Karya Sastra, Kritik Sastra, Sejarah Sastra

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Karya Sastra, Kritik Sastra, Sejarah Sastra


Pelepas kerinduan pembaca sastra Indonesia terhadap kritik sastra yang terseok-seok muncul di permukaan.

KEHADIRAN buku kritik sastra di tengah melimpahnya karya sastra (di) Indonesia adalah sebuah usaha yang harus diapresiasi lebih. Sebab, pembaca sastra sudah tidak diberi keseimbangan antara karya sastra dan kritik sastra.

Satu esai kritik sastra yang hadir di situs-situs kecil atau di koran Minggu semestinya disebarluaskan seluas-luasnya. Untuk apa? Sebagai usaha memeriahkan kehadiran kritik sastra, walau sangat jauh tertinggal di belakang karya sastra.

Pada 2020, lahir satu buku kritik sastra Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu karya Sunlie Thomas Alexander. Dan tahun ini, ada buku Sembilan Lima Empat karya Zen Hae. Dua buku ini semacam melepas kerinduan pembaca sastra Indonesia terhadap kritik sastra yang terseok-seok muncul di permukaan.

Sembilan Lima Empat terbagi atas tiga bab. Bab pertama diisi ”sembilan” esai; bab kedua ”lima” esai; dan bab terakhir ada ”empat” esai. Dari komposisi itu, mungkin mengapa buku ini diberi judul Sembilan Lima Empat.

Dalam buku ini, Zen tidak saja membahas sastra, tetapi juga ada pembahasan teater yang bertempat di bab tiga. Misal, dalam esai ”Ihwal Kelisanan di Atas Panggung”, Zen mempertanyakan kebahasaan dalam lakon teater: bagaimana posisi bahasa baku dan bahasa lisan? Dan, kenapa bahasa baku ketika digunakan di atas panggung menjadi kaku?

Menurut Zen, teater sebagai cabang seni yang hidup dengan seperangkat dialog dan lakuan (seharusnya) adalah media yang sangat adaptif terhadap perkembangan bahasa di dalam masyarakat sekitarnya (halaman 243).

Bila ada pentas yang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, itu sah-sah saja, tetapi ada bahasa lisan yang mampu memfleksibelkan dialog antartokoh. Ini juga berlaku terhadap dunia sastra, misal dalam novel.

Logat daerah membantu mencairkan kebekuan bahasa Indonesia. Dan, bahasa Indonesia (semestinya) tidak pernah alergi kepada bahasa daerah maupun bahasa asing. Bahasa Indonesia harus terbuka terhadap bahasa di luar darinya. Sebab, menjadi bahasa modern, kuncinya adalah terbuka.

Di bab yang sama, dalam esai ”Menonton Amir Hamzah di Pasar Baru”, Zen berbagi pengalamannya ketika menonton pentas teater Nyanyian Sunyi Revolusi pada Sabtu–Minggu, 2–3 Februari 2019, di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Pentas tersebut mengisahkan riwayat hidup penyair Indonesia Amir Hamzah.

Bila Chairil Anwar terkenal dengan puisi dan dunia asmaranya, Amir Hamzah sekadar dunia kepenyairannya yang hadir di permukaan sastra Indonesia. Dalam Nyanyian Sunyi Revolusi, sosok kehidupan pribadi Amir ditampilkan –ini yang tidak pernah diungkapkan oleh kritik sastra, tulis Zen.

Pentas yang dibintangi Lukman Sardi dan Prisia Nasution tersebut memikat banyak penonton. Tiket paling rendah seharga Rp 250.000 ludes terjual, sedangkan yang tertinggi Rp 600.000 pun terbeli. Mungkin laris karena ada dua nama beken itu yang mampu memikat calon penonton. Atau, karena Amir Hamzah?

Tulisan yang cukup keras mengkritik satu buku adalah esai ”Orang Tidak Bahagia dan Dunianya” pada bab dua. Zen merespons buku cerpen Sebuah Tempat di Mana Aku Menyembuhkan Diriku karya Ardy Kresna Crenata.

Zen Hae menulis, ”Mungkin pembaca bisa berpuas dengan bagian-bagian yang menarik dan mengabaikan bagian tidak menarik lainnya. Tapi itu cara yang tidak sopan dalam menikmati sebuah cerita” (halaman 225).

Tak lupa pula Zen memasukkan esai tentang buku Kaki Kata karya kawannya, Nirwan Dewanto, dengan judul ”Kaki Kata: Dari Podium ke Meja Studi”. Zen mengategorikan tulisan dalam Kaki Kata sebanyak tiga-setengah golongan: ”pamflet”, ”seni bandingan”, ”setengah-kritik sastra”, dan setengahnya ialah ”autobiografi sastrawi”. Zen memberi saran kepada kawannya agar menggarap autobiografi sastrawi tersebut untuk buku selanjutnya. Entah itu saran atau satire.

Dalam buku ini, penulis dan editor menempatkan esai ”Sihir Nama” di depan. Esai ini menjelaskan sekilas sejarah gerakan kebangsaan Indonesia dan di mana tempat kesusastraan dalam gelombang gerakan kebangsaan tersebut.

Zen Hae menyebut nama Muhammad Yamin dan puisinya. Kaum pergerakan pada masa itu masih berorientasi kedaerahan –bahkan penulis kiwari pun masih. Membaca esai ini, saya mempunyai pertanyaan dasar: apakah sastra Indonesia punya sejarah sendiri tanpa melekat pada sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia? Atau, memang seperti itukah sejarah sastra Indonesia, tidak berdiri tunggal? (*)

  • Judul: Sembilan Lima Empat
  • Penulis: Zen Hae
  • Penerbit: JBS, Jogjakarta
  • Cetakan: Pertama, Juli 2021
  • Tebal: 298 halaman
  • ISBN: 978-623-7904-37-3

 

*) SAFAR NURHAN, Editor dan aktif di Komunitas Imajiner

 


Karya Sastra, Kritik Sastra, Sejarah Sastra