Beramai-ramai Mengabadikan Sepak Bola Indonesia

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Beramai-ramai Mengabadikan Sepak Bola Indonesia


Meningkatnya kesadaran literasi para suporter dan keinginan mendokumentasikan sejarah klub menjadi faktor penting di balik tren penulisan sepak bola Indonesia. Yang menulis datang dari berbagai latar belakang. Yang ditulis pun temanya beragam.

MAHFUD menulis Persik sang Juara dalam sunyi. Di era ketika buku-buku bertema sepak bola Indonesia masih sangat minim dituliskan. Di masa ketika kesadaran mendokumentasikan peristiwa terkait lapangan hijau di tanah air masih jauh dari tumbuh.

Minim referensi. Sekaligus minim buku sejenis yang bisa dijadikan perbandingan atau patokan. ”Ceritanya waktu itu memanfaatkan momentum Persik juara,” kata Mahfud yang telah menelurkan dua buku tentang Persik, Persik sang Juara (2003) dan Persik Juara Sejati (2006).

Saat itu kepastian Persik memenangi Liga Indonesia 2003 sudah didapatkan sebelum pertandingan terakhir dihelat. Itu gelar bersejarah: kali pertama diraih Persik di kasta teratas kompetisi sepak bola Indonesia. Ada keinginan dari manajemen Radar Kediri, tempat Mahfud bekerja, agar memanfaatkan momentum tersebut. ”Saya yang ditugasi menyusun. Temanya adalah perjalanan Persik hingga menjadi juara,” ungkapnya.

Materi tulisan pun akhirnya lebih banyak didasarkan pada reportase tulisan-tulisan Mahfud yang dimuat di Radar Kediri. Sejak awal kompetisi hingga pertandingan terakhir. Persik sang Juara ternyata laris manis. Sold-out dan cetak ulang dua kali. Itu seperti membuka mata semua pihak bahwa sepak bola Indonesia, seberapa pun kusutnya, punya potensi pasar yang sangat besar.

Buku Arema Never Die karya Abdul Muntholib. (Abdul Muntholib for Jawa Pos)

Enam tahun setelah buku Mahfud itu, Arema Never Die (2009) yang ditulis Abdul Muntholib juga disambut antusias Aremania. Bedah buku dihelat beberapa kali oleh sejumlah pihak. ”Mereka (Aremania) merasa ada referensi yang valid dengan data lengkap tentang tim pujaan. Pendiri Arema saat itu pun menyambut dengan sangat senang,” kata Tholib, sapaan akrab Abdul Muntholib.

Bertahun-tahun sesudahnya, literasi sepak bola Indonesia kian berkembang pesat. Berbagai kalangan –wartawan, analis, akademisi, pemain/mantan pemain, dan suporter– beramai-ramai menulis tentang beragam topik terkait sepak bola di tanah air.

Ada yang dari perspektif sejarah seperti Tionghoa Surabaya dalam Sepak Bola karya akademisi Rojil Nugroho dan Persib Undercover yang ditulis jurnalis Aqwam Fiazmi Hanifan. Ada yang tentang profil semacam Petar Segrt: Tumbuh di Daerah Konflik hingga Kecintaannya pada Makassar” yang ditulis mantan Media Officer PSM Makassar Andi Widya Syadzwina dengan kontribusi dari penulis/penerbit Sirajudin Hasbi.

Bangkitlah Sang Legenda: Kiprah Persis Solo di Dunia Sepak Bola yang ditulis Nikko Auglandy. (MOJOKSTORE.COM)

Juga sisi-sisi lain luar lapangan seperti yang dirangkum jurnalis Miftahul Fahamsyah dalam Mencintai Sepak Bola Indonesia meski Kusut. Atau bahasan taktik seperti yang ditulis analis taktik Ryan Tank dalam The Inside Wing.

Kala Evan Dimas Darmono di skuad timnas U-19 berjaya, sejumlah buku bertema keberhasilan menjuarai Piala AFF U-19 2013 juga banyak ditelurkan. Dan PSS Development Center di awal tahun ini juga merilis buku Super Elja Method. Yang berisi cara dan metode yang digunakan PS Sleman (PSS).

Tentang mereka yang setia mendukung dari tribun, Fajar Junaedi, akademisi, menulis Bonek, Komunitas Suporter Pertama dan Terbesar di Indonesia. Ada pula karya Rizal Nugroho dkk yang membahas juga tentang suporter, Pemain Kedua Belas.

Menurut Fajar Junaedi, fenomena banyaknya buku dan penulis sepak bola Indonesia ini tak lepas dari meningkatnya kesadaran literasi di kalangan suporter. Suporter yang makin terliterasi ini makin berani bersuara. Termasuk mengkritik klub jika memang klubnya dianggap melakukan kebijakan yang dianggap tidak tepat.

Faktor pendorong lain adalah munculnya penerbit-penerbit baru. Penerbit di daerah yang dikelola anak-anak muda yang memiliki passion terhadap sepak bola. Fandom Indonesia salah satunya.

”Fenomena yang menarik lagi adalah jejaring yang dibangun. Ini ditandai dengan penulis yang berasal dari lingkaran pertemanan karena sama-sama suka sepak bola. Dan jalur distribusi melalui toko buku daring yang juga tercipta dari jejaring pertemanan yang suka sepak bola,” terangnya.

Keinginan mendokumentasikan perjalanan klub kebanggaan juga jadi faktor yang tak boleh dikesampingkan. Miftahul, misalnya, sudah menulis Persela: Menegaskan Identitas Kami. ”Saya masih berencana menulis buku tentang Persela (Lamongan). Bagaimana perjuangannya lolos dari jerat degradasi pada musim 2019. Tapi sabar dulu, saya masih mengumpulkan energi,” ungkap pria asal Lamongan itu.

Andi Widya Syadzwina juga tergerak menulis Satu Abad PSM Mengukir Sejarah karena selama ini dia hanya mendengar cerita tentang PSM dari mulut ke mulut. ”Tapi, tidak ada bukti otentiknya,” kata perempuan yang akrab disapa Wina tersebut. Dari situlah Wina punya ide untuk menulis buku. ”Sebab, kalau tidak dibukukan, cerita itu nanti hanya akan jadi dongeng,” tegasnya.

Wina berkolaborasi dengan wartawan senior M. Dahlan Abubakar untuk penulisan buku itu. Pengerjaan hanya butuh waktu dua bulan. ”Itu karena saya dan Pak Dahlan sama-sama punya file penting tentang sejarah PSM. Jadi, tinggal disusun saja biar sesuai urutan,” ungkapnya.

Begitu terbit, Wina mengaku cukup puas. ”Setidaknya saya sudah memberi tahu, ini lho ada sejarah PSM yang lengkap. Agar generasi (fans PSM, Red) ke depan tidak hanya browsing di Google soal tim idolanya,” tutur dia.

KONSISTEN BERKARYA: Guntur Bayu Pratomo, penulis Dua Belas Footbaal Zine yang membahas Persiku Kudus.

Gelombang penulisan sepak bola bahkan tak hanya terbatas di kalangan mereka yang terasosiasi dengan klub-klub Liga 1 sebagai liga kasta tertinggi Indonesia. Jejak Persis Solo yang ada di Liga 2 dan Persiku Kudus yang masih terbenam di Liga 3, misalnya, kini juga terekam dalam jagat penulisan.


Beramai-ramai Mengabadikan Sepak Bola Indonesia