Dokter Tjokorda Raka Gekko Bikin Program Kesehatan Berbasis Teknologi

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Dokter Tjokorda Raka Gekko Bikin Program Kesehatan Berbasis Teknologi


Apa yang tebersit di pikiran ketika mendengar nama Harvard University? Natalie Portman? Lalu, apa lagi? Yang jelas, perasaan bangga pasti meletup-letup. Begitulah yang dirasakan dr Tjokorda Raka Gekko Dananjaya saat dirinya mendapatkan surat penerimaan sebagai mahasiswa baru di kampus elite itu.

DIMAS NUR APRIYANTO, Surabaya

DOKTER Tjokorda Raka Gekko Dananjaya atau yang akrab disapa Raka jatuh hati pada gambar jantung manusia sejak kelas I SD. Saat itu, matanya terpikat ketika melihat cover buku bergambar jantung di salah satu toko buku (Gramedia) di Bali.

Raka menempuh pendidikan dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) pada 2008–2014. Sebelumnya, dokter kelahiran Denpasar 1988 itu mengambil pendidikan diploma tingkat 1 di Blue Mountain International Hotel Management School di Sydney.

Tekadnya menjadi dokter spesialis jantung kian bulat dan matang. Seusai lulus dari pendidikan dokter di FK UWKS, pria yang mengidolakan Raden Mas Panji Sosrokartono (kakak RA Kartini) itu menjalani masa pengabdiannya sebagai dokter pegawai tidak tetap (PTT) di daerah terpencil. Dia ditempatkan di Desa Salimuli, Kecamatan Galela Utara, Kabupaten Halmahera Utara. Setelah pengabdian, dia mendapatkan surat masa bakti, lalu pulang. ’’Kemudian, apply spesialis jantung,” terang Raka.

Dia berdinas dan membawahkan 12 desa. Jangan dibayangkan belasan desa tersebut saling berdekatan. Tiba-tiba kedua tangannya membentang. Menggambarkan saking jauhnya jarak setiap desa. Untuk berkunjung ke setiap desa, Raka harus berdamai dengan ombak. Sebab, jika melintasi daratan, rawan sekali ketika melewati hutan. Alumnus SMA Negeri 1 Denpasar itu menyebutkan betapa susahnya masyarakat Desa Salimuli mendapatkan akses kesehatan.

Kondisi geografis membuat antardesa terpecah-pecah. Dokter dan obat minim. Biaya berobat memang gratis karena menggunakan layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. ’’Tapi, bagaimana dengan biaya transportasi yang harus dibayar mereka? Biayanya bisa Rp 600 ribu sampai Rp 1 juta buat nyewa kapal,” terangnya.

Ada satu momen yang tidak dapat dilupakan Raka. Suatu hari, orang tua bersama bayinya datang ke puskesmas tempat Raka berdinas. Saat itu kondisi bayi mengalami dehidrasi dan kejang. Mereka membutuhkan waktu sejam dari rumahnya menuju puskesmas. ’’Bayangkan, apa nggak rusak itu sel-sel otak si bayi. Saya merenung dan memikirkan lagi. Apa saya tetap melanjutkan mimpi menjadi dokter spesialis jantung?” ucapnya.

Kondisi minim obat dan alat kesehatan tidak melumpuhkan pelayanan yang diberikan Raka. Setiap ada pasien, dia menangani sebisanya. Mengajak keluarga pasien mengobrol. Tak jarang, dia mendaratkan pelukan yang sangat erat sebagai bentuk empati kepada keluarga pasien.

Setahun mengabdi, Raka membuat dua program kesehatan. Pertama, program manajemen terpadu balita sakit (MTBS) prioritas. Dia melibatkan seluruh pihak.

Program kedua, tujuh inisiatif kendalikan angka morbiditas dan mortalitas penyakit tidak menular (TIKAPTM). Salah satu penyakit tidak menular adalah diabetes. Hal baik ternyata datang kepada Raka.

Dua program tersebut mendapatkan apresiasi dari pihak Provinsi Maluku Utara. Tak hanya itu, Raka juga diberi kesempatan untuk mempresentasikan program tersebut kepada United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) Makassar di Ternate pada 2017. Saat itu, UNICEF Makassar bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Provinsi Maluku Utara.

Sepulang dari dinas PTT, Raka hadir dengan visi yang baru. Dia mencari perusahaan yang memiliki misi untuk mau membantu negara ini dalam segala bidang. Singkat cerita, dia bertemu Theodore Permadi Rachmat selaku cofounder Astra.

Dia belajar banyak ketika bekerja di perusahaan pria yang dinobatkan sebagai orang terkaya ke-14 di Indonesia tersebut. Hingga saat ini, dia diminta sebagai advisor untuk komite Covid-19.

Berdasar penelusuran Jawa Pos di laman resmi Harvard University terkait data statistik penerimaan mahasiswa baru, perguruan tinggi tertua di Paman Sam itu sangat eksklusif. Buktinya, di antara 40.248 pelamar, hanya 2.015 orang yang diterima untuk kelas pada 2024.

Raka menerima surat pemberitahuan bahwa dirinya diterima di master of medical sciences in global health delivery (MMSc-GHD). Program pembelajaran dimulai pada September tahun ini. Bukan hanya Raka yang dibuat tercengang. Awalnya keluarganya juga tidak percaya.

Baca Juga: Kongsi Pecah, Bisnis MLM Macet, Modal Rp 3,5 M Hilang

Raka telah menyiapkan topik tesisnya. Tesis ditulis berdasar mentored research project di negara underdeveloped selama enam bulan. Dia menjelaskan, sebetulnya sistem kesehatan di Indonesia sudah cukup baik. Namun, karena majemuknya Indonesia dari segi budaya, adat, kepercayaan, kondisi geografis, hingga otonomi daerah, dibutuhkan satu desain pendekatan yang baik. Tujuannya, memastikan eksekusi program kesehatan berkelanjutan.

Dalam lima tahun ke depan, Raka memiliki goal membuat aplikasi yang memberikan akses pelayanan kesehatan hingga seluruh pelosok. Saat ini aplikasi rancangannya itu telah diuji coba pada mahasiswa baru di beberapa daerah. 


Dokter Tjokorda Raka Gekko Bikin Program Kesehatan Berbasis Teknologi