Kisah Kardjono, Penyandang Tunanetra yang Berjuang Mendirikan Koperasi

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Kisah Kardjono, Penyandang Tunanetra yang Berjuang Mendirikan Koperasi


Kardjono sempat diragukan. Apalagi kondisinya tunanetra. Warga sempat tidak percaya bahwa perjuangannya akhirnya membuahkan hasil. Koperasi berbasis syariah mulai dilirik warga yang tinggal di Flat Wonocolo. Bahkan, pria lulusan SD itu berhasil mendirikan koperasi syariah khsusus difabel. Demi menguatkan warga ekonomi lemah.

WAHYU ZANUAR BUSTOMI, Surabaya

DI ruangan 3 x 4 meter, rak-rak berisi sembako tertata rapi. Aktivitas di dalam ruangan tersebut tidak banyak. Sehari hanya dibuka dua kali. Yakni, pukul 15.00−17.00 dan pukul 19.00−21.00. Meski begitu, seorang pegawai yang melayani kadang kewalahan. Apalagi ketika tanggal muda. Di ruangan tersebut orang hilir mudik datang.

Awalnya, tempat tersebut memang bukan toko. Ruangan itu merupakan salah satu fasilitas umum (fasum) warga Rusun Wonocolo. Hanya, satu tahun terakhir ini beralih fungsi.

Meski begitu, manfaatnya masih tetap untuk penghuni rusun.

Bahkan, warga penghuni flat saat ini mulai merasakan hasilnya. Salah satunya bisa meminjam uang tanpa bunga. Dengan begitu, warga bisa mendapatkan manfaat untuk pembiayaan modal usaha.

Berdirinya Koperasi Syariah Al-Muhajirin memang belum lama. Masih 19 bulan. Tepatnya didirikan sejak Maret 2019. Mendirikannya tidak mudah. Penuh perjuangan. Harus bersabar karena banyak yang menyepelekan.

Rintangan tersebut disadari betul oleh Kardjono. Kondisinya yang tunanetra membuat penghuni flat sempat tak percaya. Apalagi, latar pendidikannya sebatas sekolah dasar (SD).

Tak sampai di situ, mengusung embel-embel syariah juga menimbulkan masalah. Tidak sedikit warga yang enggan untuk gabung. Alasannya, mulai takut rumit hingga tak ingin disebut tergabung paham yang beraliran keras.

Sebenarnya, keinginan Kardjono membentuk koperasi syariah tidak begitu saja muncul. Inisiatif tersebut datang sejak 2017. Liku-liku perjuangan tidak membuatnya patah arang. Motivasinya semakin kuat saat melihat kondisi penghuni rusun. Setiap hari dia mendengar cerita rentenir yang keluar masuk rusun. Tidak sedikit pula cerita warga yang sembunyi karena belum bisa membayar utang.

Untuk memuluskan cita-citanya tersebut, berbagai cara dilakukan pria kelahiran Magetan itu. Termasuk berbincang dengan jamaah musala. Diskusi dan masukan selalu diperoleh bakda salat Subuh. Hingga akhirnya muncul secercah harapan.

Sekitar 2018 akhir, 20 jamaah musala Rusun Wonocolo ikut bergabung. Mereka nekat mendirikan koperasi syariah. Saat itu, modal awal hanya terkumpul Rp 200 ribu. Modal tersebut didapat dari patungan Rp 10 ribu per orang.

Sayangnya, syarat pendirian koperasi minimal memiliki modal Rp 20 juta. Perjuangan Kardjono dan anggotanya kembali diuji. Dia pun bingung. Tak ada pilihan kecuali menghubungi pemkot. Tujuannya meminta pendampingan dan modal. ”Setiap hari saya telepon ke pemkot,” ucap Kardjono Kamis malam (19/11).

Tekad kerasnya membuahkan hasil. Pada 2019, pemkot akhirnya memberikan tambahan modal Rp 20 juta. Tak hanya itu, ruangan fasum di lantai bawah Rusun Wonocolo juga diberikan. Tujuannya jelas, yakni untuk kegiatan Koperasi Syariah Al-Muhajirin. Legalitas dokumen dan sebagainya pun dilengkapi. Termasuk soal dewan pengawas dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pada Maret 2019, Koperasi Syariah Al-Muhajirin berdiri. Respons positif mulai tumbuh. Jika awalnya hanya beranggota 50 orang, sekarang sudah ada 111 orang. Laba koperasi itu didapat bukan dari hasil pinjaman nasabah. Melainkan, toko kelontong yang menyediakan bahan kebutuhan sehari-hari.

Omzetnya cukup lumayan. Sebelum pandemi, sebulan bisa tembus Rp 20 juta. Hanya, saat ini turun hingga 50 persen. Selain menerapkan pinjaman bunga nol persen, Koperasi Syariah Al-Muhajirin juga memberikan pinjaman modal. Sistemnya sama, tetap tidak ada bunga. Hanya ada akad yang harus dilakukan.

Menurut Karjdono, akad pinjaman modal adalah bagi hasil. Misalnya, dari modal itu keuntungannya dibagi dan disetor setiap bulan. Contoh, setiap penjualan air mineral, bagi hasilnya Rp 50−100. Nah, itu akan dikali sebulan dengan yang terjual. ”Setiap orang labanya bisa beda, mulai Rp 15 ribu−Rp 20 ribu yang disetor setiap bulan,” ucapnya.

Selain tidak membebani nasabah, akad tersebut melatih orang untuk jujur. Sebab, bisa jadi mereka menyetorkan labanya lebih sedikit dari aslinya. Nah, untuk pengembalian biaya pokoknya, khusus dana pinjam modal bisa dilakukan dua pilihan. Dicicil bulanan atau dibayar di akhir tahun.

Berbeda halnya dengan pinjam nonmodal. Nasabah harus mencicil setiap bulan. Namun, tetap tidak ada bunga. Karena kondisi pandemi, saat ini ada perbedaan akad. Peminjam modal tak perlu menyetorkan laba. Mereka hanya wajib mengembalikan uang pokoknya.

Perputaran uang di Koperasi Syariah Al-Muhajirin tidak bisa dianggap remeh. Hingga kini setidaknya hampir Rp 100 juta. Bahkan, Kardjono menerbitkan surat sukuk. Per lembarnya dijual Rp 200 ribu. Respons penghuni rusun pun baik.

Dalam seminggu, 100 lembar habis terjual. Sukuk tersebut aktif selama tiga tahun. Pemegang setiap bulan mendapat keuntungan 50 persen dari untung koperasi. Jika sudah tiga tahun, sukuk tersebut dibayar sesuai harga awal. Yakni, Rp 200 ribu per lembar. ”Ini untuk memperkuat modal koperasi,” ucapnya.

Kardjono memang bukan seorang ekonom. Meski hanya tukang pijat tunanetra, keinginan belajar ekonomi syariah sangat tinggi. Sejak 2010, dia rajin mengikuti salah satu program radio. Temanya adalah tentang pemberdayaan ekonomi syariah.

Pria 38 tahun itu juga aktif menjadi narasumber bincang-bincang koperasi di radio. Oktober lalu, dia bahkan berhasil mendirikan koperasi syariah khusus penyandang disabilitas. Anggotanya pun lintas wilayah. Bahkan sampai luar pulau. 

Saksikan video menarik berikut ini:


Kisah Kardjono, Penyandang Tunanetra yang Berjuang Mendirikan Koperasi