Dua Rumah Kayu

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Dua Rumah Kayu


Ibu tidak sekali pun menatap bapak ketika kami meninggalkan rumah, apalagi berpamitan. Lelaki itu bergeming di kamar sejak bangun tidur dan melihat ibu sedang mengepak barang-barang.

DUA minggu setelah kejadian memalukan itu, kami pindah ke pinggir lain kota untuk menumpangi keluarga pakde, saudara tertua ibu. Lalu semakin lama kata ”bapak” semakin susah untuk kuucapkan dengan wajar kepadanya. Tiga minggu lalu aku bahkan tak yakin mana yang lebih sulit: mengucapkan kata itu di hadapannya atau membujuknya untuk melihat bapak buat kali terakhir.

”Bagaimanapun dia bapakku,” tegasku, ”dan rumah sakit perlu kita mengenali jasadnya.”

”Kalau begitu kamu saja yang pergi,” balas ibu. ”Aku sudah nggak ingat dia lagi.”

Azan Asar dari seberang sungai mengembalikanku kepada sekarang. Kantong plastik berisi kuas dan kaleng cat kumasukkan ke bagasi. Empat lelaki tua itu masih menatap dari pos ronda ujung jembatan. Orang-orang yang melintas masih menyempatkan diri untuk berhenti, membaca keterangan bahwa rumah beserta tanah bapak kini berstatus dijual.

Aku tak ingat seorang pun dari mereka; dua puluh tahun telah mengaburkan banyak wajah dan nama. Namun, ada kemungkinan bahwa siapa pun yang telah menetap di kampung ini selama dua puluh tahun lebih masih ingat keluargaku.

Tidak mudah menghadapi itu.

Kudatangi pos ronda. Demi sopan santun. Demi mencegah kecurigaan yang tak perlu. Barangkali juga demi menuntaskan penasaranku. Keempat lelaki membalas sapaanku, lalu bergeser, memberi ruang di dalam pos ronda untuk kududuki sebelum salah satunya menawarkan rokok.

”Adik ini siapa ya?” bertanya seorang.

”Saya Yusuf, Pak, anak Pak Gareng yang meninggal tiga minggu lalu. Mungkin Bapak-Bapak masih ingat, dulu saya biasa dipanggil Ucup,” jawabku usai mengembuskan kepul asap pertama. Sudah lama aku tak merokok.

Kutangkap kelap ganjil di mata mereka yang bersamaan menyerukan: ”Oh.”

”Walah! Ini Ucup yang dulu sering main bola di depan rumah saya toh? Hebat, sudah bawa-bawa mobil. Hahaha. Ibu di mana sekarang, Cup?” tanya yang tadi menawarkan kereteknya, sepertinya berusaha bernada ringan.

Kusebutkan nama kota tempat ibu dan aku tinggal. Mereka kembali ber-oh, sebelum lelaki yang kelihatannya paling tua, disusul ketiga temannya, mengucapkan belasungkawa atas kematian bapak. Lama kami membahas penyakit jantung yang ia idap serta kecelakaan yang menewaskannya, sebelum salah seorang menanyakan harga jual rumah kayu itu.

Rumah masa kecilku.

Kualihkan pandang pada pintunya yang kini bertorehkan rangkaian huruf dan nomor telepon berwarna merah gelap.

”Belum tahu, Pak,” jawabku. ”Terserah ibu saya.”

Rumah almarhum bapak kini terasing di antara hunian-hunian yang lebih kukuh –bangunan-bangunan yang terbuat dari semen dan bercat. Tapi, rumah itu tak sendirian. Di seberangnya, satu lagi rumah kayu yang tak kalah ringkih. Meski lebih kecil, rumah itu sama berdinding jati tebal kusam abu-abu. Kupandangi lagi pohon mangga di sampingnya. Dulu sering kupanjati bersama teman-teman pada musim berbuah. Kini daun nyaris tak melekati dahan-dahannya.

Di rumah berpohon mangga itu Anes pernah tinggal. Suaminya mati muda, hanyut di sungai ketika tengah malam berak dalam keadaan mabuk, belum sampai tiga bulan setelah keduanya menikah. Tak terkecuali ibu, istri-istri dan gadis-gadis kampung ini lantas cemas para suami dan kekasih mereka akan tergoda oleh si janda kembang.

”Masih muda, manis, kenes lagi! Siapa yang tahan?” Begitu kudengar kelakar yang pernah muncul di pos ronda ini, ketika aku mengantarkan rokok pesanan bapak. Tidak seperti teman-temannya yang kemudian tertawa terbahak-bahak, bapak cuma tersenyum.

”Kenes itu apa?” aku tanya bapak. Teman-temannya malah mengusirku.

Sejak Anes mulai terlihat tak lagi berduka, ibu jadi mudah marah. Sering dia mengomeliku karena masalah sepele, termasuk ketika menemukan biji-biji jagung berserakan di teras rumah pada beberapa pagi.

”Tiap hari disapu, ada lagi, ada lagi! Selesai main dibersihkan!”

Aku selalu membantah tuduhan yang satu itu. Tidak masuk akal. Untuk apa aku mainan jagung? Anak lanang kan tidak main masak-masakan!

”Pokoknya kalau kotor, bersihkan!” kata ibu. ”Aku capek masak, capek nyuci, kamu mestinya bantu-bantu. Aku ini sedang hamil!”

Setelah dewasa –aku selalu merasa telah terlalu lekas dewasa– aku paham bahwa saat itu akulah sasaran paling empuk untuk dijadikan pelampiasan kecemasan dan ketakutan ibu. Mungkin karena sedang mengandung dua bulan, dia mulai enggan bersebadan dengan bapak. Lalu dia khawatir, jangan-jangan bapak mencari pelampiasan pada perempuan lain. Pada Anes si janda kenes seberang rumah, terutama.

Kecemasannya meradang ketika seorang tetangga bilang ia melihat bapak memboncengkan Anes dengan sepedanya suatu sore.

”Dia baru selesai nyuci. Aku kasih tumpangan. Itu saja,” jawab bapak dalam interogasi mendadak di kamar sebelah.

”Dia yang minta diboncengkan apa kamu yang nawarin?”

”Enggak gitu. Dia baru naik dari sungai, aku hampir nabrak dia. Aku minta maaf, terus kutawarkan…”

”Berarti dia masih pakai kain basahan? Kamu senang lihat teteknya yang kimplah-kimplah?”

Sepertinya bapak tergeragap. Jeda sebelum ia menjawab, ”Aku enggak selingkuh!”

”Awas, kamu! Demi bayi ini, aku sumpahi kepalamu pecah kalau kamu berani serong!”

Malamnya, ketokan-ketokan di jendela. Mungkin ketokan-ketokan itu yang membangunkan aku. Atau mungkin gerimis yang dinginnya memaksaku menarik selimut hingga dagu. Yang jelas aku lantas membuka mata. Gelap.

Aku memperhatikan dengan telinga. Bukan, suara itu terlalu ringkas. Bukan ketokan. Hanya sesuatu yang terantuk. Tapi muncul berulang di berbagai sisi depan rumah. Kadang di pintu. Kadang di ujung sana, di dinding luar kamar orang tuaku.

Antukan-antukan berhenti. Terdengar derit halus. Empat kali. Yang terakhir ketika pintu depan ditutup dan aku bangkit untuk mengintip dari celah jendela. Satu sosok berjalan di pekarangan, menuju rumah depan. Cahaya lemah mengilapkan kulitnya yang basah. Itu punggung bapak, lebar dan liat.

Pintu di seberang terbuka. Bapak menghilang ke dalam ruang tanpa penerangan. Pintu ditutup kembali. Aku rasa saat itu aku mulai paham, karena dadaku berdebar cepat. Karena kemudian kulihat pula bulir-bulir jagung yang berserakan di teras dan halaman.

Aku rasa aku paham, maka aku membangunkan ibu. Aku tak mengatakan apa-apa, seperti ia tak membuka mulut. Ia cukup melihat bahwa ia sendirian di ranjang.

Ibu berjalan ke dapur. Dalam temaram cahaya teplok ibu berjongkok. Berdiri di bingkai pintu, aku mendengar isak, geram, serta tumbukan-tumbukan batu. Berulang-ulang. Cepat dan marah. Punggung ibu maju mundur seiring gerak tangan kanannya. Setelah dewasa, aku bisa mengingat kembali kejadian itu dengan berbeda: saat itu aku ikut menangis bukan karena memahami rasa sakit hati ibu, tapi karena takut.

Pada hari-hari hujan, ibu selalu melarangku keluar dan memintaku bermain saja di dapur dengan mobil-mobilan kayu atau koleksi kartu tepokan –kartu dengan gambar-gambar yang bercerita tentang manusia super, tentang para kesatria, atau tentang para punakawan yang sudah mengenal pakaian modern. Atau menggambar. Atau bermain dengan anak-anak kucingku. Dan ada nyaman pada denting perkakas dapur, pada desah sayur yang masuk ke panas wajan, serta pada aroma sedapnya yang segera penuhi ruangan. Ibu ada dekat.

Ketika melemah atau hilang penanda-penanda itu, aku menoleh. Apabila ibu masih di sana, rasa nyaman itu kembali. Jika tak ada, aku tahan kepalaku pada posisi menengok ke belakang sambil berteriak memanggilinya. Menunggu ia menyahut.

Tapi, malam itu aku takut. Di dapur yang mendadak asing, gigil api dalam semprong menjadikan bayangan-bayangan bergetar ganjil. Cobek dan muntu kian sengit beradu. Jauh lebih baik aku diomeli atau dimarahi ibu daripada melihatnya menggiling kegusaran seperti hendak menggerus malam. Aku belum pernah melihatnya seperti itu. Seolah-olah ia bukan ibuku.

”Ucup, ambilkan air seember,” ujar ibu. Ia tak mengacuhkan tangisku yang mengeras. ”Cepat!” bentaknya sebelum kudengar isaknya turut menderas.

”Buuu,” ibaku, memohon agar ia berbalik, agar aku mengenalinya. Agar rasa nyaman itu muncul. Tapi, ia kembali membentakkan ”cepat” dengan memanjangkan akhir kata, melolongkan perihnya.

Aku masih tak bisa melihat wajah ibu saat datang meletakkan seember kecil air di sampingnya. Ibu menariknya pelan, lalu memasukkan hasil ulekan. Ia menarik napas panjang. Tubuhnya tegak sewaktu mengudak air dengan sudu kayu sampai bau cabai meruap. Ia mirip sosok nenek sihir yang mengudak ramuan dalam satu cerita pada kartu tepokan.

Aku menduga, yang terjadi kemudian menjadi bahan obrolan warga untuk waktu yang lama. Ibuku menyangga perutnya dengan tangan kiri yang juga menjinjing ember sambil memanjat pohon mangga. Merayap pada satu dahannya yang menjulur di atas atap genting rumah Anes.

”Dia geser satu genting,” seorang bapak di warung kopi mengocehkan versi yang dia dengar entah dari siapa, ”terus, dia lihat Gareng sama Anes lagi begini.” Kedua telapak tangannya dirapatkan, bagian pergelangan merenggang, menutup, merenggang, menutup.

”Memang gila,” tutur perempuan nyinyir sebelah rumah kami kepada seorang tetangga jauh. ”Air cabai dia siramkan pas di atas Gareng dan Anes. Kedua pezina itu kalang kabut keluar rumah, teriak-teriak.”

Mereka berteriak-teriak bahwa tubuh mereka kepanasan, seperti tak peduli orang-orang telah berkerumun menyaksikan ketelanjangan keduanya. Ibuku turun dari pohon. Memungut sebuah sapu, ia ayunkan gagangnya sekuat tenaga, memukuli bapak dan Anes berkali-kali sambil menjeritkan serapah. Ia bahkan merenggut rambut Anes dan membenturkan keningnya ke dinding. Kulihat bercak darah menempel pada kayu.

Bercak yang tak seberapa. Dibandingkan darah yang mengaliri kaki ibu sebelum ia tersungkur tak sadarkan diri. Di tengah kebingunganku menyaksikan rangkaian kejadian itu, aku belum tahu, takkan ada adik kecil. Kelak saat kusadari perut ibu mengempis, aku tak berani bertanya. Aku tak pernah menanyakannya.

Dini hari beberapa lelaki mengamankan bapak di pos ronda. Satu becak melarikan ibu ke rumah sakit, membawaku serta. Anes menghilang entah ke mana. Banyak yang lihat ia lari sambil memegangi kepalanya ke arah hulu sungai, namun tak pernah kembali. Ada yang bilang sempat melihatnya meringkuk bugil di bawah jembatan tengah kota, seperti orang gila. Toh bagiku, juga bagi ibu, gila adalah penyelesaian yang terlalu mudah untuknya.

”Sudah jam segini, sebaiknya saya pamit dulu,” ujarku pada keempat lelaki yang hampir satu jam bersamaku di pos ronda ini.

”Ya, ya, silakan,” jawab mereka. ”Kapan-kapan main lagi kemari,” salah satu menambahi. Entah apa yang harus kusimpulkan dari sikap mereka yang ringan. Yang tidak mengungkit peristiwa malam itu. Barangkali ada tahu diri untuk tidak mengorak luka yang mengerak.

Barangkali mereka masih melihat bekasnya. Ketika siang ini aku hanya menulisi pintu, tidak memasukinya. Atau saat membayangkan perubahan warna bilah-bilah jati hingga menjadi seperti adanya sekarang –membayangkan berada di tengah-tengah bapak dan ibu sampai mereka tua.

Sulit untuk tidak teringat lagi pada jasad bapak yang mendapat serangan jantung ketika menaiki sepeda motor hingga jatuh dan kepalanya terlindas truk melintas. Membayangkan mayatnya dikerumuni orang-orang asing.

Lalu aku berusaha mengenali lagi aroma tanah pekarangan yang terbentang memisahkan –ataukah menghubungkan– kedua rumah kayu.

Lalu pohon mangga itu.

Sebentuk sedih menyelinap. Kunyalakan mesin mobil, melaju, melambaikan tangan pada keempat lelaki tua. Roda mendecit nyaring saat kuinjak rem, mengembalikanku kepada sekarang. Seorang perempuan berkain basahan dengan bakul cucian di pinggang muncul di depan dan buru-buru berlalu.

Aku pun ingin cepat-cepat pulang ke tempat yang lebih mudah kusebut rumah. Mencari nyaman dalam tatap dingin ibu. Juga dalam kehangatan pelukan istri dan putraku. (*)

*) DALIH SEMBIRING, Penulis dan penerjemah. Karya terjemahannya Man Tiger (judul asli Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan) masuk nominasi long-list Man Booker International Prize tahun 2016.


Dua Rumah Kayu