Produsen-Konsumen Harus Berjuang untuk Halal dan Berkah

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Produsen-Konsumen Harus Berjuang untuk Halal dan Berkah


Industri berbasis syariah diyakini bisa menjadi instrumen keuangan alternatif untuk memajukan ekonomi nasional. Mengingat, Indonesia memiliki potensi besar sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim. Bahkan terbesar di dunia.

PANDEMI Covid-19 membuat masyarakat mulai sadar akan pentingnya produk yang higienis, aman, dan nyaman. Tak ayal, permintaan akan produk halal meningkat.

Potensi fashion muslim masih terbuka lebar. Meski, persaingan di dalam negeri maupun global semakin ketat. Pelaku industri dituntut mampu beradaptasi, berkreasi, dan menciptakan inovasi agar mampu memenangi persaingan itu.

Desainer fashion muslim Rosie Rahmadi menuturkan, selain mayoritas muslim, Indonesia memiliki beragam budaya. ”Artinya, banyak budaya, banyak style, banyak kebiasaan hidup, dan itu berpengaruh sekali ke gaya busana,” katanya kepada Jawa Pos. Potensi itulah yang membuat dia terus semangat berkarya.

Menurut Rosie, pandemi Covid-19 membuka peluang baru. Sejalan dengan pola konsumsi masyarakat yang berubah. Misalnya, membawa mukena dan sajadah sendiri ketika bepergian. Sebab, tempat ibadah di tempat umum seperti mal maupun perkantoran sudah tidak menyediakan.

Kondisi tersebut lantas menginspirasi untuk membuat mukena dan sajadah yang mudah dibawa ke mana saja. Fitur bahan yang ringan, mudah kering, dan bisa dilipat sekecil-kecilnya menjadi pilihan. Sehingga tidak memakan banyak tempat di dalam tas.

Rosie juga menangkap peluang akan kebutuhan masyarakat dengan alat pelindung diri (APD) untuk beraktivitas sehari-hari. Dari situ, dia membuat Shazia Outer. Yakni, jaket panjang selutut yang dilengkapi hoodie serta berbahan antiair yang ringan. Shazia Outer memiliki kemampuan water repellent, cepat kering, dan ringan. Juga tersedia berbagai pilihan warna.

”Alhamdulillah menjadi solusi banget dan laris. Di masa pandemi juga menjadi penolong banget buat perusahaanku,” ungkap lulusan master degree Universitas Indonesia tersebut.

RANCANGAN Andy Sugix feat Hefi Rosyid. (ALFIAN RIZAL – PUGUH SUJIATMIKO/JAWA POS)

Bagi dia, seorang desainer tidak hanya menciptakan produk yang baik. Tapi juga harus sesuai dengan kebutuhan dan memberikan solusi. Selain itu, tidak hanya menjual produk. Namun juga memberikan nilai dan bermakna.

Pemahaman itu didapat Rosie ketika menimba ilmu di Islamic Fashion Institute (IFI), Bandung, pada 2016. Dari situ lahir brand RosieRahmadi dan AlasKumala. ”Setelah sekolah, banyak hal yang sangat menjadi basic thinking aku sebagai fashion designer,” jelasnya.

Misalnya, memahami kaidah-kaidah yang harus ditaati dalam merancang busana muslim. Antara lain, busana harus longgar sehingga menutup, bukan membungkus. Lalu, warna yang tidak mencolok agar tidak menarik perhatian banyak orang. Kemudian, tidak ada motif makhluk hidup, tidak menyerupai lambang simbol agama tertentu, tidak menerawang, dan tidak menjadi pakaian kesombongan.

Baca juga: Tanggung Jawab Industri Fashion Pada Lingkungan Lewat ‘Living Beauty’

Peraih The Best Performance IFI itu kini memilih berfokus untuk membesarkan tiga brand. Yakni, Gadiza, Parapohon, serta RosieRahmadi. Di dalam setiap brand yang dikembangkan, Rosie menanamkan prinsip ”BERKAH”. Setiap hurufnya memiliki arti.

B itu balans, seimbang, dan adil. ”Berpakaian secukupnya, sederhana, dan menerapkan prinsip adil di perusahaan,” terangnya.

Lalu, huruf E itu elegan. R adalah resilience atau tahan lama, huruf K itu kindness yang berarti baik, kemudian A adalah authentic, dan H melambangkan happiness atau kebahagiaan. ”Sehingga, ketika kita sudah mengejar berkah, segala sesuatunya jadi lebih bernilai. Sehingga menjadi halalan tayyiban,” ujarnya.

Sementara itu, di mata desainer ternama Ali Charisma, tren berbusana muslim tanah air sudah marak terjadi pada akhir ’90-an. Sejak saat itu sampai sekarang, pakaian muslim tidak hanya dikenakan orang dewasa. Melainkan juga mereka yang masih anak-anak.

Desainer-desainer lokal, termasuk dirinya, pun turut berusaha berinovasi mengikuti tren pasar. Yakni, mendesain busana muslim yang lebih fashionable dan disukai generasi muda. ”Bahwasanya dengan hijab selain untuk menutup aurat, mereka tetap bisa terlihat keren dan jadi gaya hidup,” tutur Ali.

Secara kuantitas, dia menilai Indonesia bisa menjadi pusat mode pakaian muslim dunia. Sebab, gaya berpakaian maupun model busana muslim para muslimah tanah air beragam dan bisa diterima di belahan dunia lain. Ada yang model streetwear, urban, feminin, hingga syari.

Akan tetapi, kata Ali, tidak jika dilihat dari sisi kualitas yang masih jauh dibandingkan dengan negara-negara lain. Apalagi bila dilihat dari desain ataupun konsep bisnis yang saat ini mengarah ke sustainability fashion dan kearifan lokal.

Dia mengungkapkan bahwa busana muslim, khususnya yang syari di Indonesia, masih sering menggunakan bahan polister. Padahal, material tersebut tidak ramah lingkungan.

”Nah, ini yang masih agak mundur dan perlu dikerjakan. Produknya diperbaiki. Kalau mau pakai polister, di-recycle,” tegas laki-laki yang sudah berkecimpung di dunia fashion selama 25 tahun itu. Kendati demikian, menurut dia, tidak semua tren harus selalu diikuti demi memenuhi minat pasar generasi muda. Misalnya, dari warna maupun model pakaian.

Sebab, sejatinya pakaian muslim memang tidak terlalu ramai dengan motif ataupun warna. Akan tetapi, konsepnya soft dan elegan. Dua hal tersebut, kata Ali, mencerminkan keanggunan dan kemapanan pemikiran seorang muslimah secara agama.

Selain itu, perempuan muslimah akan dinilai bersahaja, berwibawa, dan dihargai orang. ”Harusnya yang kalem seperti itu tetap dominan. Tapi, yang busana streetwear gaya aneh-aneh gitu juga tidak ada salahnya,” ucap dia.

Lebih lanjut, Ali menegaskan bahwa yang harus memperbaiki kualitas produk bukan cuma produsen. Melainkan juga para konsumen. Dia berharap pengguna hijab tanah air mengerti sekaligus mencari produk-produk yang bahan dan prosesnya ramah lingkungan.

Pria berusia 49 tahun itu menjelaskan, fashion muslim tanah air mesti dicocokkan dengan iklim. Namun, tetap dengan sentuhan budaya luar yang sedang dibutuhkan maupun tren. Sebab, tidak sedikit brand dari luar negeri yang menguasai pasar Indonesia. ”Ironi kan sebenarnya? Jadi, itulah yang perlu disinkronkan supaya produk Indonesia laku di dalam dan luar negeri,” tutur Ali.


Produsen-Konsumen Harus Berjuang untuk Halal dan Berkah