Membongkar Drama Indonesia Era Perang

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Membongkar Drama Indonesia Era Perang


Pada zaman Jepang, karya sastra banyak diarahkan ke genre drama. Sebab, selain dipublikasikan media, bisa dipentaskan–klop dengan sesi propaganda.

KEHADIRAN buku Memahami Drama-Drama Indonesia Zaman Jepang karya Cahyaningrum Dewojati ini memberi angin segar. Terlebih, ia secara khusus membahas tuntas sebuah genre sastra pada masa perang yang notabene –sampai sekarang pun– tak banyak dilirik orang: drama.

Drama Propaganda

Sikap para pengarang pada masa pendudukan Jepang terbagi menjadi dua golongan. Pertama mereka yang bekerja sama dengan Jepang dan kedua menolak bekerja sama.

Idrus, Rosihan Anwar, Chairil Anwar, dan Amal Hamzah merupakan contoh pengarang yang menolak bekerja sama. Adapun Usmar Ismail, El Hakim (Abu Hanifah), dan Harlono mula-mula percaya pada Jepang, namun seturut Jassin, mereka kemudian ’’insaf’’ (halaman 13–14).

Kalau demikian halnya, berarti ada tiga golongan, selain dua di atas. Yakni, golongan ketiga, ya, mereka yang insaf itulah! Sebab, ada juga yang ’’tidak insaf’’ seperti Sanusi Pane, sastrawan paling produktif.

Sebenarnya apakah yang membedakan karya para pengarang ini jika toh sama-sama bersifat propaganda? Satu propaganda cinta tanah air dengan Jepang sebagai kiblat. Yang kedua juga cinta tanah air dengan sikap non-kooperatif.

Bedanya, bagaimanapun, ada pada estetika. Karya yang pertama cenderung lebih lempang dan terbuka dan yang kedua bersifat simbolis sebagaimana yang kerap dirujuk pada prototipe karya Selasih, Dengarlah Rintihan Pohon Mangga.

Baca juga: Mengenang Drama Jelang Proklamasi Kemerdekaan RI (1)

Media dan Sensor

Jepang menyensor karya sebelum dianggap layak terbit. Estetika cinta tanah air, mengobarkan semangat kepahlawanan, kerja keras, dan menganggap Jepang sebagai teman merupakan sederet syarat.

Namun, karya yang tidak membahayakan kedudukan Jepang pun tetap diizinkan terbit, meski tak heroik. Misalnya, karya dengan rujukan klasik: Nyai Dasima, Dr Samsi, dan Nusa Penida. Serta karya komedi seperti dalam Panggung Giat Gembira.

Menurut Cahyaningrum, sensor menimbulkan efek lain yang positif, yakni berubahnya tradisi sandiwara di Indonesia dari yang biasanya hafalan menjadi tertulis (halaman 15). Benarkah demikian?

Bila kita merujuk Sri Oemarjati (1971), naskah drama sudah banyak ditulis jauh sebelum zaman Jepang. Hanya memang, sebagaimana diakui Oemarjati sendiri, karya drama tidak sebanyak genre sastra yang lain seperti cerpen, novel, dan puisi.

Baca juga: Proses di Balik Adaptasi Legenda Rara Jonggrang Jadi Drama Musikal

Barangkali yang berubah adalah orientasi penulisan karya sastra. Pada zaman Jepang cukup banyak diarahkan ke genre drama sebab selain dipublikasikan media, juga bisa dipentaskan –klop dengan sesi propaganda.

Drama memang karya dua dimensi yang dapat dinikmati melalui teks maupun panggung. Hal ini menjadi keistimewaan tersendiri.

Naskah drama dinikmati pembaca saat dimuat di berbagai media, antara lain, Asia Raya, Pemandangan, Pembangun (Jakarta), Sinar Baru (Semarang), Sinar Matahari (Jogja), dan Suara Asia (Surabaya).

Upaya serius melacak dan merekonstruksi drama Indonesia modern pada era Perang Dunia Kedua dimulai dengan menganalisis karya Armijn Pane, Joyokusumo, Usmar Ismail, Aoh Kartamihardja, sampai Ananta G.S. dan Merayu Sukma. Analisis menyeluruh melalui konsep hegemoni dan ideologi ala Gramsci merupakan pilihan tepat. Bagi Gramsci, hegemoni itu bukan dominasi yang dipaksakan lewat kekuasaan dalam arti leksikal, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologi (halaman 51). (*)


*) RAUDAL TANJUNG BANUA, Penulis tinggal di Jogjakarta

Sampul Buku

Judul: Memahami Drama-Drama Indonesia Zaman Jepang
Penulis: Cahyaningrum Dewojati
Pengantar: Dr William Bradley Horton
Penerbit: Oceania Press, Jogjakarta, 2019
Tebal: xviii + 238 halaman
ISBN: 978-602-0728-17-9


Membongkar Drama Indonesia Era Perang