Warga Kota Jayapura Mengheningkan Cipta Peringati Hari Pahlawan

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Warga Kota Jayapura Mengheningkan Cipta Peringati Hari Pahlawan


JawaPos.com–Sebagian warga Kota Jayapura, Papua, ikut mengheningkan cipta selama 60 detik pada Selasa pukul 08.15 WIT untuk memperingati hari Pahlawan. Sesuai pedoman penyelenggaraan upacara Hari Pahlawan ke-75 pada 10 November 2020 dari Kementerian Sosial, peringatan Hari Pahlawan tahun ini mengangkat tema Pahlawanku Sepanjang Masa.

Petugas Direktorat Lalu Lintas Polda Papua memegang spanduk berisi imbauan untuk mengheningkan cipta selama 60 detik mulai pukul 08.15 WIT di area pertigaan jalan dan tempat lampu lalu lintas.

Para pengendara motor dan mobil yang melintas pun berhenti untuk mengheningkan cipta sejenak, termasuk di antaranya Arul. ”Terima kasih Pak Polisi sudah mengingatkan warga untuk hening cipta selama 60 detik sebagai ungkapan terima kasih dan syukur atas karya perjuangan pahlawan,” ujar Arul seperti dilansir dari Antara Selasa (10/11).

Sementara itu, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November, pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada tokoh asal Papua Barat sekaligus pendiri Tjendrawasih Revolutionary Movement of West Irian (GTRIB) Machmud Singgirei Rumagesan karena dianggap berjasa dalam tonggak sejarah bangsa.

Dikutip dari Kementerian Sosial, Machmud Singgirei Rumagesan bersama lima tokoh lain, yakni Sultan Baabullah, Jenderal Polisi Purnawirawan Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, Arnold Mononutu, Mr Sutan Mohammad Amin Nasution, dan Raden Mattaher bin Pangeran Kusen bin Adi, akan disematkan gelar pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta.

Machmud Singgirei Rumagesan akan menjadi tokoh asal Papua Barat pertama yang menyandang gelar pahlawan nasional. Perjuangan tokoh asal Papua Barat tersebut dalam mengusir penjajah berawal dari ketidaksenangannya terhadap pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang pada buruh di tanah kelahirannya.

Hal itu terjadi lantaran perusahaan Belanda Maatschapijj Colijn mempekerjakan buruh dengan sewenang-wenang di Papua Barat. Machmud Singgirei Rumagesan yang juga raja di kawasan Sekar atau sekarang dikenal Kabupaten Fakfak geram terhadap Belanda. Dia kemudian mengajukan syarat terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Sejak peristiwa itu, muncul konflik antara Rumagesan dengan Belanda.

Pada 1934, sekitar 73 pengikut raja ditangkap. Dia diasingkan ke Saparua dan dijatuhi hukuman selama 15 tahun penjara, sedangkan para pengikutnya dipenjara selama 10 tahun. Dari balik jeruji besi, sang raja gencar menyebarkan semangat nasionalisme. Kian hari pengikutnya terus bertambah. Bahkan, salah seorang sipir penjaga penjara juga terpengaruh oleh pola pikirnya yang merupakan pribumi asli Papua.

Pada 1953, dia mendirikan sebuah organisasi pembebasan Irian Barat di Makasar yang disebut GTRIB. Pada sidang Dewan Nasional 1957, Rumagesan juga menyerukan Irian Barat harus kembali ke Indonesia. Organisasi tersebut kala itu meminta pemerintah Indonesia membentuk pemerintah lokal di Papua yang dipimpin orang asli Papua, sebagai bagian dari Indonesia untuk menentang Belanda yang masih menjajah Tanah Papua pasca-kemerdekaan Indonesia 1945.

Keinginannya untuk kembali dan melihat Tanah Papua Barat bebas dari jeratan penjajahan Belanda tercapai ketika dia kembali ke kampung halaman pada 15 Mei 1964. Sayangnya, dua bulan kemudian dia mengembuskan napas terakhir, pada 5 Juli 1964.

Saksikan video menarik berikut ini:


Warga Kota Jayapura Mengheningkan Cipta Peringati Hari Pahlawan