Garuda ”Di Udara”

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Garuda ”Di Udara”


Tulisan di judul itu tidak salah tik. Huruf ”d” pada ”Di Udara” ditulis kapital karena itu bukan preposisi, melainkan bagian dari sebuah judul lagu yang simbolik dan sangat menggetarkan yang dirilis kali pertama oleh Efek Rumah Kaca pada 2007.

LAGU yang tidak saja berkisah tentang HAM yang tidak pernah tuntas ditegakkan, melainkan juga menjadi requiem atas Garuda Indonesia Airways (GIA). Lagu yang menjadi hantu gentayangan yang terus menguntit dan sewaktu-waktu merogoh jantung Garuda, ke mana pun sayapnya mengudara.

Kutukan sang hantu itu tidak hanya berada dalam kabin, dalam garasi, tetapi juga meluas dalam manajemen, dalam jiwa manusia-manusianya.

Dari sisi perusahaan, requiem ”Di Udara” itu sayup dan perlahan sekali mulai menggema lembut dan jika tidak diambil tindakan darurat bisa-bisa Garuda dinyatakan pailit. Bayangkan, jika national flight kebanggaan itu dinyatakan pailit dengan utang nauzubillahi min zalik banyaknya, pendapatan bersih minusnya lebih dalam ketimbang suhu udara di kutub.

Kenyataan yang melilit Garuda itu mengirim sinyal pesan yang kuat, kita sebagai bangsa dan negara bakal dikenang tidak becus mengurus (bisnis) perjalanan udara. Bahkan lebih luas dari itu.

Garuda di Dadaku

”Garuda di Dadaku” bukan saja menjadi sebuah lagu rock rilisan Netral, bukan pula judul film sepak bola besutan Ifa Isfansyah. Garuda di dadaku menghubungkan tiga hal sekaligus: simbol dan asas negara (Garuda Pancasila), Garuda Pancasila (lagu nasional), Garuda Indonesia (transportasi udara). Ketiganya kerap disebut dalam satu tarikan napas: ”Garuda”.

Garuda sebagai asas adalah akar dari mana kita tumbuh dan pulang sebagai sebuah negara bangsa. Garuda sebagai lagu adalah marwah, sebagai pribangsa, sebagai ”pribadi bangsaku”. Dan, Garuda sebagai merek dagang adalah citrawi terdepan dari mana (transportasi) ekonomi udara kita dinilai dunia.

Jika Angkatan Udara (AU) adalah ejawantah dari postur kedaulatan udara kita, Garuda adalah wajah udara kita di meja terdepan perjamuan, baik perjamuan politik, budaya, dan terlebih-lebih lagi ekonomi.

Dalam posisi seperti itulah BUMN yang bernama PT Garuda Indonesia Tbk diposisikan. Ia adalah rumah besar impian jutaan manusia bernama rakyat yang mengangankan tidak sekadar menjalankan manajemen bisnis, tetapi lebih jauh dari itu punya industri sendiri.

Garuda itu lahir dari degup kebanggaan. Karena itulah, saat Garuda ”kenapa-kenapa”, ingatan semua orang tertuju kepada kedermawanan manusia Aceh mendonasikan harta terbaiknya agar Indonesia memiliki angkutan udara sendiri yang kemudian oleh Soekarno angkutan itu dinamakan Garuda Indonesian Airways. Sekaligus, kehadirannya dalam flight pertama pada 28 Desember 1949 dari Jogja ke Jakarta sebagai momen tak terpisahkan dari semboyan ”100% Merdeka”. Proses dari RIS kembali ke RI terdapat Garuda Indonesia di sana. Garuda pun menjadi simbol kebebasan, kemerdekaan yang hakiki.

Tidak sampai di situ saja, alasan yang semestinya Garuda ini diperlakukan sebagai BUMN dengan pride karena ia menjadi emblem kecintaan kepada Indonesia. Kita tahu, pesawat Garuda ini adalah imajinasi orang Indonesia tentang keagungan dan keperkasaan. Menaiki Garuda, demikian impian anak-anak Indonesia, seperti menaiki burung mitologi yang ada dalam imaji mereka. Bahkan, ada kakek-nenek yang seumur hidupnya hanya sekali naik burung besi, yakni saat naik haji. Dan, kenangan itu membanggakan dan terkenang-kenang hingga surat panggilan Sang Khalik tiba di depan pintu rumah.

Yang kita dapatkan kenyataan hari ini, Garuda yang sudah sakit parah sebelum memasuki awan gelap kumulonimbus Covid-19, adalah kabar buruk. Pukulan ini bisa sangat meremukkan, jauh lebih remuk saat kita mendapatkan kenyataan BUMN transportasi udara semacam Mandala dan Merpati tutup usaha.

Garuda Bermata Nanar

Saat menerima tongkat estafet kekuasaan pada 1998, B.J. Habibie mengibaratkan Indonesia seperti pesawat terbang. Bandingkan dengan setahun sebelumnya, media massa masih menggunakan metafora kapal pesiar mewah Titanic yang menjadi perbincangan manusia sejagat yang dilontarkan H.M. Amien Rais untuk menggambarkan remuknya bangsa.

Saat Orde Reformasi tiba, Habibie tidak menggunakan analogi kapal laut, melainkan pesawat udara. Kata Habibie, Indonesia di tahun 1998 adalah pesawat yang mengalami ”superstall”. Sebagai kopilot, ia mesti mengambil alih kendali pesawat ketika turbulensi terjadi yang ditambah kemacetan mesin yang parah dan pilot utama dalam kondisi tak sadarkan diri. Pesawat ”superstall” itu daya angkatnya nol dan menjelang jatuh.

Kini GIA betul-betul seperti yang dikatakan Habibie itu: ”superstall”. Atau, dalam bahasa yang sangat metaforis dari Efek Rumah Kaca, Garuda kini berada ”Di Udara”. Terombang-ambing dengan mata nanar berhadapan dengan maut, seperti sakitnya Munir Thalib di atas udara mengerangkan perut yang terkoyak oleh racun di barisan kursi bagian ekor.

Garuda hari ini tengah kehabisan tenaga dengan pilot utama pingsan berhadapan dengan hantu awan kumulonimbus.

Oh, Tuhan, demi wajah manusia Aceh yang dermawan, demi impian banyak orang Indonesia yang sepuh dan mengimpikan suatu hari naik pesawat menuju rumah Tuhan di Makkah, kirimkanlah sepuluh saja manusia muda, cerdas, jujur, dan berbudi menyelamatkan perjalanan Garuda melewati masa superstall-nya kali ini.

”Tapi aku tak pernah mati. Tak akan berhenti.” Demikian refrein ”Di Udara” yang keluar dari pita suara Cholil Mahmud, vokalis Efek Rumah Kaca. Menggetarkan. (*)

ANAS SYAHRUL ALIMI

Ketua Bidang Pengembangan dan Pendidikan Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), CEO Prambanan Jazz Festival


Garuda ”Di Udara”