Anak Bisa Jadi Korban Cyberbullying, Perhatikan Perubahan Perilaku

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Anak Bisa Jadi Korban Cyberbullying, Perhatikan Perubahan Perilaku


Bukan hanya di dunia film, di dunia maya ternyata ”monster” juga siap menerkam anak-anak. Wujudnya, kata-kata menyakitkan (cyberbullying). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, terdapat 2.437 laporan kasus cyberbullying sepanjang 2011–2019.

PARENTS, kadang kita tidak tahu siapa pembuat ”monster” yang siap menghancurkan perasaan dan karakter diri anak-anak di laman media sosial. Sebab, tidak jarang, pemilik akun media sosial bernyali ciut. Tanpa foto hingga anonim.

Psikolog Klinis RSUD Sidoarjo Elok Kartika Sari menuturkan, dalam ilmu psikologi, cyberbullying merupakan bagian dari perilaku bullying. Artinya, cyberbullying ini adalah tindakan yang mengganggu orang lain dan dilakukan secara sengaja. Sifatnya berupa agresi fisik ataupun psikologis. ”Jenis bullying itu bermacam-macam. Ada fisik, verbal, psikologis, dan cyberbullying kalau melalui internet,” terangnya.

Dari segi fisik, bullying dicontohkan seperti menampar hingga memalak. Dari segi verbal, bullying meliputi memaki, menggosip, dan mengejek. Lalu, dari segi psikologis, bullying berupa intimidasi, pengabaian, sampai diskriminasi. Dari segi literasi atau beberapa ahli, cyberbullying masuk ke cybercrime.

Founder PG-TK Mutiara Cita Hati Sidoarjo itu menyatakan, di dalam cyberbullying tidak ada kekerasan fisik. Cyberbullying juga memanfaatkan teknologi sebagai media untuk mengintimidasi. Ada berbagai bentuk. Mulai kasar, stalking, pencemaran nama baik, hingga menyebarkan berita rahasia.

Elok menuturkan, orang tua perlu sekali memahami kondisi anak. ”Anak kita sudah menjadi korban cyberbullying atau tidak. Itu sangat-sangat penting,” tegasnya.

Karena itu, orang tua perlu peduli terkait dengan perilaku anak. Terutama perubahan perilaku keseharian anak. Misalnya, anak tiba-tiba murung, menarik diri dari lingkungan, muncul perilaku marah-marah, enggan makan, hingga tiba-tiba mengompol yang awalnya tidak pernah mengompol. Menurut Elok, kondisi itu harus menjadi tanda-tanda yang dikenali orang tua. ”Oh, anak kita mengalami sesuatu yang kurang menyenangkan,” katanya.

Lantas, apa yang bisa dilakukan orang tua agar anak tidak menjadi korban cyberbullying? Elok menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, ayah-bunda bisa ikut terlibat dalam kegiatan anak. Artinya, orang tua perlu sekali memiliki quality time dengan anak. Meski anak dan orang tua sedang berada di rumah, parents harus tetap berinteraksi dengan anak.

Kedua, orang tua perlu sekali memosisikan diri sebagai figur teman. Elok menjelaskan bahwa posisi sebagai teman ini bertujuan agar anak tidak takut ketika akan open kepada orang tua. ”Agar anak tidak berpikiran, ’wah nanti saya dimarahi nggak ya saat bercerita setelah mendapatkan cyberbullying’,” papar Elok.

Selain itu, ketika orang tua sejajar dengan anak, Elok menilai bahwa anak bisa jadi lebih berani untuk asertif. Bukan hanya itu, anak juga bisa mengungkapkan pendapat serta tidak kesenangan. 

Pilah-pilih Apa yang Mau Diunggah

WENNY Fatma mulai mengikuti isu cyberbullying saat kali pertama menjadi ibu. Tepatnya ketika hamil malaikat kecil pertamanya, Mora. Dia mengakui bahwa isu cyberbullying membuatnya gigit jari. ”Dan, miris sekali ketika korbannya adalah anak atau bayi dari seorang figur publik,” katanya.

Perempuan kelahiran Tebing Tinggi, Sumatera Utara, itu mengungkapkan, sejauh ini dirinya tidak pernah mendapatkan kasus cyberbullying kepada anak-anaknya. Namun, dia mengalami baby shaming dan mom shaming dengan level kecil-kecilan. Dia menyebutkan bahwa biasanya pelaku berasal dari inner circle seperti teman atau keluarga.

Pencinta seluruh jenis makanan itu memiliki tips untuk membentengi keluarga kecilnya dari cyberbullying. Pertama, parents harus memilah apa yang akan diunggah di media sosial (medsos). Terlebih untuk hal yang bisa memicu cyberwar antara yang pro dan kontra. Menurut Wenny, cyberwar biasanya akan merambat ke cyberbullying dari pihak yang kontra.

”Tetapi, jika menurut kita hal yang kita share tersebut informasi terkini dan penting untuk dibagikan agar followers bisa ikut belajar, berarti kita harus siap dengan konsekuensi akan mendapatkan cyberbullying dari pihak kontra,” paparnya.

Lalu, kedua, untuk mencegah terjadinya cyberbullying, hindari mengunggah konten yang tidak umum. Misalnya, foto atau video anak sedang melakukan kegiatan yang tidak umum atau aneh. Ketiga, ayah-bunda harus bisa memilih dan memilah apa saja yang ingin diceritakan di medsos. Sebab, tidak semua hal perlu dibagi di medsos. Terutama hal pribadi.

Dan, yang terakhir, jika bukan figur publik, orang tua bisa membuat akun menjadi privat. Lalu, memfilter siapa aja yang bisa follow dan membersihkan followers dari orang-orang yang tidak baik.


Anak Bisa Jadi Korban Cyberbullying, Perhatikan Perubahan Perilaku