Oalah Koala

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Oalah Koala


Seperti hukum rimba, demokrasi mah bebas. Cuma, bebasnya jangan t-e-r-l-a-l-u. Umpamanya sebebas udel sendiri di mana pun dan kapan pun ngomong kesingsal. Seolah-olah seluruh bangsa Indonesia ini sudah akrab dengan kesingsal maupun saudara tirinya, ketelisut. Ini akan membuat demokrasi macet.

UNTUNG siang ini yang macet bukan demokrasi. Yang macet baru pintu keluar parkiran sebuah hotel saat Sastro mengaku tiketnya kesingsal.

”Singsal? Singing the Sal. O, anu… tiketnya sudah dimasukkan ke Spotify? Nyanyikan saja,” juru parkir sambil bersenandung dengan earphone-nya.

”Aduuuh… Tiketnya belum kujadikan lirik lagu…”

”Ya, nggak papa, Pak. Tak masuk Spotify, tapi masuk galeri. Sudah difoto? Penting ada jam masuknya… Bapak masuk jam berapa?”

”Kemarin. Jam sembilan malam. Tapi ini tiketnya kesingsal…”

Siang sangat terik. Klakson mobil di belakang Sastro mulai berbunyi. Pertama satu… satu… Seperti baris lagu ”aku sayang ibu”. Berikutnya klason bunyi saksofon itu mulai bertubi-tubi. Diikuti rentetan klakson mobil-mobil lain yang mengular di belakangnya. Menyuarakan bermacam-macam lolong dan alat tiup. Trompet, klarinet, suling, harmonika. Bising. Tumpang-tindih, mengesankan seksi tiup orkestra yang konduktornya masih kemaruk demokrasi.

Itu mobil paling ujung belakang. Asap knalpotnya menghitam seperti tinta cumi-cumi saat diburu kaum oposisinya. Bunyi klaksonnya malah mirip sangkakala dari cangkang kerang raksasa.

Ada anak bertanya pada bapaknya di salah mobil yang antre, ”Papa… Papa dengar suara dari rumah keong raksasa itu? Apakah kiamat sudah dekat?”

Si papa menghentikan sejenak klaksonnya yang lolongnya bagai serigala merindukan bulan. ”Kiamat masih jauh, Cuk,” tuturnya sangat kebapakan. ”Asalkan kamu berhenti memanggilku ’papa’ atau yang asing-asing lainnya…Panggil saja aku ’bapak’…”

Anak itu mengubah panggilan untuk abah atau abinya dengan ”bapak”. Ah, tetap saja lenguh sangkakala berpanjang-panjang. Malah kini dibarengi dengan ribuan burung-burung emprit yang berguguran dari udara (kena Covid?). Mereka menggeletak, bergelimpangan mati seperti nyamuk-nyamuk di lantai pada rumah full nyamuk yang baru disemprot.

***

Demokrasi macet lantaran tak nyambungnya komunikasi. Ini bukan kali pertama dialami Sastro. Jangankan dengan juru parkir kulit hitam dan rambut keriting yang baru saja dan pertama ditemuinya, dengan istrinya sendiri yang pasti lebih sering dijumpainya di rumah saja Sastro kerap gak nyambung.

Apalagi bulan lalu saat Jendro, istrinya, tiba-tiba mereformasi logatnya dari kebiasaannya berlogat Jawa. Aksennya jadi mbatak. Persis intonasi TikTok @zukazu21 yang lagi trending. Kontennya sama pula.

Sastro mewawancarai Jendro saat istrinya ini lekas-lekas menyimpulkan tali sepatu sebelum bergegas mengais-ngais rezeki, ”Kenapa istri harus pintar cari duit, Dik?”

”Ah, kau ini cem mana, Lae?”

”Apa duit belanja dari suamimu ini kurang?”

”Ya, karena suami itu cuma titipan, Lae!” Jendro langsung ngacir via pintu samping.

Berjam-jam setelah kengaciran istrinya itu, bahkan berhari-hari, Sastro tak putus merenungi jawaban istrinya yang menurutnya gak nyambung. Mau tanya ke teman-temannya malu. Masak dengan istri sendiri yang selapik-seketiduran saja gagal paham.

Mau menanyai langsung istrinya juga pekewuh. Masak dengan istrinya sendiri yang manunggal satu atap seperti kantor samsat saja tidak saling mengerti. Kumpul tiap hari 24 jam padahal! Masyarakat yang cuma sekali-sekali nyambangi kantor sistem administrasi manunggal satu atap itu saja saling mengerti sama aparat-aparat di berbagai meja di sana. Saling memahami. Heuheuheu…

Akhirnya Sastro tak kuat. Ia bertanya, ”Dik, Dik, ’istri harus pintar cari duit karena suami hanya titipan’, itu maksudnya apa?”

”Ya, kalau tidak diambil Tuhan, suami diambil cewek lain! Lambat kali kau berpikir, Lae!”

***

Orkestrasi klakson mobil masih membahana. Begitu pun diskusi antara Sastro dan juru parkir.

”Gini, lho, Mas… Kesingsal itu artinya tiket saya ketelisut.”

”O, ketelisut…” juru parkir manggut-manggut. ”Wah, apa itu artinya ketelisut? Pokoknya kalau tidak ada tiket, bayar saja dendanya 5 juta!”

Orkestrasi klakson mobil-mobil yang mengular dari pintu parkir hingga ke lobi hotel berhenti. Seakan-akan sedang lewat rombongan presiden. Mereka takut kalau-kalau klakson sudah dianggap seperti poster aspirasi. Maksud hati mengklakson Sastro di gardu parkir, apa daya bila dianggap nglakson presiden demi suatu aspirasi.

”Papa, eh, Bapak, benarkah sekarang kalau ada yang mengunjukkan aspirasi ke presiden, yang ditangkap bukan aspirasinya, tapi pengunjuknya?” bocah tadi lagi-lagi bertanya.

Bapaknya mencoba berpikir. Lambat sekali ia berpikir, lalu menjawab lesu karena bosan macet, ”Hmmm… Nggak tahu. Ya, tanya dia saja.”

Dia yang dimaksud oleh abah, eh, abi, eh, ebes adalah koala. Hewan berkantung dengan kuping mirip gajah ini sedang leha-leha di jok belakang.

”Sudahlah,” koala mengganti silang kakinya. ”Nggak usah ngomongin presiden. Siapa pun yang jadi presiden sejak Bung Karno hingga Pak Jokowi. Yang penting rakyat harus pintar cari duit, Nak.”

”Seperti tukang parkir itu? Kenapa rakyat harus pintar cari duit sendiri?”

”Ya, karena presiden cuma titipan.” (*)

SUJIWO TEJO

Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers


Oalah Koala