Gotong Royong Individuancuk

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Gotong Royong Individuancuk


Kuda punya tali kekang, tali kendali. Penonton tali kendali akan sesumbar, wabah ini sangat-sangat terkendali tapi tak terkekang. Penonton tali kekang akan sesumbar, wabah ini terkekang tapi tak terkendali.

SIAPA yang benar? Yang benar adalah apa yang dirasakan oleh wabah itu sendiri…

***

Tenda-tenda pertarungan telah berdiri di tanah yang sedikit berembun. Beberapa hari lalu mereka yang menjagokan Pendekar Sastrajendra dan Pendekar Bra tampak berantakan di ruang terbuka. Ada yang duduk mencangkung di batu, nangkring di percabangan pohon. Yang leyeh-leyeh juga tak sedikit. Sekarang sebagian besar telah bermukim di tenda-tenda, baik tenda dedaunan, kulit pohon, maupun binatang.

Purnama makin lingsir ke barat, seiring debur-deburan ombak di pantai cadas cukup jauh. Tingting Jahe dalam cadar yang hampir menutupinya sempurna mengendap-endap ke tenda Tingting Bocah. Bebaslah ia dari gunjingan orang-orang, ”Buat apa mantan kekasih Pendekar Bra itu kembali kepada mantannya. Ia sudah dalam pelukan keponakan angkatnya sendiri, Tingting Bocah.”

Untung Pendekar Bra lelap mendalam. Pemuda ini lumrahnya sanggup mendengar langkah-langkah mencurigakan dari jarak ribuan tumbak di luar kawasan. Ini, Jahe, mengendap-endap dengan degup jantung memburu yang mestinya juga bisa didengarnya, sama sekali tak ditandainya.

Bra bahkan pernah sanggup menguping rapat rahasia para pemimpin di kadatuan lain yang akan menjual jampi-jampi untuk warganya agar mampu melawan wabah. Jampi-jampi berbayar! Bra dengan jelas mendengarnya walau kadang terhalang bunyi semut-semut berbisik yang didengarnya. Pencanangan jejampi tolak bala berbayar itu akan disebut ”gotong royong individual”.

Dibocorkannya rencana aneh itu di pasar-pasar, di banjar-banjar. Masyarakat kontan menolak. Bagi mereka, ”gotong royong individual” ini bukan soal ”toh mereka yang tidak mampu tetap bisa memilih jampi-jampi gratis”. Tapi, soal ini: kalau yang mampu bayar bisa dijampi-jampi duluan tanpa harus antre, ini akan mengusik rasa kesenasiban.

Bagi mereka, dalam menghadang pagebluk, rasa senasib sepenanggungan nilainya setara jampi-jampi. Rasa selapik seketiduran itu sama dengan mandi matahari. Imun tertingkatkan. Sia-sia disembur, dibacai mantra, dan dijampi-jampi gratis kalau hati mereka terdera oleh rasa ketidakadilan.

***

Cadar boleh komplet menutup sekujur tubuh bagai tembok benteng, tapi Tingting Bocah tidak pangling. Itu pasti Tingting Jahe. Ia sudah seperti buleknya sendiri. Bocah yang sedang kelon di samping Pendekar Bra ini sudah hafal bukan saja bau tubuh dan gelagat buleknya itu. Semuanya. Roh yang menggetarkan buleknya pun seakan ia kenal.

Bedanya dengan pertemuan-pertemuannya terdahulu semasih Jahe pacaran dengan Bra dan Bocah menjadi semacam obat nyamuknya, raut wajahnya setelah cadar dibuka tampak serius.

Dulu sesungguh-sungguhnya wajah Jahe masih ada nuansa guyon-guyonnya. Tingting Bocah men-ceh-ceh makanan yang disuapkan oleh Jahe? Jahe akan membentak, ”Nanti kamu saya pindahin ke Papua!” Habis itu keduanya ketawa-tawa saling berpelukan. Tak ada yang sensi bahwa Jahe sedang merendahkan Papua, bahwa Jahe sedang menghargai pulau itu cuma sebagai tempat buangan. Sebab, Jahe menghardikkan kata-kata itu dengan penuh kasih sayang. Lagi pula, zaman itu Papua juga belum ada. Papua hanya sebuah nama yang nyeplos begitu saja dari bulek buat keponakannya.

”Bulek tak usah bisik-bisik. Pendekar Bra tak akan mendengarnya,” seru Bocah yang sudah mematek Aji Gineng untuk me-mute sementara segenap indra Bra.

Jahe masih ragu-ragu. Betulkah putri Pendekar Elang Langlang Jagad ini masih sesakti dahulu kala pertama ditemuinya di Pasar Apung Dusun Kake’anmu? Keraguan akhirnya sirna bersama lolong serigala di kejauhan. Katanya, ”Tahukan kau, Tingting Bocah, kamu ini disusupi arwah Pendekar Perempuan Paling Dikagumi? Wasiatnya begitu sebelum ia gugur kalah bertarung dengan Pendekar Sastrajendra?”

”Bulek tahu pendekar itu?”

”Aku yang menguburnya. Pusaranya ada di pelataran gubukku dahulu. Kutanami bambu kuning dekat nisannya… Dia bersumpah akan membalas pati kepada Pendekar Sastrajendra melalui anak yang kelak akan diangkat oleh Sastra. Kamulah!”

”Aku mencintai Sastrajendra, Bulek.”

”Ini tak usah kaukatakan seolah-olah aku tak pernah mengalami kehidupan kalian. Tapi, Pendekar Perempuan Paling Dikagumi itu juga mencintai Sastrajendra. Perempuan cantik itu ingin menikahi Sastra, sayang waktu itu dia tahu bahwa Sastra denganku sangat dekat.”

”…Terus, apa maksud kedatanganmu ke tendaku lingsir wengi ini, Bulek?”

”Jangan biarkan arwah perempuan jahanam itu memegang tali kendalimu dan tali kekangmu untuk membunuh Sastra melalui Bra…”

”Duh! Bulek! Bra tak mungkin mencabut tantangannya… Sebentar lagi fajar akan turun. Hari akan terang tanah. Pertarungan akan digelar.”

Hening, sampai kemudian Jahe antara yakin dan tidak bergumam, ”Sekarang kamu bisa membuat indra Bra nonaktif. Ulangi lagi saat pertarungan nanti…”

***

Tanpa kesepakatan apa-apa. Kembali Jahe mencadari tubuhnya. Ia tinggalkan tenda Bra-Tingting Bocah dengan waspada seperti kehati-hatian langkah orang-orang masa pandemi. Kokok-kokok ayam mulai terdengar. Fajar akan turun. Saat perpanjangan PPKM darurat, eh, saat pertarungan semakin dekat. (*)


SUJIWO TEJO, Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers


Gotong Royong Individuancuk