Mereka Berjuang di Garis Belakang Penanganan Covid-19 di Surabaya (1)

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Mereka Berjuang di Garis Belakang Penanganan Covid-19 di Surabaya (1)


Petugas pemakaman memiliki peran di garis terakhir penanganan Covid-19. Rasa kemanusiaan mendorong mereka tetap bertahan meski bahaya Covid-19 turut mengancam. Tidur di makam hingga lupa makan sudah jadi kebiasaan. Yang penting, jenazah korban Covid-19 bisa segera dikebumikan.

GALIH ADI PRASETYO, Surabaya

Baju hazmat hampir tidak pernah lepas dari tubuh petugas TPU Keputih. Mereka harus siap sedia sambil menunggu ambulans pembawa jenazah datang. Proses itu harus dilakukan cepat. Sebab, yang mereka makamkan adalah pasien Covid-19 yang meninggal dunia.

Sirene atau klakson ambulans jadi penanda saat mobil pengangkut jenazah itu datang. Begitu mendengar, mereka langsung menyiapkan diri. Menuju blok khusus di sisi paling timur kompleks makam tersebut.

Total ada enam petugas yang saban hari berjaga. Berbagai aktivitas pun harus lekat dengan hazmat. Mulai istirahat hingga makan. ”Kalau lagi makan dan ada jenazah yang datang, ya langsung kami tinggal. Mengurus pemakaman dulu,” ujar Munadji, salah seorang petugas pemakaman di TPU Keputih.

Paling mentok baju pengaman itu hanya dibuka separo. Sekadar cari angin. Mengurangi gerah dan keringat yang bercucuran.

Sebelum dan sesudah menangani jenazah, wajib hukumnya ”mandi” dengan cairan disinfektan.

Menjadi petugas pemakaman, kata dia, memang membutuhkan totalitas. Juga harus tahan banting. Pada awal-awal pandemi terjadi, Munadji dan kawan-kawannya sempat merasa kendur. Ada kekhawatiran tertulari virus tersebut.

Belum lagi, saat itu penggalian dilakukan dengan mencangkul tanah. Berbeda kondisinya dengan sekarang yang sudah menggunakan ekskavator. ”Tetapi, makin ke sini sudah tidak lagi. Yang penting, kami yakin dan saling mengingatkan soal perlengkapan pengaman harus dipakai dengan benar,” ujarnya.

Yang paling berat, menurut pria 50 tahun itu, adalah saat siang. Panas yang menyengat harus diimbangi dengan hujan buatan. ”Saya ingat di konser-konser dangdut pas panas pasti disemprot. Nah, itu saya tiru. Jadi, ada salah satu yang bagian nyemprot air ke kami. Ya, minimal mengurangi hawa panas,” jelas kakek dua cucu itu.

Juni-Juli dianggap sebagai puncak pemakaman korban Covid-19. Dalam sehari bisa sampai 25 orang. Bahkan pernah hingga 34 orang. Jika dirata-rata, dalam satu jam 1−2 orang yang dimakamkan.

Kala itu merupakan hari yang berat bagi para petugas. Karena tidak bisa pulang, mereka tidur di makam. ”Kami imbangi dengan makanan sehat dan vitamin. Dinas kebersihan dan ruang terbuka hijau (DKRTH) selalu memberi kami fasilitas itu,” tambah petugas lain Chusnul Yazid.

Dia mengatakan bahwa kepedulian kepada para petugas pemakaman juga mengalir. Tidak sedikit warga yang memberikan makanan tambahan untuk mereka. Hal itu turut menjadi penyemangat bagi mereka. ”Kami hanya tidak bisa membayangkan, kalau kami sampai sakit, siapa yang menangani? Tapi syukur, hingga sekarang kami dan kawan-kawan masih diberi kesehatan. Tidak ada yang tertular,” kata pria 56 tahun itu.

Tentu selama menangani pemakaman korban Covid-19, mereka semakin paham bahaya dan risiko yang dihadapi. Apalagi pemakaman itu tidak dihadiri pelayat dan tradisi lain saat pemakaman jenazah biasa.

Acap kali petugas menemukan jenazah yang hanya diantar satu atau dua orang anggota keluarga. Namun, ada pula yang tidak diantar keluarga menuju pemulasaraan. Hanya ada petugas medis dan petugas pemakaman.

Pada saat seperti itu, petugas selalu melakukan kegiatan doa lebih dulu. Sekadar membacakan surah Al Fatihah atau melantunkan azan. ”Kami lakukan doa sebentar bersama petugas yang lain meski hanya sejenak dan semampu kami,” tambah Munadji. Hal itu dilakukan semata-mata sebagai rasa kemanusiaan terhadap para korban.

Kini kompleks khusus untuk jenzah Covid-19 hampir penuh. Ada lebih dari 1.400 jenazah yang dimakamkan. Meski sekrang jumlah korban meninggal turun drastis. Dalam sehari maksimal hanya dua orang yang dimakamkan.

Jumlah itu belum termasuk korban yang perawatannya dilakukan dengan cara kremasi. Jumlahnya tidak kalah banyak. Tata cara yang dilakukan hampir sama.

Tidak ada sembahyangan, sesaji untuk persembahan atau doa bersama. Prosesnya berjalan singkat. Peti dari mobil langsung diangkut. Kemudian, dilakukan proses pengabuan. Tidak ada hiruk-pikuk atau tangis suara keluarga yang ditinggalkan.

Tidak banyak sebenarnya yang diinginkan para petugas di sana. Bukan penghargaan, bukan pula pujian yang membuat mereka bangga atas pekerjaan itu. Satu hal yang mereka harapkan, pandemi ini segera berakhir. Tidak ada kucuran keringat dari jenazah korban Covid-19 yang dimakamkan.

Nelangsa rasanya saat melihat banyak warga yang tidak patuh protokol kesehatan. Padahal, korban yang mereka tangani itu nyata. ”Kalau melihat yang seperti itu, sedih rasanya. Saya hanya berharap warga bisa mematuhi protokol kesehatan,” paparnya.

Saksikan video menarik berikut ini:


Mereka Berjuang di Garis Belakang Penanganan Covid-19 di Surabaya (1)