Dari Narasi Hibrida ke Bahasa Umum

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Dari Narasi Hibrida ke Bahasa Umum


Sejak musim semi 2020, seluruh dunia terkena dampak Covid-19. Karantina diri, lockdown, jarak fisik dan disinfeksi, semua tindakan pengendalian kesehatan ini telah menjadi kenyataan baru dalam kehidupan kita sehari-hari.

—-

TAPI, ketidaknyamanan dan kecemasan yang disebabkan tindakan ini tidak pernah menjadi kehidupan yang kita harapkan. Meskipun beberapa intelektual di bidang ilmiah, ekonomi, dan politik percaya adanya transisi kondisi kehidupan menuju masa depan yang lebih egaliter dan ekologis, sistem ekonomi neoliberal yang menghancurkan planet kita dan meningkatkan risiko penyakit zoonosis tetap dominan.

Eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja, produksi komoditas yang berlebihan, dan manipulasi keuangan oleh perusahaan internasional tampaknya tidak pernah menghentikan atau mengurangi skala dampak yang mereka timbulkan. Dengan mempertimbangkan kondisi kehidupan dalam krisis permanen ini, apa yang bisa dilakukan seniman? Bagaimana mereka menanggapi situasi ini, atau bahkan melawan keruntuhan sosial, politik, dan ekologi? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul sebagai subjek utama refleksi para pelaku dalam sesuatu yang konon disebut artworld.

Berfokus pada pengembangan berbagai praktik seni untuk menjawab masalah sosial dan ekologis di Indonesia, seniman Anang Saptoto menggagas proyek ”PARI” (Panen Apa Hari Ini) tepat sebagai langkah penguatan pemerintah terhadap pandemi yang mengubah kehidupan seluruh warga negara ini. Proyek ”PARI” ini utamanya bertujuan membangun kembali rantai pasokan pertanian pangan lokal dengan bantuan produksi artistik dan internet.

Sepintas, orang mungkin mendapat kesan bahwa proyek ini tidak begitu ”artistik”. Secara khusus, jika peserta aktif atau publik yang ingin tahu mengikuti beberapa prosedur dasar proyek, seperti pengembangan jaringan lokal organisasi pertanian, penguatan hubungan pertukaran yang adil dan solidaritas, pembentukan basis data daring untuk kegiatan tersebut, atau produk jaringan ”PARI”, mereka hanya dapat melihat komponen artistik melalui foto dan poster yang dipamerkan dalam pameran atau ditawarkan sebagai produk tambahan.

Dari perspektif ini, tampaknya masuk akal untuk menganggap seni sebagai sesuatu yang memberikan surplus value bagi rantai pasokan pertanian pangan ini. Barangkali, begitulah kesan pertama para audiens mengenai karya-karya Anang Saptoto dalam dua pameran tahun 2020 dan 2021 di Taiwan dengan tema ”HUN”, yang diselenggarakan kurator Shenglin Wu. Dua pameran tersebut masing-masing berjudul ”HUN: Time of Mixing” dari 4 hingga 13 Desember 2020 di Festival Foto Taipei dan ”HUN: Traveling in Different Perspectives” yang diselenggarakan 10 Mei hingga 11 Juni 2021 di Galeri Seni Media Kreatif Universitas Kun Shan di Tainan.

Kata ”HUN” menandai pengucapan sinogram polisemi ” ” yang menandakan hibridisasi, chaos, dan gangguan. Setidaknya, kata ini menjadi titik tolak untuk memahami hubungan antara proyek ”PARI” Anang Saptoto dengan karya seninya. Karena itu, dalam dua pameran ”HUN” di Taiwan, ia menunjukkan serangkaian montase potret, di mana orang-orang yang difoto ”dicangkokkan” ke tanaman atau produk makanan dengan cara yang berbeda tergantung pada perannya sebagai konsumen atau produsen.

Karena itu, gambar-gambar yang agak lucu atau bahkan fantastis ini merupakan ”narasi hibrida”, yang juga membentuk ”fiksi” tertentu. Namun, fiksi ini tidak menceritakan kisah imajiner yang dibangun bersama oleh semua peserta dan produk pertanian pangan lokal. Sebaliknya, ia menawarkan kepada kita kemungkinan untuk melawan krisis sosial dan ekologi melalui rekonstruksi nyata dari hubungan produksi alternatif dan lokal. Dengan kata lain, narasi-narasi hibrida yang dihadirkan dalam karya-karya Anang Saptoto kurang mengungkap ideologi utopis yang belum selesai ketimbang elemen-elemen konkret yang menjadi saksi jejak-jejak perkembangan proyek ”PARI”.

Dari gambar-gambar yang dipamerkan dalam pameran-pameran ini, kita mungkin bisa memunculkan makna estetis proyek dengan mengandalkan pengetahuan dan kebiasaan kita yang telah lama dikondisikan dunia seni rupa, namun pertanyaan yang sama selalu muncul kembali: seberapa menentukankah (penciptaan) seni dalam proyek ”PARI” jika fungsinya bukan menghasilkan karya seni yang dapat dipamerkan, karena pameran tampaknya perlu dilakukan agar praktik semacam ini dinilai seni? Toh, tampaknya praktik artistik dalam proyek ini juga tidak sekadar bertujuan membumbui tindakan sosial dan menimbang seni sebagai sesuatu yang berlebihan dan dapat eksis secara independen dari intervensi langsung. Untuk menemukan jawaban yang memadai, kita perlu mengadopsi perspektif lain sehingga seni dapat menemukan kembali statusnya yang esensial terhadap resistansi sosial dan ekologis proyek ”PARI”.

Suatu sore, dalam percakapan kecil yang sangat menyenangkan dengan Anang, ia mendefinisikan seni sebagai ”bahasa umum” yang memungkinkan kita tidak hanya mengembangkan pengetahuan untuk hidup bersama, tetapi di atas segalanya untuk menciptakan hubungan yang kompleks antara kehidupan kita dan lingkungan.

Sebagai bahasa yang umum, seni tidak dapat dengan cara apa pun dibatasi dalam menara gading artworld. Narasi hibridanya harus melepaskan diri dari cengkeraman sistem representasi pameran. Hanya dengan perspektif emansipasi seni inilah bahasa seni dapat diekspresikan sebagai tindakan perlawanan, yang mampu membentuk kehidupan berbagi dan solidaritas, ketimbang hanya menjadi produk tambahan yang sederhana.

Khususnya di masa krisis pandemi yang panjang ini, seni tidak bisa lagi terkunci pada tempat pameran, melainkan sarana untuk menciptakan bentuk lain dari kehidupan bersama. Dengan demikian, proyek ”PARI” memberi kita kemungkinan untuk berpikir secara berbeda tentang seni. (*)

HSIANG-PIN WU, Kritikus seni dari Taiwan. Sementara itu, sebagai mahasiswa PhD dalam estetika seni kontemporer di University of Paris 8, ia mengkhususkan diri dalam analisis kritis seni radikal dan pengembangan kolektif seniman yang terlibat secara sosial saat ini.

(Diterjemahkan Pitra Hutomo, pekerja seni Jogja)


Dari Narasi Hibrida ke Bahasa Umum