Janji: Yang Asyik dan Yang Perlu Dikritik

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Janji: Yang Asyik dan Yang Perlu Dikritik


Janji ditulis Tere Liye secara humoris, dramatis, dan melankolis. Kelemahan terbesarnya: inkonsistensi.

JANJI, novel terbaru Tere Liye, sejenis dengan Rembulan Tenggelam di Wajahmu, Rindu, dan Tentang Kamu. Sama-sama bertema religi dengan kandungan cerita yang tidak jauh dengan kehidupan sehari-hari.

Sebagaimana novel-novel Tere Liye sebelumnya yang bertema religi, novel Janji juga menceritakan tentang keikhlasan, kesabaran, dan kebaikan-kebaikan lainnya yang diolah secara humoris, dramatis, dan melankolis. Humoris karena menghadirkan dialog-dialog konyol yang mengundang tawa, dramatis sebab menampilkan alur cerita yang menguras emosi pembaca, dan melankolis gegara menyajikan adegan-adegan sedih yang kerap membuat saya menitikkan kelopak-kelopak basah.

Sederhananya, novel Janji memang sebuah novel yang asyik. Sebuah novel dengan kandungan bumbu-bumbu yang pas untuk dinikmati sebagai sebuah hidangan yang akan memuaskan penikmatnya.

Sebuah novel yang dibuka dengan perjalanan Hasan, Kaharuddin, dan Baso dalam misi menemukan seorang laki-laki misterius yang bernama Bahar atas perintah gurunya. Bahar disebut misterius karena secara pengetahuan yang dimiliki mata dan telinga, dia seolah tak layak disebut mulia karena sikap brutalnya.

Namun, secara pengetahuan yang dimiliki rohani gurunya di pesantren (dalam tiga mimpi yang sama secara berurutan), Bahar mendapatkan kemuliaan yang sangat istimewa. Saking istimewanya, gurunya sendiri terheran-heran.

Pencarian itu tidak mudah karena ketersediaan petunjuk yang tak bisa disebut berlimpah. Di sisi lain, semua petunjuk yang ada juga pernah dicoba guru mereka bertiga dan tak menghasilkan apa-apa.

Dalam pencarian itulah, celetukan-celetukan polos khas anak-anak dapat dinikmati dalam dialog-dialog mereka; juga proses menyibak tabir misteri Bahar yang naik turun; hingga peristiwa-peristiwa mengharukan yang membuat pembaca mengambil jeda sejenak untuk mengusap mata.

Namun, novel yang asyik tak berarti bebas dari kritik. Ada satu hal yang menurut hemat saya menjadi kelemahan mendasar novel ini, yakni inkonsistensi. Ada sebuah pola yang tidak ajek tentang awal cerita dengan perjalanan cerita selanjutnya, yakni tentang salat Subuh dan penyesalan sang guru.

Beberapa Hal yang Asyik

Telah disebutkan di awal bahwa yang membuat novel Janji terasa asyik adalah jalan cerita yang tak melulu sendu, tetapi terkadang tertawa juga sesekali berderai air mata. Seperti celetukan Kaharuddin saat menanggapi keluhan Baso dalam awal-awal usaha mencari Bahar.

Ketika mereka tiba di rumah nenek Bahar dan tak menemukan petunjuk yang berarti, Baso bertanya sebanyak tiga kali dengan pertanyaan yang sama. Hal ini membuat Kaharuddin kesal sehingga muncullah celetukan sebagaimana di dalam kutipan berikut ini.

”Catatan ini tidak berguna.” Baso menatap kesal kertas.

”Lihat, semua alamat sudah dicoret oleh Buya.”

Hasan terdiam. Itu idenya menuju ke sini.

”Ke mana kita sekarang?” Baso bertanya.

”Woi, kau sudah bertanya pertanyaan itu tiga kali, Baso. Sekali lagi kau bertanya, aku kasih hadiah piring dan gelas,” dengus Kaharuddin (halaman 39).

Selain celetukan-celetukan konyol, Tere Liye menghadirkan tawa dengan kisah-kisah anekdot yang diceritakan Bahar kepada temannya melalui alur flashback. Misalnya, sebuah anekdot tentang Angkatan Udara dan Angkatan Laut seperti dalam kutipan berikut ini.

”Ada seorang bapak, dia marah-marah.” Bahar mulai bercerita, nyengir. ”Kenapa dia marah? Karena anaknya tidak lulus tes masuk Angkatan Laut. Enak saja mereka menolak anakku masuk Angkatan Laut hanya karena tidak bisa berenang.” Bahar menirukan gaya seorang bapak yang marah-marah, mengubah intonasi suaranya. ”Coba tengok anak tetanggaku, dia ternyata lulus di Angkatan Udara, padahal tidak bisa terbang. Ini tidak adil.” (halaman 111–112).

Selain itu, banyak bagian cerita yang akan mengundang derai air mata selama beberapa saat, satu di antaranya adalah ketika flashback Bahar yang membantu tetangga sebelahnya. Malam itu hujan turun deras sehingga salah satu kamar kontrakan mengalami kebocoran.

Kamar kontrakan tersebut milik tetangga Bahar yang selalu menatap Bahar dengan tatapan jijik hingga menyuruh anaknya jauh-jauh dari dia. Namun, saat itulah kejadian yang menggetarkan hati terjadi seperti dalam kutipan berikut ini.

”Bukankah selama ini baik-baik saja? Tadi sore aku ke sini juga tidak bocor. Sejak kapan bocor?” Asep bertanya-tanya, bingung. Sejenak Asep termangu. Dia tahu apa yang telah terjadi, Bahar telah menukar seng di atas kamar mandinya dengan seng di kontrakan ibu-ibu tadi. Biarlah rumah bedengnya yang bocor, jangan rumah kontrakan ibu-ibu tadi. Ringan saja Bahar melakukannya (halaman 133).

Satu Hal yang Perlu Dikritik: Ketakajekan

Sudah dipaparkan aspek asyik dari novel Janji. Kini tiba saatnya memaparkan bagian tak asyik dari novel ini, yakni inkonsistensi. Tere Liye tidak konsisten dalam membangun sikap dua tokohnya, yaitu Bahar dan Buya.

Bahar dikisahkan sebagai sosok pemabuk yang pernah melakukan kesalahan fatal selama di pondok pesantren, namun tetap menjalani salat. Sebagaimana termaktub dalam kutipan berikut ini.

”Tapi aku tahu. Dan aku juga tahu, sedikit sekali yang mau mengerjakan shalat itu di pagi buta. Aku menebak kau pasti pernah sekolah agama. Pemabuk yang aneh. Mabuk tapi tetap shalat.” (halaman 71).

Gambaran di atas justru bertolak belakang dengan gambaran-gambaran selanjutnya yang sama sekali tidak mencerminkan bahwa Bahar tetap menjaga salat Subuh. Jika pada bagian awal Bahar dikisahkan sebagai sosok yang bangun di pagi buta untuk melakukan salat Subuh, pada bagian-bagian selanjutnya Bahar justru diceritakan sebagai sosok yang bangun ketika matahari telah terbit sebagai tanda waktu subuh yang telah habis sebagaimana dalam dua kutipan berikut ini.

Sebulan lebih dia tidak ke Capjiki. Tetap mabuk, dia membawa pulang botol-botol minuman keras. Mabuk di kontrakan, lantas tidur di lantai beralaskan tikar, hingga cahaya matahari menerobos jendela, menyiram wajahnya (halaman 112).

Bukan hanya karakter Bahar, inkonsistensi selanjutnya terlihat pada karakter Buya yang awalnya dibentuk sebagai sosok yang penuh penyesalan karena telah mengusir Bahar dari pesantren.

Namun, di bagian penutup cerita, sosok Buya justru dideskripsikan sebagai sosok yang tenang dan telah mempertimbangkan matang-matang ihwal keputusannya mengusir Bahar sebagaimana dalam kutipan berikut ini.

”Kau boleh pergi sekarang, Bahar. Tunaikan janjimu atas lima pusaka tersebut. Aku tahu, kau hari ini boleh jadi masih nakal, pemabuk, suka berjudi, suka berkelahi. Tapi ada sesuatu yang spesial sekali di hatimu. Kau akan selalu berusaha menepati janji. Kau boleh pergi sekarang.” (halaman 485–486).

Ditambah lagi, Buya seolah-olah sudah tahu bahwa Bahar akan menemui jalan kembali karena Bahar akan selalu menepati janji. Agaknya Tere Liye ingin menghadirkan semacam plot twist, namun hal itu justru merusak logika cerita.

Akhir kata, sebagaimana yang telah disebutkan di awal tulisan: novel Janji memang asyik, tapi perlu dikritik! (*)


  • Judul: Janji
  • Penulis: Tere Liye
  • Penerbit: PT Sabak Grip Nusantara
  • Cetakan: Juli 2021
  • Tebal: 488 halaman
  • ISBN: 978-623-97262-0-1

*) AKHMAD IDRIS, Dosen bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya sekaligus penulis buku ”Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia”


Janji: Yang Asyik dan Yang Perlu Dikritik