Misi Khusus Para Chef dalam Melestarikan Makanan Indonesia

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Misi Khusus Para Chef dalam Melestarikan Makanan Indonesia


Menjadi chef bukan hanya tentang bagaimana menghasilkan makanan dan minuman yang enak. Lebih dari itu, ada misi khusus yang dibawa setiap juru masak. Sebab, ancaman pengakuan makanan Indonesia oleh negara lain harus ditepis.

SHABRINA PARAMACITRA, Surabaya

SUATU siang, seorang anak ditanya oleh ayahnya di rumah. ’’Nak, mau makan apa?” Si anak menjawab, ’’Burger.” Sang ayah melirik meja makan. Tidak ada makanan itu.

Ayah bilang kepada si anak, ’’Di sini adanya pecel saja, Nak, sama gado-gado.”

’’Adik tetap mau makan burger,” keluh si anak dengan suara setengah merajuk. Kedua ujung alisnya menurun. Kecewa tak ada makanan seperti di iklan televisi.

’’Hhh.. ya sudah. Tunggu, ayah belikan,” kata si ayah. Dia beranjak mengambil kunci motornya di rak kecil di samping meja makan.

’’Yeay, makasih, Ayah,” jawab si anak. Dia senang.

Kedua ujung alisnya tak lagi menurun. Gambaran kehidupan seperti itu sungguh memprihatinkan bagi Fahriansyah, ketua Indonesian Chef Association Badan Pengurus Daerah (ICA BPD) Jawa Timur. Anak-anak yang rewel makannya lebih suka makanan luar negeri daripada makanan khas negeri sendiri. Makanan-makanan luar negeri itu dianggap lebih keren, lebih kekinian, dan lebih enak daripada makanan Indonesia. Padahal, sangat banyak makanan Indonesia yang tak kalah lezat. Kandungan gizinya pun bisa diadu dengan makanan-makanan asing.

’’Anak sekarang tidak begitu kenal dengan makanan kita. Ini sebenarnya sudah ibarat lampu merah buat negara kita,” katanya belum lama ini.

Untuk itu, Fahri yang juga executive chef Harris & Pop! Hotels & Convention Gubeng, Surabaya, menilai semua harus diawali sejak anak masih kecil.

Orang tua perlu mengenalkan berbagai ragam kuliner khas Indonesia kepada anak. Tujuannya, pecel tidak kalah dengan burger. Gado-gado tidak kalah dengan french fries. Nasi kepal tidak kalah dengan sushi. ’’Coba, sudah berapa kali makanan kita diklaim negara lain? Kalau kemudian kita diam saja, wah, berat itu,” sambungnya.

Fahri sungguh khawatir, makanan Indonesia diakui negara lain atau makanan Indonesia kalah populer dengan makanan luar negeri. Hal itu bisa terlihat dari ’’serbuan” makanan asing dalam kehidupan orang Indonesia. Di sisi lain, jarang ada makanan Indonesia yang dijual di restoran-restoran luar negeri, kalau tidak di restoran Indonesia. ’’Coba, mana ada orang Amerika makan pecel? Adanya kita yang makan burger. Lalu, kalau kita ke luar negeri, memang ada restoran Indonesia. Tapi, jumlahnya tidak sebanyak restoran Tiongkok atau restoran Thailand,” papar pria 48 tahun tersebut.

Untuk itu, ICA sering mengampanyekan pentingnya melestarikan resep makanan Indonesia. Selain untuk mempertahankan produk budaya sendiri, makanan Indonesia tak kalah sehat. ICA didirikan bukan hanya untuk menyatukan para chef. Di dalamnya, ada unsur-unsur lain yang turut bergabung, pemilik restoran dan katering, food blogger, supplier bahan makanan, ibu rumah tangga, siswa dan mahasiswa yang belajar tata boga, serta influencer pencinta kuliner.

ICA BPD Jatim telah memiliki tiga badan pengurus cabang (BPC). Di Jatim, sudah ada tiga BPC yang didirikan. Yakni, BPC Banyuwangi, BPC Malang Raya, dan BPC Madiun Pawitandirogo.

Jumlah anggota ICA BPD Jatim dan ketiga BPC di bawahnya sekitar 450 orang. Bakti sosial juga rutin diadakan.

Setiap tahun ICA menggelar summit meeting. Summit meeting secara offline kali terakhir digelar di Surabaya pada 2019.

Di luar itu, ICA juga sering menggelar lomba-lomba. Misalnya, pada September tahun lalu, ICA BPD Jatim mengadakan Rare East Java Cuisine Plating Challenge. Itu merupakan lomba plating yang diikuti peserta individu dari kategori junior dan profesional. Total, sebanyak 70 pelajar jurusan tata boga dan para chef ditantang untuk menyajikan makanan dengan penataan yang cantik.

Rare East Java Cuisine Plating Challenge itu terbagi dalam tiga series. Sebab, masih ada aturan pemerintah yang tidak memperbolehkan banyak orang berkumpul dalam satu ruangan. Seri pertama lomba digelar di Hotel Mercure Grand Mirama, seri kedua di Luminor Hotel, dan seri ketiga di Surabaya Suites Hotel.

Bahan-bahan yang digunakan dalam lomba tersebut, antara lain, ubi dan ikan bandeng (seri I), ubi dan unggas (seri II), serta ubi dan ikan pari (seri III). ’’Kami ingin mengangkat bahan-bahan lokal yang mulai jarang dikonsumsi, tetapi disajikan secara internasional. Jadi, makanan lokal kita itu bisa naik derajatnya dan tidak dilupakan masyarakat,” papar Fahri.

Hasil plating para peserta dinilai dari segi rasa, tampilan, komposisi, dan kandungan gizi dalam makanan yang disajikan.

Di sisi lain, ICA juga membantu peningkatan kapasitas dan keilmuan tata boga bagi mereka yang ingin belajar. Hal itu penting untuk meningkatkan kualitas masakan dan penyajian makanan. Dengan begitu, bukan hanya pelaku kuliner yang tinggal di kota-kota besar yang menguasai ilmu tata boga secara profesional. Mereka yang tinggal di kota kecil dengan akses keilmuan terbatas pun harus diberi kesempatan lebar untuk belajar lebih banyak.

Baca Juga: Pertahankan Smelter Freeport Tetap di Gresik

Ariyanto Wibowo, wakil ketua ICA BPD Jatim, termasuk orang yang aktif mengampanyekan hal itu. Sebab, melalui ICA, dia dan anggota lainnya sering membantu sekolah-sekolah di berbagai kota di Jatim untuk melakukan uji kompetensi. ’’Jadi, supaya SMK di kota-kota pinggiran itu bisa sering menang, kami bantu dengan edukasi sekaligus melakukan uji kompetensi,” tutur executive chef Luminor Hotel Surabaya itu.


Misi Khusus Para Chef dalam Melestarikan Makanan Indonesia