget yang kita bawa, laman internet yang kita buka, barang yang kita beli (karena bayar pakai kartu kredit/debit atau dompet digital).

Dalam berbahasa: bicara sedikit campuran Inggris diomeli orang. Menulis novel tak taat aturan berbahasa (baik karena ketidaktahuan maupun karena pilihan) dianggap sebagai tak bermutu. Tak hanya itu.

Bayangkan kita pada titik di mana berbahasa pun berada dalam pengawasan. Jika digabungkan dengan kekuasaan, mengatakan kata ”mampus” bisa dianggap sebagai ancaman pembunuhan, alih-alih sebagai ejekan atau pengganti ”syukurin”, sebagaimana sempat ditafsir oleh humas kepolisian yang juga viral.

Kenapa bahasa tak lahir dengan cara yang pasti-pasti saja? Mungkin karena semesta ingin kita menghadapi horor yang terus berputar ini. Ia ingin kita menjalani pertarungan tanpa akhir, antara mereka yang merindukan kebebasan dan menghendaki kontrol.

Lagi pula memiliki kontrol itu menyenangkan. Sebab kuasa itu candu. (*)

EKA KURNIAWAN, Penulis dan novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016


Horor Bahasa