Industri Mebel dan Kerajinan Kritisi Aturan yang Hambat Potensi Ekspor

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Industri Mebel dan Kerajinan Kritisi Aturan yang Hambat Potensi Ekspor


JawaPos.com – Kalangan industri mebel dan kerajinan meminta pemerintah menghilangkan ego sektoral kementerian agar tidak menekan kelangsungan hidup sektor industri ini. Kewenangan harus disinergikan guna menghasilkan kekuatan dan nilai tambah bagi industri nasional, bukan menjadi penghambat di tengah kerja keras Presiden Jokowi memulihkan ekonomi nasional di era pandemi covid-19.

Pelaku industri mebel nasional Presiden Direktur PT Integra Indo Cabinet Tbk Halim Rusli berharap pemerintah meninjau kembali regulasi yang menghambat seperti aturan impor bahan baku penolong. Pasalnya, kapasitas dan kemampuan industri bahan baku penolong dalam negeri belum mampu mendukung kebutuhan industri mebel dan kerajinan.

“Bukan hanya membuat pelaku industri kelimpungan memenuhi permintaan pasar domestik dan ekspor tepat waktu, regulasi yang ada juga menimbulkan konsekuensi kenaikan biaya produksi sehingga mengerus daya saing,” kata Halim saat berdialog dengan Wakil Ketua DPR Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan Rachmat Gobel, Sabtu (3/10) yang melakukan kunjungan kerja sejumlah pusat industri di Jawa Timur.

Padahal, peluang Industri Mebel dan Kerajinan sangat besar untuk meraup nilai ekspor hingga USD 5 miliar. Sejumlah pelaku industri ini, telah mampu memenuhi permintaan merek dunia dengan volume ekspor masing-masing berkisar 300-700 petikemas per bulan.

Persoalan lain yang dikritisi kalangan dunia usaha adalah biaya sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) yang dinilai tinggi. Ini diungkapkan Budianto, Direktur PT Multi Manao Indonesia dalam dialog.

Menurutnya, di satu sisi aturan sertifikasi ini positif menghilangkan stigma buruk bahwa industri kayu olahan di Indonesia merupakan produsen perusak hutan, pengguna kayu illegal. Dengan adanya SVL, pelaku industri juga tidak lagi dikenai persyaratan sertifikasi oleh importir dan memiliki kredibilitas dan akuntabilitas di pasar ekspor.

Masalahnya, biaya untuk memperoleh SVLK ini mahal. Sebagai gambaran, untuk eksportir skala UMKM, setidaknya harus mengeluarkan biaya Rp 30 juta per tahun dan ditambah Rp 110.000 per lembar invoice. Selain itu, UMKM juga kesulitan memenuhi persyaratan Tata Usaha Kayu (TUK).

“Untuk mengatasi seluruh persoalan itu, saya mengusulkan agar pemerintah membantu dengan menerapkan pelaksanaan audit tahunan dengan melakukan audit komunal. Mempermudah perizinan dan menghapus persyaratan legalitas perizinanTUK. Mempermudah persyaratan dokumen impor produk bahan baku penolong,” ujar Budianto.

Menanggapi keluhan tersebut, Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel menegaskan, pihaknya bersama seluruh anggota DPR di Komisi terkait akan melakukan pembahasan serius. Ia melihat, potensi industri berbasis kayu olahan ini sangat besar. Bukan saja untuk meraup devisa, juga peluang menyelamatkan lapangan kerja dan industri berbasis budaya yang berkualitas.

Apalagi, tambah Rachmat, pelaku usaha  berkomitmen meningkatkan ekspor mebel dan kerajinan hingga 100% dalam lima tahun mendatang. Peluang ini tidak boleh disia-siakan, dan pemerintah, DPR, serta pelaku industri harus bersinergi membaca  momentum peluang ekonomi pasca krisis pademi Covid-19.

“Insyaallah, Selasa depan saya akan mengajak konsultasi angota DPR bersama tiga kementerian terkait melihat segala aspek masalah yang bisa diselesaikan. Kita harus menghilangkan berbagai kendala regulasi, minimal meninjau ulang hal-hal yang menghambat,” kata legislator partai Nasdem tersebut.


Industri Mebel dan Kerajinan Kritisi Aturan yang Hambat Potensi Ekspor