Bangun Empat Jembatan untuk Suku Baduy, PUPR Perhatikan Kearifan Lokal

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Bangun Empat Jembatan untuk Suku Baduy, PUPR Perhatikan Kearifan Lokal


JawaPos.com – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) melalui Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Banten membangun empat jembatan untuk masyarakat Suku Baduy. Keempat jembatan tersebut yakni Jembatan Cipahiriang (14 meter), jembatan Lebak Waru (22 meter), Jembatan Leuwijangkar (24 meter), dan Jembatan Leuwilesung (26 meter).

Kepala BPJN Banten, Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian PUPR, Wida Nurfaida mengatakan, pembangunan jembatan merupakan permintaan masyarakat Baduy. Anggaran yang dibutuhkan untuk membangun keempat jembatan itu sekitar Rp 74 juta, dan pembangunannya dilaksanakan melalui program padat karya.

Wida menuturkan, jembatan dibangun untuk meningkatkan akses penghubung antara Desa Baduy Dalam dan Desa Baduy Luar. Pasalnya, ketiadaan infrastruktur jembatan di situ membuat waktu tempuh untuk mobilitas cukup lama, antara dua jam hingga empat jam.

“Cuma kesulitannya, di Baduy Luar boleh pakai kayu, di Baduy Dalam tidak boleh dipotong. Hanya bambu diikat dengan ijuk dan disangga. Jadi, harus betul-betul mengadopsi kearifan lokal,” kata Wida saat press tour Kementerian PUPR, akhir pekan lalu.

Selain itu, ada pakem-pakem lain yang harus diikuti saat membangun infrastruktur di kawasan adat Baduy Dalam. Ada beberapa desain yang tidak bisa diterapkan sehingga mesti diubah.

Wida mengatakan, dalam mengerjakan pekerjaan ini, pihak BPJN sangat berhati-hati dalam mengikuti kearifan lokal. Oleh karena itu, untuk menambah nilai kekuatan jembatan, pihaknya menambahkan bagian-bagian yang masih diperbolehkan secara adat.

“Karena susunan bambunya pun ada aturannya, harus sembilan. Karena tidak bisa tambah bambu, maka kami tambahkan rangka-rangkanya. Mereka juga mau menerima saran kami seperti bambunya direndam dulu supaya lebih kuat. Lalu tinggi jembatannya di atas air pasang, mereka juga sepakat,” ucapnya.

Paket pembangunan jembatan Leuwilesung. (Dok. BPJN Banten)

Dalam kesempatan sama, Direktur Eksekutif Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) Nanang Asfarinal mengakui, pembangunan infrastruktur di kawasan adat merupakan hal yang sensitif. Di satu sisi, masyarakat butuh dimudahkan aksesnya.

Di sisi lain, mereka khawatir, saat aksesibilitas meningkat, makin banyak wisatawan berkunjung dan berpotensi menimbulkan masalah kelestarian. Oleh karena itu, Nanang berharap ketika infrastruktur di kawasan adat semakin matang, desain konsep pariwisata yang ditawarkan juga bisa menjaga kelestarian kawasan adat.

“Saat ini kawasan Baduy ini juga dilindungi UU Cagar Budaya, kami dorong UU Pemajuan Kebudayaan juga memasukkan kawasan ini,” katanya.

Lebih lanjut, Nanang mengatakan, yang membuat mahal pembangunan infrastruktur di kawasan adat bukanlah biaya materialnya. Melainkan, biaya ritualnya.

“Kawasan adat akan selalu sensitif soal ritual, apalagi soal bambu. Mereka bolehnya bambu petung. Dan mereka tidak akan sembarang memotong. Ada hitungan harinya, karena itu terkait kadar gula kadar air dalam bambu,” lanjut Nanang.

Tradisi Turun-temurun

Nanang menjelaskan, masyarakat adat yang ada di Indonesia selalu memegang teguh tradisi yang telah berlangsung turun-temurun. Apalagi masyarakat Baduy yang masih menjaga keberlangsungan tradisi adat budayanya sampai saat ini.

Masyarakat Baduy menggelar ritual bukan hanya saat akan membangun atau mengerjakan pekerjaan yang berhubungan langsung dengan pekerjaan alam. Hal-hal yang berhubungan dengan intangible atau budaya tak benda pun, pasti memakai ritual.

“Kita lihat bagaimana masyarakat Baduy melakukan ritual pengobatan, ritual bersyukur akan panen, dan lain-lain,” katanya kepada JawaPos.com.

Ritual merupakan sebuah bentuk meminta izin kepada yang kuasa atau leluhur berdasarkan tradisi dari masyarakat Baduy. Sehingga dengan adanya ritual tersebut, masyarakat yang bekerja merasa nyaman karena sudah meminta izin dan memohon pekerjaan yang dilaksanakan dijauhkan dari marabahaya.

Sementara itu, terkait tradisi memakai bahan-bahan dari alam, itu dikarenakan masyarakat Baduy merasa nyaman dengan material tersebut. Mereka juga yakin dengan bahan-bahan yang ada di sekitar mereka, karena secara tradisi sudah memakainya sejak dahulu kala.

“Sedangkan material modern seperti paku, semen, dan lain-lain, mereka tidak familiar. Mereka juga tidak yakin akan hasil dari material tersebut. Bukan hanya material, tetapi waktu pelaksanaanpun mereka selalu meminta petunjuk dan izin kepada leluhur,” katanya.


Bangun Empat Jembatan untuk Suku Baduy, PUPR Perhatikan Kearifan Lokal