Totok, Aktivis Penggerak Donor Darah dan Perjuangannya saat Pandemi

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Totok, Aktivis Penggerak Donor Darah dan Perjuangannya saat Pandemi


Mengidap penyakit liver dan hepatitis B, Totok Sudarto divonis dokter tak bisa mendonorkan darah. Kondisi itu membuatnya terpuruk. Tetapi, Totok tidak larut dengan keadaan. Dia justru menganggapnya sebagai cambuk bagi dirinya untuk terjun menjadi relawan penggerak donor darah. Kiprahnya makin diperlukan ketika pandemi.

SEPTIAN NUR HADI, Surabaya

BARU sebulan pagebluk korona masuk ke Indonesia membuat persediaan kantong darah di PMI Surabaya merosot tajam. Pada Maret persediaan darah tidak lebih dari 600 kantong. Jauh dibandingkan sebelumnya.

Setiap hari PMI Surabaya memiliki persediaan darah lebih dari 5.000 kantong. Merosotnya persediaan disebabkan jumlah peserta donor yang menurun.

Di tengah pandemi Covid-19, para pendonor merasa khawatir menyumbangkan darah karena takut tertular virus Covid-19. Apalagi, ketika itu tingkat kesadaran masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan (prokes) masih minim. Misalnya, memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.

Ditambah lagi, stigma negatif atau perlakuan diskriminatif yang diberikan warga terhadap pengidap Covid-19. ”Akibatnya, mereka semakin takut berinteraksi dengan orang lain dan tidak mau mendonorkan darah. Baik di kantor PMI maupun area publik,” kata Totok Sudarto pada kegiatan donor darah di BG Junction, Rabu sore (16/12).

Sebagai relawan atau anggota Dewan Kehormatan PMI Surabaya, Totok tak bisa membiarkan kondisi yang terjadi.

Solusi harus ditemukan. Sebab, jika tidak, berkurangnya stok darah pasti berdampak pada masyarakat yang membutuhkan darah.

Totok pun memberanikan diri mengadakan donor darah di area publik. Salah satunya di seputaran Taman Bungkul. Namun, gebrakannya menuai kontroversi. Banyak yang bilang langkah Totok terlalu nekat. Sebab, hal itu sangat berbahaya bagi para pendonor, tenaga kesehatan, dan dirinya dalam penularan virus Covid-19.

”Mereka berpikir kegiatan donor darah di area umum malah menimbulkan keramaian. Ya, keramaian pasti terjadi. Tapi, jika diatur sebaik-baiknya, kerumunan orang bisa dihindari,” ujar pria kelahiran Surabaya, 25 Juli 1955, itu.

Untuk mencegah kerumunan, Totok terjun langsung. Dia menata bangku antrean pendonor. Dia memberikan jarak hingga 1 meter. Dalam kegiatan donor darah, Totok menargetkan seratus hingga dua ratus kantong darah bisa didapat.

Untuk memberikan daya tarik, bantuan sembako diberikan kepada para pendonor. Totok mengatakan, sembako itu berasal dari berbagai donatur. Salah satunya, Harmonis Karaoke Club. Komunitas tersebut merupakan perkumpulan pengusaha yang mempunyai hobi berkaraoke.

Ratusan sembako disediakan. Hasilnya di luar dugaan. Pendonor yang datang lebih dari yang ditargetkan. Banyaknya pendonor sempat membuat kerumunan orang terjadi. Namun, Totok bergegas mengatur antrean. Semuanya dilakukan agar tidak terjadi kerumunan. ”Saking banyaknya yang datang, sampai kehabisan sembako. Tapi, kami tidak mau mengecewakan mereka. Seluruh pendonor tetap mendapatkan sembako walaupun diambil di lain waktu,” ujarnya.

Seiring dengan berjalannya waktu, banyak orang yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial tersebut. Selain di Taman Bungkul, donor darah dihelat di mal dan permukiman warga.

Donatur yang berpartisipasi pun bertambah. Dengan begitu, donor darah bisa digelar setiap hari. Totok menjelaskan, selama pandemi Covid-19, sebanyak 141 donor darah telah dilakukan. Dari kegiatan itu, 12.318 kantong darah berhasil didapat.

Jumlahnya bahkan lebih banyak jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selama 2019, yang terkumpul hanya 11.529 kantong darah. Padahal, ketika itu kondisi Surabaya masih aman. Pagebluk korona belum datang.

” Itu menandakan bahwa rasa kepedulian warga untuk tolong-menolong semakin meningkat,” ucap ayah empat anak itu.

Totok bercerita, ada beberapa faktor yang mendorong dirinya terus konsisten menjadi penggerak masyarakat untuk mendonorkan darah. Pada 1998 dokter mengatakan bahwa penyakit liver dan hepatitis B yang diderita Totok membuatnya tak bisa lagi mendonorkan darah sampai sekarang. Sebagian orang menganggap kabar itu merupakan hal biasa, tapi tidak bagi Totok. Pria 65 tahun tersebut merasa sangat kecewa dan terpuruk ketika mengetahui kenyataan itu.

Dengan dilarangnya mendonorkan darah, Totok merasa tak bisa menolong orang lain. Ditambah lagi, saat itu sang ibu sakit dan membutuhkan asupan darah golongan AB. Jenis golongan darah yang langka membuat Totok datang langsung ke PMI dan mencarinya di tempat lain.

Agar sang ibu bisa sembuh, Totok pun berkecimpung menjadi relawan penggerak donor darah. Beberapa kali kegiatan jemput bola dilakukan. Misalnya, di permukiman warga, taman, dan pusat perbelanjaan. Tidak peduli dengan jumlah peserta yang datang. ”Pada akhirnya saya mendapatkan kantong darah sesuai golongan darah ibu. Bantuan itu tidak lain didapat dari keponakan saya sendiri,” ujarnya.

Baca Juga: Ada Kelas Bahasa Inggris dan Wirausaha di Sekolah Beralas Tikar

Meski tidak mendapatkan banyak kantong darah, Totok merasa sangat senang. Sebab, setetes darah yang diberikan dapat membantu kesembuhan sang ibu. Dari situlah, Totok bertekad terus menjadi relawan penggerak donor darah. Meski, dia kini tak bisa lagi mendonorkan darah. ”Kisah yang dialami ibu memberikan pelajaran besar bagi saya. Saya merasa bahagia sekali bisa dibantu. Walaupun hanya berupa kantong darah,” ujarnya.

Sejak itulah, Totok selalu konsisten menggelar donor darah jemput bola. Sejak 2007 hingga saat ini, 1.015 kali kegiatan donor darah digelar. Dari jumlah tersebut, 73.356 kantong darah didapatkannya.

Totok menilai itu merupakan prestasi yang luar biasa. Prestasi tersebut membuatnya berhasil mendapatkan delapan pin emas dan menjadi salah satu relawan terbanyak mengumpulkan kantong darah di Indonesia.

Saksikan video menarik berikut ini:


Totok, Aktivis Penggerak Donor Darah dan Perjuangannya saat Pandemi