Sehat dengan Memaafkan

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Sehat dengan Memaafkan


HARI Raya Idul Fitri sangat identik dengan saling memaafkan dan halalbihalal. Ini dimaksudkan untuk melengkapi hari kemenangan setelah puasa sebulan dengan meminta rida dan meridakan kesalahan orang lain sehingga kualitas ketakwaan semakin meningkat.

Keinginan meminta maaf dan bersilaturahmi inilah yang mendorong tradisi mudik. Bahkan, pandemi Covid-19 yang menjadi dasar pelarangan mudik secara nasional tidak menyurutkan warga untuk saling memaafkan. Mereka tetap bersilaturahmi dengan keluarga, kerabat, teman, dan handai tolan dengan memanfaatkan teknologi. Penggunaan media sosial dan fasilitas seperti video call dan Zoom menjadi pengganti silaturahmi secara langsung dalam rangka ingin saling memaafkan.

Di sisi lain, memaafkan ternyata sangat baik untuk kesehatan kita. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Antara lain, penelitian yang dipublikasikan di Journal of Health Psychology 2016 yang melihat hubungan antara kondisi stres-depresi dan sikap memaafkan. Didapatkan hasil bahwa orang yang pendendam dan sulit memaafkan berpotensi mempunyai kesehatan fisik dan mental yang buruk. Sedangkan orang yang mudah memberi maaf, baik kepada orang lain maupun kepada dirinya sendiri, berpotensi menjadi pribadi menarik, kuat menghadapi stres, dan terhindar dari gangguan mental (Loren Toussaint, 2016).

Penelitian lain memetakan dan membandingkan fungsi kerja otak pada diri pemaaf dan pendendam dengan memanfaatkan alat radiologi canggih berupa MRI. Hasilnya sangat menarik. Pada pribadi pemaaf, kerja bagian otak yang disebut dorsolateral prefrontal cortex (DLPFC) lebih dominan dibandingkan pendendam. Fungsi utama DLPFC ini adalah area kognisi. Artinya, seorang pemaaf lebih mampu mengaktifkan pikiran, analisis, dan kecerdasannya dibandingkan pendendam sehingga lebih arif dan bijaksana.

Sedangkan pribadi pendendam lebih aktif di bagian otak medial temporal gyrus (MTG) yang dominan dalam hal emosi dan perasaan negatif sehingga mudah tersinggung dan tidak bisa berpikir rasional (Journal of Frontier in Human Neuroscience 2013).

Dominasi kerja otak pemaaf di daerah otak yang mengatur kognisi dibandingkan area emosi akan menstimulus disekresinya zat kimia otak (neurotransmitter) yang sifatnya menenangkan dan membahagiakan seperti serotonin, endorfin, dan morfin endogen. Hasil akhirnya akan meningkatkan daya tahan tubuh dan harapan hidup lebih panjang.

Selain itu, pada diri pemaaf didapatkan kerja otak otonom (saraf simpatis-parasimpatis) yang lebih baik dan lebih stabil dibandingkan kerja otak pada diri pendendam. Kondisi ini akan mengakibatkan kerja jantung-pembuluh darah lebih stabil. Tekanan darah tidak naik turun secara drastis dan akhirnya tidak terjadi gangguan fungsi sel dinding pembuluh darah (disfungsi endotel) yang merupakan awal mula dan berpotensi terjadinya penyakit berbahaya seperti stroke, serangan jantung, dan sakit ginjal.

Pada diri pemaaf juga didapatkan kondisi yang lebih tahan terhadap stimulus nyeri dibandingkan pendendam. Hal ini disebabkan kerja sistem yang meredam nyeri di daerah otak bernama hipotalamus lebih efektif dan mampu menahan (inhibisi) stimulus nyeri. Sehingga orang yang mudah memaafkan memiliki ambang nyeri yang tinggi. Dan ini sangat baik bagi kesehatannya. Baik kesehatan jasmani maupun rohani serta kesehatan sosialnya.

Saling Memaafkan Nasional

Bangsa kita perlu digerakkan untuk saling memaafkan secara nasional. Ini sangat penting guna mengurangi, bahkan mengakhiri, perpecahan yang sangat terasa sampai saat ini. Harus diakui, residu perhelatan politik (utamanya Pilpres dan Pileg 2019) masih terasa dan belum bisa hilang. Perwujudannya begitu nyata di media sosial. Masih ada penyebutan-penyebutan negatif terhadap kelompok tertentu seperti cebong dan kadrun. Isu-isu sensitif lainnya juga begitu mudah memicu perpecahan. Padahal, saat terpilih menjadi presiden, Jokowi telah mengajak masyarakat mengakhiri istilah-istilah negatif semacam itu.

Saling memaafkan harus dimulai dengan kelapangan hati untuk mengakui kesalahan sendiri dan memberi maaf kepada kesalahan orang lain. Lalu diikuti dengan sikap saling menyapa dan menjaga silaturahmi dengan menggunakan bahasa santun dan menyejukkan. Ini akan lebih baik bila dimulai dari para pemimpin dan tokoh nasional agar bisa diteladani oleh masyarakat luas karena tingginya budaya paternalis yang menjadikan pemimpin, baik formal maupun nonformal, sebagai idola dan teladannya.

Memberi kritik dan koreksi kepada penguasa sebaiknya didasari semangat memperbaiki. Selain itu, dilakukan dengan bahasa yang santun, tidak provokatif, bukan mengejek, apalagi menjatuhkan. Sedangkan pemegang kekuasaan juga harus terbuka dan lapang dada menerima kritik dari masyarakat, sekeras dan sepedas apa pun kritik itu. Ini dibutuhkan agar arah perjalanan bangsa tidak melenceng. Pengalaman rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun akhirnya jatuh akibat sikap antikritik. Butuh waktu lama untuk memperbaiki dampaknya, baik secara politik maupun ekonomi.

Harus diingat bahwa kritik adalah nutrisi demokrasi. Ia sangat diperlukan dan tidak boleh hilang atau dihilangkan. Membungkam para kritikus dengan menjerat hukum memakai berbagai undang-undang (UU ITE dan lainnya) atau menggunakan pendengung (buzzer) pada awalnya seolah baik untuk kestabilan pemerintahan. Namun, dalam jangka panjang, dampaknya sungguh amat buruk.

Kuatnya kekuasaan saat ini bisa jadi sesuatu yang baik untuk menjalankan pemerintahan. Namun juga bisa menjadi berbahaya bilamana tidak ada yang berani mengoreksi dan meluruskan akibat ancaman tuntutan hukum atau gempuran buzzer yang mematikan iklim demokrasi. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, indeks demokrasi Indonesia terus menurun berdasar penilaian lembaga demokrasi internasional.

Baca Juga: Kongsi Pecah, Bisnis MLM Macet, Modal Rp 3,5 M Hilang

Akhirnya, Lebaran ini sangat baik untuk saling memaafkan antar sesama anak bangsa. Karena tidak hanya menyehatkan diri secara pribadi, namun juga menyehatkan kehidupan berbangsa dan bernegara. (*)


*) Badrul Munir, Dosen Neurologi FK Universitas Brawijaya-RS Saiful Anwar Malang


Sehat dengan Memaafkan