Kuncinya, Anggap seperti Orang Tua Sendiri

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Kuncinya, Anggap seperti Orang Tua Sendiri


”MEMANG, kerjanya yang penting harus ikhlas, ndak boleh diambil hati kalau dimarahi,” tutur Sumiyani. Sumi, begitu dia biasa dipanggil, sudah makan asam garam sebagai caregiver selama kurang lebih 14 tahun. Awalnya, pada 1996, setelah lulus kursus caregiver, dia sempat menjadi pengasuh bayi. Setelah 10 tahun menekuni bidang tersebut, penugasan sebagai perawat lansia akhirnya menghampiri melalui yayasan penyalurnya.

Menurut dia, mengurus lansia lebih menyita waktu. Sebab, sebagian besar mereka yang dirawat olehnya dalam kondisi sakit. Karena itu, betul-betul tak bisa ditinggal. Diperlukan kesabaran dan ketelatenan ekstra untuk mengurus para lansia. Selain mengurus seluruh kebutuhan mereka, mulai makan hingga urusan belakang, beberapa lansia biasanya lebih rewel dan suka teriak-teriak. Tak salah bila banyak yang menyebutkan bahwa saat kita menua, ibaratnya kembali menjadi anak kecil. ”Tapi, anak kecil kalau rewel, kan digendong biar diam. Ini kan lansianya tidak mungkin kami gendong-gendong toh. Hehe,” ungkap perempuan 42 tahun tersebut.

Kalau sudah begitu, Sumi tak mau ambil hati. Dia menyadari, para lansia itu tengah mengalami masa sulit. Yang suka teriak-teriak, misalnya. Biasanya mereka belum bisa menerima kenyataan atas kondisi mereka. Ketika raga sudah tak berdaya karena stroke ataupun penyakit lainnya, tetapi gagasan masih aktif ke mana-mana. ”Akhirnya stres. Tambah penyakit baru kan. Teriak-teriak malah tensi naik,” ungkap perempuan asal Ngawi, Jawa Timur, itu.

Baca juga: Mengenal Profesi Pramurukti, Pendamping Para Lansia

Kalau sudah begitu, sebagai orang terdekat dan nyaris 24 jam bersama, Sumi akan melakukan pendekatan lagi. Tak jauh beda dengan Sumi, pengalaman Patmi sebagai caregiver pun diawalinya dari profesi babysitter seusai kursus pada 1992.

Pada 2009, akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti kursus perawat lansia di Rumah Sakit Orthopedi dr Soeharso, Solo, Jawa Tengah. Selama 3 bulan, dia digembleng untuk menangani lansia dengan penyakit stroke. Ami diajarkan cara menggunakan alat kesehatan, belajar membangunkan pasien pascaoperasi, hingga alih baring.

Klien perempuan asli Karang Anyar tersebut beragam. Saat ini dia bekerja di Semarang, Jawa Tengah. Dia mendapat tugas merawat kakak dari seorang menteri. Tak tanggung-tanggung, ada dua orang yang dirawat. ”Saya saat ini bekerja berenam. Jadi, kerjanya 12 jam, pakai sif,” ungkapnya.

Sebelumnya, dia pernah merawat pengusaha ban di Solo. Lalu, anggota keluarga kepala Dinas Tata Ruang Jakarta Selatan. Lalu, pensiunan guru yang anaknya bekerja di Samsat Klaten hingga orang tua dari anggota kopasus. ”Kebanyakan kalau ndak pejabat, ya pengusaha,” tutur Ami.

MELAYANI DENGAN HATI: Sumi bersama lansia yang dirawatnya. (SUMI FOR JAWA POS)

Meski sudah punya banyak bekal, perasaan kaget itu tetap ada di awal-awal. Ami benar-benar merasakan perbedaan nyata ketika harus merawat bayi dan lansia. Terlebih, sebagian lansia seolah-olah kembali ke masa kecil. ”Nuwun sewu, ya. Lansia memang lebih banyak marahnya,” ungkapnya. Alasannya sama, mereka dulunya biasa bekerja, kemudian harus pensiun dan nyaris tak bisa melakukan apa-apa karena sakit. Akhirnya, mereka stres dan banyak marah. ”Kalau sudah marah, pasti orang terdekat yang kena. Dan orang terdekatnya ya kami, hehe,” papar Ami.

Kalau kena marah, Ami tak pernah ambil hati. Jadi, tak pernah ada kondisi yang sampai membuatnya ingin berhenti karena tidak tahan. Apalagi, dia merasa sangat bertanggung jawab pada tugas-tugasnya. Pantang untuknya meninggalkan apa yang belum selesai dikerjakan. ”Itu juga bergantung kitanya. Bagaimana menyikapinya. Kalau dianggap seperti orang tua sendiri, pasti jadi lebih enak,” ungkap perempuan 41 tahun tersebut. Selain itu, dia selalu berpikir bahwa pekerjaan itu sudah ditakdirkan Sang Pencipta. Dengan demikian, dia pun lebih ikhlas menjalaninya.

Rutinitas merawat lansia dengan kondisi khusus juga dijalani Eri Handayani sejak 2010. Eri pernah menjalani pendidikan sebagai perawat selama setahun. Selanjutnya, Eri lebih banyak dilatih agensi penyalur tenaga kerja mengenai perawatan lansia dengan kondisi khusus. ”Waktu itu dua bulan diajari memapah, memandikan, dan terkait dengan gizi makanan,” ucapnya. Trik-trik khusus untuk menghadapi lansia juga diajarkan.

Sejak 2020, Eri memilih bekerja di Surabaya untuk peran yang sama. Lowongan terbuka setelah salah satu keluarga memintanya mendampingi seorang lansia berusia di atas 70 tahun. Eri biasa menyebut lansia itu dengan sebutan Bapak. Tahun lalu, Bapak didiagnosis mengidap alzheimer dan demensia. Hal tersebut membuat Bapak mulai kehilangan beberapa fungsi motoriknya.

Eri harus selalu siaga di samping Bapak, apa pun kegiatannya. ”Dari bangun tidur sampai tidur lagi,” ucapnya. Bapak lebih banyak duduk karena tak lancar lagi berjalan. Namun, Eri tetap harus memapahnya untuk berjalan sebagai salah satu bentuk olahraga dan terapi.

Tiap pagi Eri memulai kegiatannya dengan menyiapkan obat dan masakan kesukaan Bapak. Paling simpel, Eri memasak scrambled egg untuk menemani konsumsi obat rutin Bapak. Eri kemudian mengecek kondisi Bapak, termasuk menensi tekanan darah. ”Baru setelah itu dibangunkan, dipapah ke kursi roda untuk sarapan di ruang makan,” ucapnya.

 

Saksikan video menarik berikut ini:

 


Kuncinya, Anggap seperti Orang Tua Sendiri