Alasan Jaksa Tuntut Hukuman Mati Heru Hidayat di Kasus ASABRI

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Alasan Jaksa Tuntut Hukuman Mati Heru Hidayat di Kasus ASABRI


JawaPos.com – Komisaris PT. Trada Alam Minera (TRAM) Heru Hidayat dituntut hukuman mati dalam kasus dugaan korupsi PT. ASABRI, oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung. Heru Hidayat diyakini bersama-sama merugikan keuangan negara sebesar Rp 22.788.566.482.083.

Selain tuntutan pidana hukuman mati, Heru Hidayat juga dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 12.643.400.946.226 dengan ketentuan jika tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak menjelaskan, perbuatan Heru Hidayat dalam kasus dugaan korupsi PT. ASABRI telah merugikan keuangan negara sebesar Rp 22,7 triliun. Bahkan, Heru Hidayat turut menikmati aliran uang korupsi pada perusahaan asuransi pelat merah tersebut.

“Atribusi dari kerugian keuangan negara tersebut dinikmati terdakwa Heru Hidayat sebesar Rp 12.643.400.946.226. Nilai kerugian keuangan negara dan atriubusi yang dinikmati oleh terdakwa Heru Hidayat sangat jauh di luar nalar kemanusiaan dan sangat mencederai rasa keadilan masyarakat,” kata Leonard dalam keterangannya, Selasa (7/12).

Selain terjerat dalam kasus dugaan korupsi PT. ASABRI, Heru Hidayat juga telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi pada perusahaan PT. Asuransi Jiwasraya yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 16.807.283.375.000 atau Rp 16,8 triliun. Heru Hidayat dalam kasus tersebut dijatuhi hukuman seumur hidup dan telah berkekuatan hukum tetap.

“Atribusi yang dinikmati oleh terdakwa Heru Hidayat dalam tindak pidana korupsi PT. Asuransi Jiwasraya seluruhnya sebesar Rp 10.728.783.375.000,” ungkap Leonard.

Kejaksaan Agung, lanjut Leonard, beralasan tuntutan hukuman mati tersebut didasarkan pada skema kejahatan yang telah dilakukan Heru Hidayat baik dalam perkara PT. ASABRI dan PT. Asuransi Jiwasraya sangat sempurna sebagai kejahatan yang complicated dan sophisticated. Karena dilakukan dalam periode waktu sangat panjang dan berulang-ulang, melibatkan banyak skema, termasuk kejahatan sindikasi yang menggunakan instrument pasar modal dan asuransi.

Serta menggunakan banyak pihak sebagai nominee dan mengendalikan sejumlah instrumen di dalam sistem pasar modal. Hal ini pun menimbulkan korban, baik secara langsung dan tidak langsung yang sangat banyak dan bersifat meluas.

“Secara langsung akibat perbuatan terdakwa telah menyebabkan begitu banyak korban anggota TNI, Polri dan ASN/PNS di Kemenhan yang menjadi peserta di PT. ASABRI. Termasuk pula korban-korban yang meluas terhadap ratusan ribu nasabah pemegang polis pada PT. Asuransi Jiwasraya yang tentu juga berdampak sangat besar dan serius bagi keluarganya,” cetus Leonard.

Leonard juga menyebut, perbuatan Heru Hidayat telah mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat dan telah menghancurkan wibawa negara, karena telah menerobos sistem regulasi dan sistem pengawasan di pasar modal dan asuransi dengan sindikat kejahatan yang sangat luar biasa berani, tak pandang bulu, serta tanpa rasa takut yang hadir dalam dirinya dalam memperkaya diri secara melawan hukum.

“Terdakwa Heru Hidayat tidak memiliki sedikitpun empati dengan beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperolehnya secara sukarela serta tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah. Bahkan sebaliknya dengan sengaja berlindung pada suatu perisai yang sangat keliru dan tidak bermartabat bahwa transaksi di pasar modal adalah perbuatan perdata yang lazim dan lumrah,” ungkap Leonard.

Meski memang tidak menyebut Pasal 2 ayat (2) dalam dakwaan Jaksa, lanjut Leonard, frase ‘Keadaan tertentu’ sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) adalah pemberatan pidana dan bukan sebagai unsur perbuatan, hal ini dicantumkan secara tegas dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (2) dalam UU Nomor 20 Tahun 2001.

Sementara itu, dalam Penjelasan Umum UU Nomor 20 tahun 2001 juga dinyatakan, dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana.

Dengan demikian, sambung Leonard, tidak dicantumkannya Pasal 2 ayat (2) seharusnya tidaklah menjadi soal dapat diterapkannya pidana mati. Karena hanya sebagai alasan pemberatan pidana, terlebih cukup terpenuhinya keadaan-keadaan tertentu yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (2), maka penjatuhan pidana mati dapat diterapkan.

“Keadaan tertentu sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (2) berdasarkan karakteristiknya yang bersifat sangat jahat, maka terhadap fakta-fakta hukum yang berlaku bagi terdakwa Heru Hidayat sangat tepat dan memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana mati,” tegas Leonard.

Heru Hidayat dituntut melanggar melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan kedua primair Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


Alasan Jaksa Tuntut Hukuman Mati Heru Hidayat di Kasus ASABRI