Pemilu 1955 dan Strategi si Merah

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Pemilu 1955 dan Strategi si Merah


Buku ini mencatat tiga hal penting seputar bagaimana PKI merebut hati konstituen dalam Pemilu 1955.

PEMILIHAN Umum (Pemilu) 1955 merupakan pesta demokrasi pertama di republik ini setelah 10 tahun kemerdekaannya. Herbert Feith (1957) dalam bukunya berjudul The Indonesian Election of 1955 mencatat suasana pemilu yang sangat demokratis.

Ia melukiskan bagaimana pemilu ini berhasil diselenggarakan oleh negara tanpa pengalaman berdemokrasi sebelumnya. Pemilu tanpa gesekan horizontal yang berarti.

Yang patut dicatat dari pemilu itu adalah berjayanya Partai Komunis Indonesia (PKI). Parameternya jelas, yaitu hasil pemilu yang menempatkan PKI sebagai partai besar keempat di Indonesia.

Tiga besar di atas PKI adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, dan Nahdlatul Ulama (NU). Tentu bukan perkara mudah bagi PKI membangun citra partainya setelah didera citra buruk pasca-Madiun tahun 1948 serta pergolakan di dalam tubuh partai sendiri.

Buku ini sejatinya telah terbit pertama di tahun 1996. Pada tahun 2021 ini kembali diterbitkan dengan beberapa penambahan data di semua bab. Yang paling membedakan dengan buku sebelumnya adalah adanya paparan perolehan suara untuk konstituante.

Setidaknya, buku ini mencatat tiga hal penting seputar bagaimana PKI merebut hati konstituen. Pertama, watak partai.

Buku ini merepresentasikan bagaimana PKI dipahami sebagai partai yang keras dan tidak mengenal kompromi (halaman 81). Dampaknya adalah dengan watak partai yang keras muncullah banyak ketegangan di dalam tubuh partai.

Yang paling mencolok ialah pertentangan di antara golongan tua dan muda. Antara yang mendukung jalan-jalan parlemen serta aksi-aksi revolusioner yang radikal. Aksi pemogokan sebagai reaksi dalam menandingi kekuatan asing merupakan contoh bagaimana watak partai yang keras penuh dialektika (halaman 84–85).

Kedua, strategi berpolitik PKI. Pada sebagian besar peserta Pemilu 1955, barangkali hanya PKI-lah yang memainkan peran politik di dua kaki (halaman 83).

Satu kaki mendukung penuh kebijakan Soekarno. Kaki lainnya ada di bawah tanah untuk melakukan perlawanan pada pihak yang dianggapnya sebagai kontrarevolusi, termasuk pada kabinet yang dibentuk oleh presiden.

Dalam strategi politik PKI tersebut, Aidit sebagai pemimpin baru PKI di tahun 1952 bermaksud mengarahkan partai menjadi lebih terbuka. Aidit pula yang menerapkan strategi komunisme yang sesuai dengan kondisi Indonesia.

Teori pertentangan kelas tidak lagi dipakai (halaman 104). Partai kemudian diarahkan pada strategi pembentukan front persatuan nasional. Strategi ini bekerja sama dengan berbagai kekuatan massa sembari tidak berhenti menciptakan kader-kader yang militan.

Catatan penting ketiga dari buku ini adalah strategi komunikasi PKI. Saat partai lain sibuk menyiapkan podium untuk kampanye, PKI tidak hanya mengandalkan keahliannya sebagai singa podium.

PKI sangat atraktif menyebarkan dan mengenalkan tanda gambarnya melampaui partai politik lain. Partai lain yang bisa menandingi dalam masifnya media kampanye hanyalah Masyumi (halaman 136). Baliho, poster, pamflet, hingga hiasan dekor panggung digarap secara optimal oleh PKI.

Selain media yang digarap, PKI juga memikat masyarakat lewat kegiatan kecil tapi bermanfaat (halaman 138). Gotong royong membangun saluran air, merintis pemakaian alat pertanian secara massal, mendekorasi kegiatan pesta secara bersama-sama, dan lain-lain.

Sebuah Kritik

Buku ini menjadi lengkap dengan paparan hasil Pemilu 1955 di setiap daerah. Dengan demikian, kita bisa melihat peta persebaran hasil yang diraih PKI pada masa itu. Buku ini juga memuat kritik pada strategi PKI. Penulis terasa mencoba melepaskan diri dari pengamatan seputar peristiwa Gerakan 30 September 1965 sehingga kritik dalam buku ini menjadi cukup objektif saat membicarakan PKI.

Meski demikian, ada gangguan bagi saya pada buku ini. Gangguan tersebut adalah dengan menaruh tanda kutip pada kata ”angka-angka fantastis” (halaman 174).

Pemberian tanda kutip oleh penulis ini terasa janggal karena hasil angka mengejutkan yang diraih oleh PKI menjadi terasa ambigu. Sesuatu yang layak diapresiasi ataukah dicibir. Begitu pula penggunaan diksi ”licik” untuk merespons strategi PKI (halaman 187).

Pemilu 1955 sebagai pemilu yang sangat demokratis menjadikan situasi politik serbaklaim dan saling menjatuhkan terjadi juga di semua partai politik saat itu.

Penerbitan kembali buku ini menjadi istimewa hadir di bulan September ini. Bulan yang selalu diingat sebagai awal mula kejatuhan PKI bersama peristiwa Gerakan 30 September 1965. Selain peristiwa 1965, PKI juga membuat pusing pemerintah lewat kejadian Madiun di tahun 1948, yang juga terjadi di bulan September.

Akhirnya, buku ini sangat penting dibaca di tengah-tengah kondisi partai politik kita hari ini yang tak jelas watak politiknya. Semua terasa sama dan pragmatis. (*)


  • Judul: Langkah Merah (Gerakan PKI 1950–1955)
  • Penulis: M. Subhan SD
  • Penerbit: Matabangsa, Jogjakarta
  • Tahun: 2021
  • Tebal: 216 halaman

*) OBED BIMAWICANDRA, Dosen UK Petra Surabaya, kini studi doktoral di Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma Jogjakarta

 


Pemilu 1955 dan Strategi si Merah