Dampak Terpilihnya Biden bagi Rival Amerika Serikat

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Dampak Terpilihnya Biden bagi Rival Amerika Serikat


Kemenangan capres Demokrat Joe Biden pada pilpres 3 November silam disambut hangat oleh dunia. Namun, beberapa negara menolak ikut euforia tersebut. Mereka merasa bahwa transisi kepemimpinan baru AS akan memunculkan cobaan baru.

Peta politik dunia bergeser lagi. AS yang selama empat tahun keluar dari jalur kini kembali dengan Joe Biden sebagai presiden terpilih. ”AS kembali ke permainan ini,” ujar Biden menurut CBS. Banyak negara yang bersorak.

Selama Presiden AS Donald Trump menjabat, banyak negara yang tak tenang. Pemerintahan lain kerap waswas menjadi sasaran sang konglomerat.

Trump tak pernah ragu menyerang negara lain. Dia sering memulai perang dagang dengan negara yang merugikan AS. Sebut saja Tiongkok dan Jepang. Saat tak puas dengan organisasi internasional, dia keluar tanpa banyak pertimbangan.

Trump bisa lolos dengan semua kengawurannya berkat dukungan kuat dari kubu sayap kanan. Mereka menyebut Trump selalu benar karena merasa kepentingan mereka dilindungi.

”Trump adalah obat yang mengizinkan rakyat menikmati supremasi kulit putih dan sebagian masyarakat terlena akan itu,” kata Carol Anderson, penulis buku White Rage, kepada CNN.

Namun, lebih dari setengah penduduk AS menyimpulkan bahwa empat tahun kegilaan Trump sudah lebih dari cukup. Negara lain berpendapat sama. Saat memberi ucapan selamat, Kanselir Jerman Angela Merkel berpesan kepada Biden untuk memperkuat kerja sama trans-Atlantik antara Eropa dan AS.

Presiden Dewan Eropa Charles Michel meminta AS kembali berfokus pada perubahan iklim, perdagangan bebas, perang terhadap Covid-19, dan multilarisme. ”Ini adalah hari yang baik untuk kembali membangun hubungan,” tutur Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell.

Tentu saja, tak mungkin seluruh dunia senang Trump akhirnya tersingkir dari Gedung Putih. Mereka adalah negara-negara yang merasa diuntungkan dengan sifat spontan dan ceroboh dari Trump.

Sampai saat ini, Presiden Brasil Jair Bolsonaro belum mengucapkan selamat kepada Biden. Banyak politikus di negara Eropa Tengah yang masih tak bisa menerima kemenangan capres Demokrat. Mereka merasa gelombang nasionalisme fanatik menjadi rentan jika pemimpin populis AS tumbang.

”Ini bisa jadi awal dari berakhirnya kepemimpinan populis,” papar Direktur Jenderal Royal United Services Institute Karin von Hippel.

Satu lagi yang merasa kehilangan Trump adalah rival AS. Yakni, Rusia dan Tiongkok. Rusia sudah jelas mendukung penuh Trump. Pada 2015, mereka melancarkan serangan siber agar masyarakat Negeri Paman Sam terbelah. Hasilnya, Trump mengejutkan dunia dengan kemenangan atas capres Demokrat Hillary Clinton.

Penyelidikan jaksa khusus Robert Mueller membuktikan bahwa Rusia membanjiri dunia maya dengan hoaks dan teori konspirasi untuk menjatuhkan Demokrat. Tahun ini FBI sudah menegaskan bahwa upaya intervensi Kremlin makin kencang dan beragam.

”Kami percaya lebih pantas menunggu hasil resmi pemilu (sebelum memberi selamat, Red),” ungkap Jubir Pemerintah Rusia Dmitry Peskov kepada TASS.

Di sisi lain, Tiongkok sebenarnya harus bersyukur rezim Trump berakhir. Sejak 2016, Tiongkok menjadi bulan-bulanan suami Melania tersebut. Pertama, masalah perang dagang. Kemudian, masalah HAM dan spionase. Terakhir, masalah Covid-19.

Namun, entah mengapa pemerintahan Xi Jinping seperti enggan menyambut pemimpin baru AS. ”Kami sadar bahwa Biden sudah mendeklarasikan kemenangan. Namun, Tiongkok percaya hasil pemilu akan ditentukan menurut aturan yang berlaku,” jelas Jubir Kementerian Luar Negeri Tiongkok Wang Wenbin sebagaimana dilansir Associated Press.

Tiongkok paham bahwa Biden yang sudah kawakan di politik luar negeri jelas berbeda. Biden sudah berjanji bertindak lebih tegas daripada Trump.

Isu yang menjadi perhatian Trump adalah bisnis. Isu yang bakal diperhatikan Biden adalah demokrasi. Demokrasi adalah titik lemah dari negara komunis, sosialis, dan otokrat.

”Biden akan mengambil sikap tegas pada Tiongkok. Yang terpenting, dia bisa mengumpulkan sekutu untuk mencapai tujuannya,” tutur Von Hippel.

MEREKA YANG BELUM MENERIMA BIDEN

Presiden Rusia Vladimir Putin: Dilaporkan mengintervensi pemilu AS dua kali demi membantu Donald Trump. Saat ini Rusia belum mengucapkan selamat untuk Biden karena masih ada gugatan hukum yang berlangsung.

Presiden Tiongkok Xi Jinping: Xi tak punya hubungan baik dengan rezim Trump. Namun, pemerintah Tiongkok sepertinya merasa Trump pilihan lebih baik daripada Biden. Tiongkok menyatakan ingin menunggu proses hukum selesai.

Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un: Jong-un sudah lama mengejek Biden sebagai sosok yang tak cakap. Jong-un punya sentimen positif kepada Trump pasca pertemuan damai di Singapura.

Perdana Menteri Slovenia Janez Jansa: Trump merupakan kebanggaan bangsa Slovenia karena istrinya berasal dari sana. Jansa bahkan sempat memberi selamat ke Trump pada malam pemilu saat dia unggul. Pernyataan itu diralat, tapi tak ada ucapan selamat untuk Biden.

Menteri Dalam Negeri Estonia Mart Helme: Helme dan anaknya, Menteri Keuangan Martin Helme, mengumbar tudingan bahwa AS mengalami pemilu curang. Biden dan anaknya, Hunter, juga dituding sebagai pejabat korup. PM Estonia Juri Ratas memprotes keduanya dan memberi selamat kepada Biden. Helme mengundurkan diri Senin lalu.

Presiden Brasil Jair Bolsonaro: Bolsonaro mendapat julukan sebagai Trump di tanah tropis. Kebijakan dan visinya hampir sama dengan Trump. Bolsonaro juga tak senang karena Biden beberapa kali meminta Brasil melindungi hutan Amazon.

Presiden Meksiko Andrés Manuel López Obrador: Meski hubungan kedua negara pasang surut, López Obrador terlihat ingin mempertahankan hubungan baik dengan Trump. Sikapnya adalah menunggu proses hukum selesai sebelum menyambut pemerintahan baru.

Sumber: BBC

Saksikan video menarik berikut ini:


Dampak Terpilihnya Biden bagi Rival Amerika Serikat