Saat Perempuan Bukan Sekadar Konco Wingking

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Saat Perempuan Bukan Sekadar Konco Wingking


Liem Satya Limanta dengan jeli mendedah tiga film untuk memotret representasi perempuan sebagai agen penghadiran nasionalisme.

BISA jadi sudah banyak buku yang membahas isu nasionalisme ataupun perempuan. Namun, tidak banyak penulis yang mengupas tuntas dua isu tersebut secara bersamaan.

Terlebih jika dikaitkan dengan pernak-pernik permasalahan kehidupan di daerah perbatasan Indonesia. Karena itu, buku ini berbeda.

Perempuan, nasionalisme, dan perbatasan merupakan tiga kata kunci dalam buku yang terdiri atas enam bab ini. Dengan memosisikan film sebagai sebuah teks yang mengonstruksi makna, Liem Satya Limanta dengan jeli mendedah tiga film untuk memotret representasi perempuan sebagai agen penghadiran nasionalisme.

Jika Batas (2011) dan Tanah Surga… Katanya (2012) menampilkan tokoh perempuan dengan isu perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, Tanah Air Beta (2010) berlatar belakang isu perbatasan Pulau Timor yang terletak di antara Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste.

Film-film Indonesia bertema nasionalisme dibagi menjadi tiga periode: Orde Lama, Orde Baru, dan pascareformasi (halaman 4–5). Tema perjuangan melawan kolonialisme Belanda tersebar pada periode Orde Lama dan Orde Baru. Selanjutnya, film-film pascareformasi kerap mengangkat tema nasionalisme dengan mengusung nama-nama tokoh nasionalis seperti Habibie & Ainun (2012), Soekarno (2013) dan Jenderal Soedirman (2015), ataupun bertema olahraga seperti Garuda di Dadaku (2009), King (2009), dan 3 Srikandi (2016).

Tapi, berbeda dengan penggambaran umum nasionalisme yang identik dengan sisi maskulinitas, tiga film yang menjadi objek penelitian penulis bertumpu pada representasi agensi nasionalisme perempuan yang feminin. Konstruksi perempuan sebagai guru hadir dalam ketiga film yang secara tidak langsung menekankan bahwa identitas nasional bukan sepenuhnya oleh individu, tetapi juga pendidikan (halaman 58).

Tatiana dalam Tanah Air Beta secara sukarela menjadi guru informal bagi anak-anak pengungsi. Serupa, Jaleswari dalam Batas berperan sebagai seorang guru informal yang telah membangkitkan semangat nasionalisme penduduk perbatasan. Sementara itu, Astuti dalam Tanah Surga… Katanya adalah seorang guru SD yang kerap menyisipkan nilai-nilai nasionalisme saat mengajar.

Konstruksi perempuan berstatus ”single mother”, baik sebagai orang tua tunggal maupun lajang, hadir pula secara signifikan dalam ketiga film. Jika umumnya wacana perjuangan kebangsaan didominasi oleh laki-laki dan perempuan yang hanya berperan sebagai konco wingking (berada di belakang laki-laki), Tatiana, Jaleswari, dan Astuti adalah sosok representasi nasionalis yang bebas beroperasi karena tidak memiliki pasangan. Ungkap penulis, ”…dengan tidak hadirnya suami di dalam kehidupan mereka, ketiganya bisa menjadi subjek yang independen untuk membuat keputusan dalam mengambil peran sebagai agen nasionalisme di daerah perbatasan (halaman 59)”.

Pembahasan kemudian mengerucut pada serangkaian simbol yang disandingkan dengan perempuan sebagai penanda identitas bangsa dan semangat nasionalisme. Antara lain, bendera Merah Putih sebagai perwujudan hot nationalism –politis dan emosional, dan juga nasionalisme banal– bagian dari rutinitas yang tidak disadari.

Selajur, pada kerangka oposisi biner, negosiasi identitas nasional terpotret dalam pertarungan mata uang ringgit dan rupiah dalam Tanah Surga… Katanya. Berbeda dengan tokoh Dr Anwar, representasi maskulinitas dan pemerintah pusat (Jakarta Gaze), yang beranggapan penggunaan ringgit di daerah perbatasan harus dihentikan karena mengancam identitas bangsa Indonesia, Astuti, representasi feminitas, yang liyan, dan daerah pinggiran, malah memaknainya sebagai kenyataan hidup. Bahkan, menurutnya, justru di sinilah letak tanggung jawab pemerintah pusat untuk membangun daerah perbatasan agar tidak terjadi ketergantungan pada negara lain.

Sebagai hasil dari olah pikir mendalam penulis saat menyelesaikan studi lanjut program doktoralnya, buku ini patut dibaca oleh mereka yang tertarik ataupun sedang berkecimpung dalam studi kajian sosial budaya. Utamanya terkait isu gender dan nasionalisme. Walau terdapat beberapa pengulangan ulasan demi penegasan makna dan intratekstualitas, buku ini bisa dijadikan sebuah panduan komprehensif yang mencerahkan. (*)

 

*)  Shierly Novalita Yappy, Mengajar di Universitas Kristen Petra dan Universitas Ciputra, Surabaya

 


  • Judul: Perempuan & Nasionalisme dalam Film-Film Perbatasan Indonesia
  • Penulis: Dr Liem Satya Limanta MA
  • Penerbit: PT Rajagrafindo Persada
  • Cetakan: Pertama, Mei 2021
  • Tebal: 184 halaman
  • ISBN: 978-623-231-894-6

 


Saat Perempuan Bukan Sekadar Konco Wingking