Percaya Tidak Percaya

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Percaya Tidak Percaya


Dalam hidup, suka tidak suka, kita kadang harus memercayai seseorang atau sesuatu. Jika kita mau bepergian mempergunakan pesawat, misalnya, kita harus percaya kepada pilot, bukan? Kita juga percaya kepada para insinyur yang merakit pesawat itu.

JIKA kita melewati jembatan, kita percaya pada kawat bentangan yang menahannya. Jika kita mengemudikan kendaraan, kita juga percaya pada kemampuan pedal rem untuk menghentikan laju. Menyimpan uang di bank, kita tak hanya percaya pada sistem mereka, juga percaya tak akan dicuri pegawainya.

Sialnya, orang atau sesuatu yang bisa mengkhianati atau menipu juga senantiasa datang dari mereka yang kita percaya. Termasuk bagaimana Julius Caesar dikhianati oleh dua teman dekatnya, Brutus dan Cassius. Mereka tentu orang yang bisa dia percaya sehingga boleh menjadi ”teman dekat”.

Beberapa malam lalu saya menonton film Spanyol, Contratiempo (yang dalam judul Inggris menjadi The Invisible Guest) garapan sutradara Oriel Paulo. Film itu sungguh-sungguh menggambarkan tentang apa yang saya bayangkan tentang ”kepercayaan” dan bagaimana kepercayaan sering kali menjadi titik terlemah dari seorang manusia.

Jika kita terkena kasus hukum, siapa yang bisa kita percaya dalam menghadapi seluk-beluk perkara dan pengadilan? Jawaban paling mungkin: pengacara. Apalagi jika kita merupakan penguasa dengan kuasa, sanggup menggelontorkan banyak duit untuk pengacara berbuat apa pun yang penting membebaskan kita dari jerat hukum.

Begitulah si tokoh di film itu. Ia percaya pada orang suruhan pengacaranya, yang hendak membantunya menciptakan alibi. Orang ini dikenal hebat, tak pernah gagal. Si tokoh percaya dan mulai membuka diri pada cerita sesungguhnya bahwa ia memang melakukan tindakan kriminal. Kepercayaan ini harus dibayar mahal, tentu saja.

Saya bisa membayangkan jika berada di posisi si tokoh. Saya mungkin tak lagi percaya kepada pengacara, atau bahkan kepada orang lain. Tak mau berbagi cerita paling gelap, menyimpan untuk diri sendiri. Jika harus membela diri, bela diri dengan cara sendiri tanpa menggantungkan nasib kepada orang.

Ini persis seperti saya membeli barang elektronik hanya karena murah harganya, meskipun mereknya nyaris tak pernah dengar. Setelah mencoba satu minggu, rusak. Kita membeli barang itu tentu tidak dengan harapan muluk, tapi setidaknya punya secuil pengharapan umurnya agak panjang.

Kapok? Seharusnya begitu. Tapi, dalam hidup ini, sering kali itu tak terjadi. Sering kali kita justru dalam situasi di mana untuk kapok pun sulit.

Sering saya membayangkan kepercayaan ini dalam konteks yang lebih luas. Pada sebuah pesawat bernama ”Indonesia”, kepada pembela kita dari segala susah dan derita bernama ”Indonesia”, kepada sebuah merek bernama ”Indonesia”. Apakah makhluk bernama Indonesia ini membayar kepercayaan ratusan juta manusia di dalamnya?

Membaca sejarah Indonesia saja kita bisa dibikin nelangsa. Orang yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia seperti Tan Malaka bisa mati di tangan orang-orang yang kemudian memegang kuasa di Indonesia merdeka. Seorang proklamator, yang bersedia mewakili melakukan pengumuman kemerdekaan, bisa jadi tahanan rumah di akhir hidupnya.

Dulu zaman mahasiswa, di sekitar tahun 1997–1998, jika memperoleh selebaran undangan untuk demo, saya akan bersemangat untuk berpartisipasi. Saya melihat pemimpin-pemimpin mahasiswa berorasi. Saya percaya, Indonesia cerah di masa depan, di tangan-tangan mereka.

Dua puluh tahun berlalu, ya terpaksa mengelus dada. Mahasiswa-mahasiswa kurus yang dulu semangat berorasi itu sekarang berada di lingkar-lingkar kekuasaan, dengan lingkar perut melebar. Tak lagi cerewet tentang kawan-kawannya yang hilang.

Kapok? Inilah anehnya. Setiap melihat mahasiswa bergerak memprotes kebijakan yang ngawur, saya kembali menaruh harapan. Berpikir Indonesia cerah di masa depan, di tangan mereka. Meskipun tampaknya dua puluh tahun yang akan datang, mungkin bakal kena kibul lagi gara-gara kepercayaan itu.

Kalau mau jujur, sejarah Indonesia penuh dengan telikungan yang menghancurkan kepercayaan. Dari cita-cita merdeka 100 persen yang ujung-ujungnya nego; tragedi 65 yang membuat kita bertanya-tanya, memang tidak bisa ya hidup bersama; hingga kasus-kasus terorisme yang membuat kita saling mencurigai satu sama lain.

Jangan lupa pemberontakan di sana dan di sini. Kalau disebut satu per satu, itu macam mengulang pelajaran sejarah anak sekolah. Bukankah itu pertanda nyata bahwa negara ini punya masalah dengan kepercayaan? Mungkin akibat sering kena tipu? Kena ingkar janji? Kena telikung?

Bahkan di hal-hal kecil pun, kepercayaan kita terhadap komunitas besar ini terus-menerus dirusak.

Seorang teman bercerita, ia melaporkan SMS-SMS penipuan ke layanan aduan. Kenapa ia melakukannya? Tentu karena percaya aduan tersebut akan diurus. Benarkah? Tidak. Sampai sekarang SMS-SMS penipuan terus bermunculan di layar ponselnya.

Kapok menjadi orang Indonesia? Itulah pokok soalnya. Kok kita tampaknya tak akan pernah kapok. Kita kembali akan memilih pejabat, yang mengobral janji manis sampai mau berlepotan lumpur seolah bagian dari jelata, untuk kemudian sadar bakal kena tipu lagi. (*)

*) EKA KURNIAWAN

Penulis dan novelis, nomine The Man Booker International Prize 2016


Percaya Tidak Percaya