Dammahum Jadi Mercusuar

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Dammahum Jadi Mercusuar


KETIKA itu usianya 48. Ia menemuiku seusai salat Jumat. ”Sungguh, saya tak pernah mendengar khotbah sebagus tadi,” katanya dengan punggung yang dibungkukkan. Aku tersenyum. Meski kurang nyaman, aku harus tetap menghargainya. ”Perkenankan saya jadi murid Kiai,” pintanya tiba-tiba. Aku menoleh ke Umar, santri yang sudah dua tahun mengawalku. ”Siapa pun bisa belajar sama Kiai,” kata pemuda 20 tahun itu sebelum kami meninggalkannya.

Namanya Dammahum. Suatu malam aku menemuinya di pendapa pesantren. Kata istriku, ia menunggu hampir sembilan jam. Aku mendengarkan ceritanya, termasuk mimpinya yang agung itu. Sulit kupercaya, tapi aku tidak menangkap kebohongan dan keculasan di matanya. Aku hampir tak percaya kalau masih ada orang kaya yang hanif di luar sana, kataku tanpa berusaha meremehkannya. ”Tinggallah bersama Umar di kamarnya,” pungkasku.

Waktu berjalan serupa fatamorgana sebelum suatu hari Umar mengonfirmasi ingatanku tentangnya. ”Sudah lama aku tidak melihatnya di kajian Subuh. Kenapa dia tidak bilang kalau mau pamit? Alphard-nya juga sudah lama tak ada di parkiran.”

”Pak Dammahum tidak ke mana-mana, Kiai,” kata Umar. ”Akhir-akhir ini ia langsung kembali ke kamar bakda Subuh. Dia tidak mau memancing keriuhan lagi. Kiai masih ingat tangisnya pecah di keheningan kajian Subuh enam bulan lalu?”

Aku mengingat-ingat. ”Ya,” kataku kemudian. ”Saat itu aku mengisahkan Muhammad kecil yang diselamatkan seorang pendeta dengan menyuruh Abu Thalib, pamannya yang memimpin rombongan yang akan melakukan perjalanan ke Negeri Syam, untuk membawa ia kembali ke Makkah karena orang-orang Yahudi di sana pasti akan melakukan sesuatu yang buruk begitu mengetahui tanda-tanda kenabian itu tidak melekat pada Bani Israil. Itu bukanlah bagian yang emosional dari Sirah Nabawiyah daripada masa-masa menjelang wafatnya Rasul, Umar.”

”Kalau bagian itu saja ia tersedu sedan, bagaimana dengan bagian-bagian yang lain, Kiai?”

”Apakah dia juga berpuasa?”

Umar mengangguk. ”Dan ia hanya berbuka dengan air putih dan kurma. Ia juga selalu membangunkanku Tahajud, Kiai, bahkan sejak malam pertama ia menghuni kamarku.”

”Masya Allah.”

”Alphard-nya sudah dijual, Kiai.”

”Apa?”

”Uangnya disumbangkan untuk pembangunan masjid pesantren.”

Allah.

”Ia juga bercerita: untuk kepentingan bisnis dan lepas dari jerat hukum, ia memiliki tujuh nama samaran plus berkas pendukungnya seperti KTP, paspor, atau yang lainnya untuk semua perusahaannya. Katanya lagi, wajahnya saat ini adalah hasil operasi plastik yang kali kesekian. Dan ia sungguh ingin bertobat.”

Aku mencoba mencerna kata-kata Umar. ”Bagaimana keluarganya?”

”Dia adalah duda yang ditinggal mati istri dan anak-anaknya dalam sebuah kecelakaan empat tahun lalu.”

Allah. ”Tiap membicarakan hijrahnya, ia membawa-bawa Kiai.”

Aku mengernyitkan dahi.

”Kiai masih ingat Andri Subhan dan Ahmad Patihan, dua alumnus pesantren kita yang jadi juru bicara Kemenlu?”

Tentu saja aku ingat. ”Yang membuat Menlu Amerika yang terkenal piawai beretorika dipecat sehari setelah mereka berdua membalas serangannya dengan argumentasi brilian di sidang umum PBB tentang gencatan senjata di Tepi Gaza tiga tahun lalu?”

Umar mengangguk.

”Apa hubungannya?”

”Pak Dammahum mengumpamakan mereka sebagai Mu’adz bin Afra dan Mu’awwidz bin Afra di Perang Badar.”

”Dan Menlu Amerika yang mendukung Israel itu adalah Abu Jahalnya?”

Umar mengangguk. ”Artinya… ia menganggap Kiai…”

”Di mana dia sekarang?” potongku.

”Bakda Asar Pak Dammahum biasanya melihat-lihat kuda di halaman belakang pesantren, Kiai.”

Maka, sore itu kuputuskan menggelar latihan perang berkuda dengan para santri. Pak Dammahum tampak senang sekali ketika kutawarkan bergabung. Ia memang tidak mahir menggunakan pedang dan cemeti, tapi cemerlang mengendalikan tunggangan baru. ”Di Kalimantan, aku memiliki puluhan kuda dan area pacuan seluas 10 hektare, Kiai,” katanya tanpa terdengar pongah.

”PAK DAMMAHUM telah melampaui diri sendiri. Apa yang Bapak jalani dua tahun di pesantren ini menjadi teladan bagi yang lain,” kataku ketika ia meminta nasihat di usianya yang ke-50. ”Aku malah memiliki permintaan,” lanjutku serta-merta.

”Sungguh kehormatan, Kiai,” katanya dengan kepala tertunduk.

”Gantikanlah tugasku berceramah malam ini.”

Di luar dugaan, Pak Dammahum melakukannya dengan baik. Video amatir ceramah pengalaman hijrahnya bahkan viral. Itu menyadarkanku bahwa sudah saatnya ia berdakwah. ”Saya belum layak, Kiai,” katanya dengan berurai air mata.

Tapi, keputusanku sudah bulat: ia harus meninggalkan pesantren.

*

Hingga setahun setelahnya, Pak Dammahum tak pernah berkabar. Meski media terus membicarakan sosoknya yang misterius; selain video ceramahnya yang viral, karena beberapa lembaga kemanusiaan membocorkan identitas penyokong utama kegiatan mereka; Dammahum. Aku menyesalkan kejadian itu. Pak Dammahum pasti kecewa dan makin susah muncul ke publik, hingga… malam pertama Ramadan itu seseorang menunggu di pendapa. Tentu saja aku heran. Pesantren tak menerima tamu di bulan suci.

”Maaf, Kiai,” kata Umar, ”Saya bisa menolak siapa pun, tapi tidak untuk yang ini,” ia menyebut sebuah nama dengan suara bergetar.

Sesosok lelaki membalikkan badannya. Aku sungguh ingin menangis, tapi wajah Pak Dammahum –yang nyaris tak kukenali karena rahangnya yang dipenuhi jambang dan janggut panjang di dagunya– sudah lebih dulu merah dan basah oleh cahaya kemuliaan dan air mata ketakwaan.

Kami tak mengeluarkan sepatah kata pun beberapa saat, seolah-olah memberikan kesempatan bagi sedu sedan untuk mengisi malam. ”Kalau hanya untuk menolak menjadi suar yang menerangi kapal yang kehilangan arah, sebaiknya engkau pergi setelah kita berbasa-basi sebagai tamu dan tuan rumah,” kataku dengan suara tercekat.

”Aku akan patuh, Kiai,” kata Pak Dammahum di sela tangisnya. ”Tapi,” ia menyeka air matanya, ”bolehkah aku menceritakan mimpiku?”

Baru saja aku ingin menjawab, ia melanjutkan:

”Bukan tentang Rasulullah, Kiai,” wajahnya semringah serta-merta. ”Aku bermimpi melihat debu di permukaan kulit Kiai dan aku ingin sekali membersihkannya,” lanjutnya. ”Sudikah Kiai melepas jubah?”

Umar hendak buka suara ketika aku melepaskan jubah pakistan hingga aku hanya mengenakan celana panjang kain dan kaus dalam. ”Kau ingin aku bertelanjang dada?”

Pak Dammahum mengangguk dan berjalan mendekat.

”Dalam sirah kenabian: Du’tsur bin Al- Harits berhasil menyusup ke kemah Nabi dan menghunuskan pedangnya ke leher Nabi dan bertanya siapa yang bisa menyelamatkan Nabi saat itu. Kita semua tahu kalau Rasulullah menjawab ”Allah” dan laki-laki suku Ghatafan itu terlempar hingga pedangnya terlepas, bukan?” Umar mengingatkan.

”Aku takkan ingin senasib dengan Du’tsur bin Al- Harits.”

”Kiai tidak akan mungkin balik menghunuskan pedangnya ke lehermu,” tukas Umar.

”Silakan tunaikan hajatmu, Pak Dammahum,” kataku berusaha tenang.

Pak Dammahum memandangi dada, lengan, bahu, dan leherku dengan saksama. Lalu, ia berjalan memutar perlahan. Kulihat Umar menatapnya dengan waspada, bersiap menghajar kalau ia mencoba menyakitiku. Satu, dua, lima detik kemudian, Pak Dammahum menghentikan langkah tepat di belakangku.

”Bapak telah menemukan debu itu?” desak Umar.

Dua sembilan, tiga dua, tiga lima, empat puluh detik kemudian, kedua tangannya muncul dari kiri kanan tubuhku dan memelukku erat. Ia mencium punggungku bertubi-tubi. Umar menariknya, tapi Pak Dammahum seolah-olah baru mendapat tenaga kuda. Aku berselawat berulang-ulang hingga akhirnya Pak Dammahum melepaskan pelukannya. ”Masih ingatkah, Kiai,” Pak Dammahum sudah bersimpuh ketika aku berbalik, ”latihan perang di halaman belakang pesantren?”

”Cemeti yang kupukulkan ke kudamu malah mengenaimu?”

Aku paham ke mana ia menggiring percakapan.

”Tak ada yang kebetulan, Kiai.”

”Latihan perang itu bukan Perang Uhud, bukan pula setelahnya. Kita terpisah hampir 1.500 tahun lalu dari Yang Mulia. Akasyah berhak memeluk Rasul yang bertelanjang dada atas cinta kepada Kekasih Allah, tapi… engkau sungguh tersesat mereka ulang kejadian agung itu dengan melibatkan kita berdua.”

Pak Dammahum mati kata. Setelah menarik tangan kananku dan menciumnya berkali-kali, ia meninggalkan pesantren tanpa salam.

*

Aku jarang mengikuti perkembangan isu-isu nasional, selain krisis Timur Tengah dan Palestina atau paling jauh kiprah Turki yang makin disegani Barat, sampai… Umar memutar konferensi pers yang viral hari itu.

Dammahum muncul dengan setelan jas dan wajah yang klimis. Meski kelihatan lebih muda dan karismatis dengan tampilan barunya, aku tetap menyesalkan keputusannya. Ia membawa-bawa namaku sebagai orang yang mengilhaminya untuk menjadi mercusuar negeri ini. Aku dan Umar saling pandang ketika ia mengajak istri dan anak-anaknya naik ke panggung. Ia kemudian membawa-bawa namaku sebagai orang yang memaksanya mengambil langkah besar: berdakwah dengan menjadi mercusuar negeri ini. ”Bangsa ini ibarat kapal,” katanya di atas podium. ”Harus ada mercusuar yang memberi tahu kalau laut dangkal dan karang besar ada di tepi lautan. Aku mengambil langkah besar ini setelah menjalani begitu banyak kejadian luar biasa dalam hidup, dukungan Kiai muda yang sama-sama kita ketahui sangat layak diteladani bangsa ini, dan pertimbangan demi pertimbangan yang menabrak tembok besar bernama: kembali ke ajaran Rasul!”

Allahu Akbar. Allah bersamanya. Atau, Allah sedang mengujinya?

Oh, ingin sekali aku meralat nasihatku dulu, tapi … tahun keburu berganti dan Dammahum sudah menjadi mercusuar itu.

*

”Jadilah penasihatku, Kiai,” pintanya untuk kali kesekian dalam enam bulan masa jabatannya. ”Aku sangat menginginkan keempat pengawalmu menjadi bagian kabinet yang sebentar lagi akan ku-reshuffle, tapi mereka tidak mau memberikan jawaban sebelum aku bicara kepadamu dan engkau memberi mereka izin, Kiai.”

”Mengapa engkau mengesahkan undang-undang yang menyusahkan orang kecil, melegalkan pembabatan hutan, menghapus hak libur bagi wanita yang melahirkan dan laki-laki yang mendapat uzur besar, bahkan menjadikan negeri ini sebagai rumah besar bagi orang-orang yang ingin menguasainya, Pak Presiden? Tidakkah pesanku waktu itu adalah agar engkau berdakwalah dengan ilmu dan kehanifan yang ada padamu.”

”Tapi, bukankah Kiai memintaku berjuang dengan segenap yang kumampu?”

Aku tak tahu. Aku yang salah memilih kata atau dia yang kebablasan menafsirkan.

”Dan aku tak mau tanggung-tanggung, Kiai.”

Aku ingat sekali. Dia memandangku tajam dan bicara dengan nada yang ketus. ”Jadilah aku sebentar saja, Kiai,” kata-katanya menjelma pedang tajam yang menghunus. ”Kiai akan tahu bahwa kata-kata bijak sungguh tidak bekerja. Yang aku lebih tak habis pikir: mengapa Kiai menggerakkan para santri untuk menuntutku mundur?”

”Pak Dammahum,” pekikku tertahan. ”Tuduhanmu benar-benar tak berdasar dan mengawang-awang.”

”Semuanya terang, Kiai!” Ia pun meninggikan suaranya. ”Sungguh aku tak menyangka hati Kiai busuk sekali. Aku ini muridmu bagaimanapun!!!” Ia berteriak-teriak seperti macan yang diganggu tidurnya.

Entah sejak kapan dan bagaimana, aku tidak terkejut dengan perubahan yang baru saja ia tunjukkan.

”Kiai benar dan sekarang aku percaya dengan ketidakpercayaanmu tentang akhlak Rasul yang masih hidup itu. Mana ada orang kaya hanif sepertiku di akhir zaman ini. Kini semuanya berbalik kepadamu, Kiai: bagaimana mungkin masih ada orang sesaleh dan selurus Kiai di dunia yang gila ini?”

*

Suatu pagi, serombongan orang datang dengan membawa surat penangkapan. Agar tidak memancing keributan di pesantren, aku meminta mereka tidak memborgolku dan memperkenankanku masuk ke mobil sebagaimana orang yang hendak bepergian dengan tamunya. Mereka membawaku ke bilik berjeruji, tempat aku menulis cerita ini. Oh, Junjungan, syafaatkan kami… mercusuar kami….

Allahumma sholli ’ala Muhammad. Ya Robbi sholli ’alaihi wassalam. (*)

Lubuklinggau, 19 Oktober–4 Desember 2020

*) BENNY ARNAS, Lahir, besar, dan berdikari d(ar)i Lubuklinggau. Telah menulis 25 buku lintas genre. Dua novelnya yang akan terbit: Bulan Madu Matahari dan Ethile! Ethile!

 

Saksikan video menarik berikut ini:

 


Dammahum Jadi Mercusuar