Satu Malam yang Panjang

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Satu Malam yang Panjang


Api lampu minyak itu berkerlap-kerlip, bergoyang diembus angin yang menyelusup dari celah dinding gubuk yang terbuat dari anyaman bambu. Di dalam gubuk ada sebuah balai-balai, seorang laki-laki sedang setengah tertidur di atasnya. Matanya separo terpejam, bibirnya menggumam perlahan, tak jelas apa yang sedang dia ucapkan. Tangan kanannya masih menggenggam batang daun pepaya yang diubah menyerupai pipa isap.

TAK lama, derit pintu terdengar. Seorang perempuan masuk membawa baki kecil berisi sebuah kotak kayu kecil dan beberapa rajangan daun. Perempuan itu tak mengeluarkan suara sedikit pun. Dia hanya duduk di samping balai-balai, mengeluarkan sedikit candu dari kotak kayu, menaruhnya di wajan kecil, dan menjerangnya di atas api lampu minyak. Daun awar-awar yang telah dirajang sangat halus dicampurkan ke dalam candu. Dengan telaten, kemudian digelintirnya campuran kedua bahan itu menjadi bola kecil. Kemudian ditaruhnya gelintiran candu itu ke dalam mangkuk isap opium. Laki-laki yang tubuhnya sudah demikian larat itu bangun dan mulai mengisap candu.

”Aku masih memiliki beberapa sen untuk menambah candu lagi,” kali ini laki-laki berbadan kurus itu buka suara.

”Boleh-boleh saja, ini sudah kali ketiga kau mengisap tike!” perempuan muda melempar senyum.

”Aku berhasil memanen cukup banyak kopi. Mandor memberiku tambahan sepuluh sen hari ini.”

Perempuan itu tak menjawab. Dia berdiri dan meninggalkan laki-laki itu madat seorang diri. Tike memang menjadi primadona bagi banyak pemadat miskin. Harganya terhitung paling murah. Satu gelintir tike hanya dibanderol lima sen. Mereka, pemadat-pemadat itu, percaya bahwa mengisap tike bisa mengobati banyak hal. Daun awar-awar untuk campuran candu memiliki manfaat untuk mengobati penyakit kulit dan sesak napas. Meski bagaimana juga, candu tetaplah candu, meski dicampur dengan awar-awar sekalipun ia tetap merusak tubuh. Seperti lelaki bertubuh kurus yang setengah terkulai di atas balai-balai itu, dadanya kerempeng, perutnya kempis, dengan mata memerah. Dia bernama Masrip, seorang buruh perkebunan kopi milik seorang Belanda.

Telah banyak malam dihabiskan Masrip untuk mengisap tike di gubuk opium milik Kiang. Dari gajinya sebagai buruh perkebunan kopi sehari dia mendapatkan enam puluh sen sampai seratus sen, tergantung bagaimana cara kerjanya di hari itu. Malam ini dia membawa seratus sen untuk mengisap opium di pondok milik Kiang. Mengisap opium bagi banyak buruh perkebunan sangatlah penting. Badan mereka bisa sakit jika tak mengisap opium barang beberapa hari. Meski sesungguhnya, secara perlahan tapi pasti candu telah memakan tubuh mereka tanpa disadari. Masrip sendiri pernah ingin lepas dari opium. Dia berusaha sekuat tenaga tak menjejakkan kaki lagi di pondok opium milik Kiang, namun usahanya gagal. Dirinya menyerah ketika seluruh persendian di tubuhnya terasa ngilu, badannya terasa sakit semua. Ia menjadi payah dalam bekerja. Maka setelah merasa gagal dalam usaha sembuh dari mengisap candu, kakinya diseret kembali menuju pondok opium milik Kiang. Dia kembali, mengisap dan menggemari gelintiran tike.

Masrip menjadi pelanggan di pondok milik Kiang meski ada pondok-pondok opium lain. Dia sudah merasa akrab dengan Mai Ling, kemenakan Kiang yang saban hari menyediakan gelintiran tike untuknya. Madat menjadi rutinitas untuk bekerjanya tubuh Masrip. Ada waktu dia tak hanya mengisap tike di pondok opium, melainkan membawa candu dan rajangan daun awar-awar ke tempat bekerja. Ketika beristirahat sejenak saat bekerja, Masrip akan menggulung tike dicampur rajangan tembakau ke dalam kelobot jagung, membakarnya dan mengisapnya seperti ketika merokok.

Opium memang digemari sejak berabad-abad lalu. Sejak kapan tepatnya candu itu masuk ke Jawa tak pernah ada yang tahu. Maka tak mengherankan jika candu itu begitu menyatu dengan masyarakat. Pondok-pondok opium banyak didirikan, salah satu yang dikenal pondok milik Kiang. Pondok itu telah berdiri cukup lama, pondok opium luas di ujung desa. Kiang membagi pondok miliknya menjadi dua kelas. Kelas rendahan tempat berkumpulnya buruh-buruh miskin diletakkan di bagian belakang. Pondok opium belakang berupa gubuk-gubuk dari bambu beratap rendah dari rumbia. Sedang untuk kelas atas, pondok milik Kiang menyediakan ruangan-ruangan khusus di dalam rumah utama. Pemadat di kelas atas berbeda dengan kelas rendahan. Di kelas atas tak akan ditemukan tike, melainkan bahan dasarnya cako, candu khusus yang dibuat hanya untuk kelas atas.

Di pondok opium kelas atas tak akan ditemukan batang daun pepaya untuk alat isap, melainkan badudan mahal yang begitu menarik bentuknya. Alat isap di kelas atas terbuat dari bahan mahal. Ada dari besi berukir, ada pula yang menggunakan pipa isap khusus yang didatangkan dari luar daerah. Pipa-pipa isap itu begitu cantiknya, bercorak beraneka bentuk, bahkan sebagian menggunakan hiasan dari keramik untuk menambah kemolekan pipa isap opium.

Para pengisap opium di kelas atas bermacam-macam yang datang. Tentu kebanyakan dari mereka adalah para priayi dan orang-orang terpandang. Di pondok opium kamar nomor lima, misalnya, seorang lelaki muda duduk di kursi berukir, sedang tangan kanannya memegang badudan berukir seekor naga. Dari ujung pipa berbentuk kepala naga, asap berembus memenuhi ruangan kamar, sedangkan tak jauh dari tempatnya duduk, seorang laki-laki sebaya dengannya meletakkan kepalanya di atas meja. Tampak betul bahwa dia telah mengisap cukup banyak candu malam itu. Seorang lagi sedang berusaha membuka botol gin. Ia tampak tak berkeberatan meski asap dari bakaran candu menyelimuti wajahnya.

”Bagaimana jika ibumu tahu bahwa malam ini kau mengisap candu lagi?” laki-laki yang sedang berusaha membuka tutup botol gin itu buka suara.

Tawa perlahan terdengar. Pemuda yang mengisap candu itu menggeleng-geleng.

”Ibuku tak peduli aku di mana malam ini. Keluargaku yang lain pun begitu. Terpenting bagi mereka, setelah ayahku berhasil menjadi seorang bupati, kelak aku bisa naik menjadi wedana menggantikan posisinya saat ini!”

”Calon wedana seharusnya tak menghabiskan banyak waktunya di warung opium seperti ini! Wedana seharusnya bermartabat dan selalu berpegang erat dengan molimo!” cibir kawannya seraya menuang gin ke dalam gelas.

”Molimo pantangan untuk kaum lelaki seperti kita? Oh, aku selalu menghafalnya. Maling, madon, minum, main, madat! Tapi siapa yang bisa tak melakukan kelima itu? Heh!”

Lantas, keduanya tertawa terbahak. Temannya yang sudah teler hanya menggerakkan kepalanya sedikit, namun kemudian tak bergerak-gerak lagi. Laki-laki muda yang meneguk gin itu bernama Raden Pandoe, seorang putra dari pemilik perkebunan teh, sedang kawannya yang sedang asyik madat tak lain putra seorang wedana bernama Raden Koestaman. Satu lagi, yang telah mengisap candu cukup banyak itu putra seorang saudagar tembakau bernama Roko Adi. Ketiganya kawan akrab. Ada banyak malam dihabiskan waktu di pondok opium milik Kiang, seperti malam ini.

Anak-anak orang kaya itu memang kerap berkumpul di pondok opium milik Kiang. Mereka suka bertemu sembari memadat, minum gin, dan bercerita tentang kegagalan mereka sebagai anak priayi. Mereka nyaris memiliki garis yang sama. Ketiganya bobrok di pendidikan. Hanya karena relasi keluargalah yang membuat ketiganya masih bisa tampil lebih beradab dari sebenarnya. Raden Pandoe, putra pemilik perkebunan teh itu, telah gagal di pendidikannya. Guru-gurunya menyerah. Meski terlahir sebagai anak orang kaya, kemampuan otaknya demikian menyedihkan. Begitu juga Raden Koestaman. Beberapa waktu lalu bahkan dia sempat mengusir gurunya hanya lantaran merasa jenuh dengan segala macam pelajaran untuknya. Pemuda seperti inilah yang kelak meneruskan cita-cita orang tua, menjadi calon seorang wedana!

Mereka sedang tertawa dan saling berseloroh ketika Kiang masuk ke ruangan mereka. Wajah Kiang semringah saat melihat pemuda-pemuda anak orang kaya itu.

”Bagaimana? Candunya enak, bukan?” Kiang bertanya sembari mendekat ke meja mereka.

Raden Koestaman mengisap badudan miliknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya ke arah Kiang. ”Seperti biasanya, selalu nomor satu!”

Mendengar ucapan Raden Koestaman, Kiang tertawa terbahak lantaran senang.

”Ah, kalau begitu, pasti Raden Koestaman bisa bantu saya, bukan?” Kiang bertanya dengan hati-hati.

Kali ini bukan saja Raden Koestaman yang menaruh perhatian, melainkan Raden Pandoe pun menatap Kiang dengan lekat.

”Menyoal?”

”Pajak opium. Bisa direndahkan?”

Raden Koestaman meletakkan badudan miliknya. Ditatapnya Kiang dengan sedikit melecehkan.

”Apa kau tahu, Kiang? Banyak pondok opium yang menjadi sainganmu? Bahkan beberapa waktu lalu terjadi geger di pondok opium milik Boang. Kau tahu, siapa yang melakukannya?”

Kali ini Kiang menarik badannya. Dia mundur beberapa tindak sebelum tertawa perlahan.

”Apa kau mencurigaiku?” selidik Kiang dengan suara perlahan.

”Berita tentang kekacauan di pondok milik Boang sudah sampai ke mana-mana. Orang tentu tahu bahwa itu hasil kerja orang-orangmu. Kawedanan sudah melakukan antisipasi jika balasan dari kelompok Boang menyerang ke sini! Kau diberi pengamanan lebih, bukan? Bukan berarti aku tak tahu.”

”Lantas? Apa hubungannya dengan pajak yang kumaksudkan tadi. Masalah dengan Boang, bajingan tengik itu telah menyelesaikan masalah dengan baik-baik.”

”Kau sudah diberi pengamanan! Masak minta keringanan pajak. Oh, pajak itu bisa diringankan asal aku menjadi wedana menggantikan ayahku terlebih dulu!”

Raden Koestaman terbahak setelah mengucapkan itu, diiringi tawa dari Raden Pandoe. Kiang hanya menggelengkan kepala. Memang setelah dirinya gagal menghancurkan pondok opium milik Boang saingannya, Kiang segera meminta perlindungan petugas keamanan dibantu pegawai kawedanan, tentu saja setelah dia meninggalkan sekian ratus gulden untuk orang-orang itu. Dia mengantisipasi jika Boang menuntut balas, namun ternyata tidak. Saingannya dalam bisnis candu itu tampaknya masih tenang-tenang saja, bahkan utusan Boang mengatakan ingin berdamai saja dengan Kiang. Kini yang menjadi masalah Kiang bukanlah melawan Boang, melainkan pajak opium yang dibebankan kepadanya, semakin hari semakin tinggi saja angkanya.

*

Malam di pondok opium memang terasa lebih panjang kali itu. Semakin malam, semakin banyak yang datang untuk mengisap candu. Di kelas rendahan dan kelas atas, cukup banyak orang-orang yang sibuk memadat. Menuju seperempat malam, pondok opium Kiang menjadi jauh lebih tenang. Para pemadat langganan pondok opium milik Kiang sudah lunglai. Kandungan opium yang menggelegak di dalam tubuh mereka membuat kantuk, lemah, dan menjadi setengah sadar. Para penjaga pondok milik Kiang juga sudah lengah. Mereka duduk di tempat gelap, beberapa bahkan memicingkan mata.

Seisi pondok opium milik Kiang tak ada yang tahu bahwa banyak orang suruhan Boang diam-diam masuk ke pondok opium milik Kiang. Mereka membawa bedil, kelewang, dan celurit. Para penjaga ditumpas habis secepat kilat. Orang-orang suruhan Boang itu membabat setiap orang di pondok milik Kiang. Para pemadat di kelas rendahan tak luput dari sabetan kelewang. Masrip yang masih setengah sadar tak bisa melawan ketika sebuah celurit menghajar tengkuknya, lalu merobek lehernya.

Perlawanan terjadi, tapi tak begitu berarti lantaran para penjaga pondok opium milik Kiang sudah sangat lengah. Beberapa orang itu berlari ke arah kamar Kiang, sebuah kamar paling besar di pondok. Kiang sedang mengganti baju untuk tidur ketika dua orang menerobos masuk ke kamarnya, menyabetkan kelewang dan menembak dadanya beberapa kali. Raden Koestaman meski dengan kesadaran lemah mendengar ribut-ribut, dengan buru-buru dia membangunkan dua kawannya, namun terlambat sudah. Kamar pondok nomor lima itu didobrak, empat orang meloncat ke dalam. Dan letusan dari bedil terdengar, biji-biji pelor dimuntahkan, menerjang kepala Raden Koestaman, menghunjam dada Raden Pandoe, dan melubangi leher Roko Adi.

Malam itu menjadi demikian panjang, malam yang selalu akan diingat lantaran terjadi pembantaian massal di pondok opium milik Kiang. (*)

Kotagede, Jogjakarta, 2021


ARTIE AHMAD

Lahir dan besar di Kota Salatiga. Saat ini dia tinggal di Jogjakarta. Selain menulis cerpen, dia juga menulis novel.


Satu Malam yang Panjang