Pengalaman Menginap di Ruang Isolasi Covid-19 Hotel Asrama Haji (1)

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Pengalaman Menginap di Ruang Isolasi Covid-19 Hotel Asrama Haji (1)


Pemkot menjadikan Asrama Haji Sukolilo sebagai tempat isolasi bagi warga Surabaya yang positif Covid-19 sejak 19 Mei. Ribuan warga datang dan pergi di lokasi tersebut untuk proses penyembuhan. Berikut laporan wartawan Jawa Pos yang sempat menginap di lokasi itu.

EDI SUSILO, Surabaya

Datang menjelang magrib, saya dicegat dua petugas yang berjaga di pintu masuk area isolasi. Petugas meminta saya mengeluarkan KTP untuk pendataan penghuni baru. Tidak sampai dua menit proses pendataan rampung. Petugas memberi saya dua lembar bed cover putih serta sebotol air mineral.

”Kamar bapak di Z 111 lantai 2 di Gedung Zamzam, sudah ada penghuninya. Bapak tinggal ketuk dan pencet bel saja,” jelas petugas ramah.

Saya bergegas menuju gedung yang ditunjuk. Gedung lima lantai dengan wajah bangunan tampak baru.

Setelah naik lift, saya sampai ke ruang yang ditunjuk tadi. Saat saya buka, kamar terkunci dari dalam. Tanda ada penghuni di dalamnya. Empat kali bel saya pencet. Tapi, belum ada respons.

Lantaran bingung, saya menelepon nomor resepsionis yang ditempel di sepanjang dinding hotel. Dari telepon, suara lelaki itu menjawab dan menenangkan saya. ”Coba tunggu, barangkali penghuninya masih ke poli untuk cek kesehatan,” jelasnya.

Saya pun bergegas menuju ke poli yang menurut informasi petugas berada di hall E. Untuk mencari teman sekamar sekaligus melakukan pemeriksaan kesehatan.

Setiap penghuni baru wajib datang ke poli untuk cek kondisi kesehatan awal masuk ke asrama.

Di sana, tiga petugas kesehatan berseragam hazmat putih lengkap duduk berjajar. Satu di antaranya menyapa saya dan menanyakan keperluan. ”Bisa dibantu, Pak,” ucapnya ramah.

Petugas mempersilakan saya duduk. Sambil menanyakan identitas, alat tensimeter dilekatkan ke tangan kiri saya. Pada waktu bersamaan, jari telunjuk tangan kanan dijepit dengan oximeter. Yang fungsinya untuk mengukur kadar oksigen dalam darah. Sambil menunggu dua alat tersebut bekerja dan menunjukkan hasil, jidat saya ditembak dengan pengukur suhu tubuh.

Pemeriksaan tak sampai lima menit. Petugas mencatat setiap kondisi pasien ke buku rekap. Sambil mencatat, petugas menanyakan riwayat penyakit yang mungkin saya miliki. ”Bapak ada darah tinggi?” tanyanya. Saya jawab singkat, ”Tidak.”

”Tapi, hasilnya tensi bapak tinggi, di atas 145,” kata petugas.

Diberi hasil begitu, saya hanya manggut-manggut. Seperti mampu membaca raut muka saya yang khawatir, petugas mencoba menenangkan. ”Mungkin bapak kaget ya dibawa ke sini,” katanya seperti mengajak saya bercanda.

Petugas memberi saya kesempatan menenangkan diri. Hari berikutnya, saya akan dicek kembali. Jika tensi saya masih tinggi, obat darah tinggi akan diberikan sebagai tambahan. Jika tensi kembali normal, obat tambahan itu tidak perlu.

Dari dalam kardus, tiga bungkus obat dikeluarkan. Masing-masing punya fungsi. Sebagai vitamin, juga sebagai penangkal virus. Dua obat diminum dua kali sehari. Satu obat diminum sehari sekali sehari di waktu siang.

Setelah pemeriksaan, saya balik ke kamar. Bel di samping pintu kembali saya pencet. Kali ini dari dalam kamar, respons terdengar. Langkah kaki mendekati pintu dan membukanya.

Tampak sosok laki-laki gempal berkulit sawo matang mempersilakan saya untuk masuk.

”Maaf, tadi masih salat,” ucapnya dengan senyum lebar.

Seusai salat, sebenarnya dia telah membukakan pintu. Namun, lantaran saat ditengok kanan-kiri tidak ada orang, pintu kembali dia tutup.

Penghuni satu kamar dengan saya itu adalah Roni (bukan nama sebenarnya). Dia merupakan salah seorang pegawai kontrak di lingkungan pemkot. Tugasnya setiap hari bersih-bersih dan menyirami tanaman.

Roni juga penghuni baru di kamar itu. Datang pada hari yang sama dengan saya. Bedanya, Roni datang siang. Sama seperti saya, Roni juga divonis Covid-19 setelah kantornya menggelar tes swab masal karyawan. Kesamaan nasib membuat kami cepat akrab.

”Saya ini masih sehat-sehat saja. Tapi, hasilnya positif, yo weslah,” ucapnya, lantas tertawa.

Ya, mayoritas pasien yang dikirim untuk isolasi di Asrama Haji Sukolilo memang orang tanpa gejala (OTG). Hampir seluruh pasien di HAH secara fisik tampak sehat. Satu dua orang saja yang sesekali batuk.

Lantaran mayoritas OTG, pelayanan medis hanya diberikan sehari satu kali. Berupa cek kesehatan rutin. Mulai suhu tubuh, tensi darah, hingga kandungan oksigen dalam darah. Pelayanan ekstra diberikan jika ada pasien yang mengalami keluhan.

Di luar itu, seluruh penghuni diminta untuk disiplin menjaga kesehatan selama isolasi. Jadwal makan diatur ketat. Pagi, siang, hingga petang. Penghuni yang telah tinggal beberapa hari di HAH pasti hafal dengan jadwal tersebut.

Sebab, petugas punya cara unik untuk mengingatkan pasien segera makan. Dari jauh, klakson motor roda tiga dibunyikan keras-keras berulang. Teet… teeet… teeet… Sampai di lobi, petugas berpakaian hazmat langsung woro-woro. ”Ayo yang makan, yang makan.”

Jika masih banyak penghuni yang belum ambil jatah makan, lewat pengeras suara di meja resepsionis, petugas kembali mengingatkan. Jika tidak diambil, petugas akan langsung cabut.

Menu yang disajikan setiap hari beragam. Mulai tumis sayur, kering tempe, pecel, sampai penyetan. Dalam setiap menu yang diberikan, pemkot melengkapinya dengan sepotong buah. Mulai melon, semangka, jambu, hingga salak. Di luar nasi kotak, pemkot juga menyediakan wedang pokak dan tiga butir telur rebus sebagai tambahan protein yang diberikan sehari sekali.

Saksikan video menarik berikut ini:


Pengalaman Menginap di Ruang Isolasi Covid-19 Hotel Asrama Haji (1)