Dua Sisi Mahdi

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Dua Sisi Mahdi


TIDAK sulit mencari rumah makan atau kedai kaki lima mi Aceh di Jogjakarta hari-hari ini. Favorit saya dan istri “Chie Rasa”, sepelemparan batu ke barat Asrama Putri Aceh Cut Nyak Dhien, di Jalan Kartini, Sagan, Sleman. Mi spesial tumis dan nasi goreng spesialnya, pinjam istilah gaul, “endolita bambang.”

Sebaliknya jika kita ingin mencari perupa Aceh di medan seni rupa Jogjakarta. Memang tak sesulit mencari jarum di tumpukan jerami. Tapi keruan bikin garuk-garuk kepala. Apa boleh buat, setelah pelukis Lian Sahar tutup mata dalam umur 77 pada 2010, saya menemukan hanya tiga perupa, yaitu Mahdi Abdullah (60 tahun), Endang Lestari (44 tahun), Rudy Dharmawan (38 tahun).

Yang terakhir itu bahkan perlu menambahkan “Atjeh” di tengah namanya sebagai pembeda dengan sejumlah perupa lainnya bernama “Rudy” atau “Rudi” yang berasal dari Sumatra Barat atau Lampung atau entah. Jadilah pemetik gitar di Punkasila Band itu dikenal sebagai Rudy “Atjeh”.

Saya sekali-dua bersua Rudy di Ruang Mes 56, terutama kala mengikuti diskusi atau menghadiri pembukaan pameran di sana. Sedangkan dengan Endang Lestari, saya terbilang jarang bertemu akhir-akhir ini, kecuali tak sengaja melihatnya di suatu pembukaan pameran. Sementara itu, tiga pekan belakangan, saya kerap bertandang, atau sekadar mampir ketika bersepeda, ke rumah-studio Mahdi Abdullah di Jalan Mangkuyudan No. 2, Mantrijeron, Jogjakarta.

Rumah-studio itu bergaya jengki. Bakumuka dengan Hotel Ruba Graha. Berjarak 51 rumah dari Ruang Mes 56. Luasnya kira-kira 100×100 m2 dengan sebuah ruang tamu kecil, ruang tengah 20×8 m2 yang berfungsi sebagai studio setelah sebelumnya di limasan 12×12 m2, empat kamar tidur (kamar tidur keempat adalah tambahan yang terbuat dari tripleks), sebuah dapur dan toilet, serta garasi yang memuat sebuah mobil sedan tua dan dua-tiga motor bebek.

Ada pohon sawo besar di halaman depan nan jembar namun gersang. Pohon sawo itu membikin rumah-studio Mahdi teduh sekalipun tak sepenuhnya dapat menghilangkan gerah dari tubuh penghuninya. Pada Jumat sore, 24 Juli, dan Sabtu siang, 1 Agustus, kali kedua dan ketiga ke rumah-studio itu, saya bakubicara dengan Mahdi yang bertelanjang dada karena beringsang.

Sejak 2018, ketika reruntuhan kamar-kamar kos dan limasan di belakang rumah-studio Mahdi malih menjadi “Ketemu Kopi & Roastery”, supaya tak kelihatan menyeramkan sehingga menghadang konsumen datang, pohon sawo itu diberi lampu jalar yang bekerlap-kerlip kala malam tiba. Apalagi, konon ada demit yang mendiami pohon sawo itu.

Sudah lebih kurang satu dasawarsa Mahdi menempati rumah-studio yang sebelumnya terlantar itu, terutama setelah gempa 2006 yang meruntuhkan langit-langitnya dan menimbun seorang penghuni hingga hilang nyawa. Sudah puluhan lukisan yang dihasilkannya di sana. Sampai-sampai, pada 2013, ia memboyong istri dan anak-anaknya dari Banda Aceh untuk tinggal bersamanya di rumah-studio itu.

Namun demikian, niat Mahdi untuk membeli rumah-studio itu tak kesampaian. “Pemiliknya tak mau menjual,” kata alumnus Pascasarjana ISI Jogjakarta (2012) itu.

Apa boleh buat. Sampai cerita ini terbit, Mahdi dan keluarganya cuma bisa menyewa rumah-studio itu. Tapi itu tak membikinnya canggung berdaya cipta di sana, alih-alih membuat tetangga-tetangganya takjub.

“Mereka heran, kok saya mau mengontrak rumah-studio ini? Padahal, menurut mereka, di sini penuh hantu,” kata Mahdi.

“Benar, Bang?” selidik saya.

“Bukan hanya di rumah-studio ini. Di pohon sawo itu juga ada hantunya kata mereka. Awal-awalnya ada sih yang ‘ngganggu’ dengan ketuk-ketuk pintu kamar berkali-kali. Tapi setelah kami sering mengaji, gak ada lagi ‘gangguan’ itu.”

Saya perhatikan ekspresi wajah Mahdi datar-datar saja ketika menceritakan soal hantu itu pada Rabu pagi, 15 Juli, dan Jumat sore, 24 Juli. Justru asap kretek yang berkelebat hebat dari mulutnya yang pada jeda-jeda tertentu akan menyesap kopi di gelas porselen.

Saya kira soal yang gaib itu bukan masalah besar baginya. Buktinya, ia dan keluarganya betah tinggal di situ. Lagi pula ia sudah cukup berpengalaman menghadapi hantu-hantu kasatmata, seperti militerisme dan skriptualisme, yang jauh lebih menyeramkan ketimbang genderuwo atau lelembut.

Itu sebabnya, alih-alih karier, berseni rupa menjadi semacam panggilan kemanusiaan Mahdi untuk memberi kesaksian kepada sosok dan pokok yang terkorbankan dan tersia-sia di antara desing peluru dan gemerincing kepeng, pidato perdamaian dan khotbah perjuangan, kopi Gayo dan Starbucks, darah dan doa, ria dan lara, impian dan bencana, hidup dan mati, di Kota Serambi Mekah.

***

Oposisi berpasangan itu terupakan dengan baik dalam tiga puluhan karya dwi-trimatra yang diusung Mahdi dalam pameran tunggalnya “Transmemorabilia” di Tujuh Bintang Art Space, Jogjakarta, 23-29 Mei 2012, dan “Two Sides of the Medal” di Sangkring Art Project, Bantul, 30 Oktober-13 November 2018.

Di sana daya cipta Mahdi menghablurkan oposisi berpasangan itu menjadi kontradiksi dan ironi yang menyayat kalbu sekaligus menyikat nurani yang berdebu kepentingan harta, takhta, dan wanita. Dengan begitu, pemirsa tak hanya beroleh penggambaran, melainkan juga pernyataan tentang kontradiksi dan ironi yang terjadi di Tanah Rencong.

Mahdi Abdullah dan alter egonya. (Wahyudin)

Pernyataannya yang paling gamblang, sebagaimana tergurat dalam seri lukisan “Chronology” (2010-2013) berpokok perupaan perempuan tua memanggul keranjang berisi buah-buahan, senapan, pistol, granat, dan peluru, adalah perihal konflik bersenjata guna kuasa dunia-benda-nama yang menyengsarakan, bahkan meminta airmata, darah, dan nyawa, warga biasa di Nanggroe Aceh Darussalam.

Sebagian orang mungkin akan memandang pernyataan tersebut sebagai klise yang berlarat-larat. Tapi justru itu sebabnya yang membikin karya Mahdi terasa menyengat bukan untuk Aceh semata, melainkan untuk negeri lainnya di mana pun yang pernah, atau masih, mengalami konflik bersenjata atau menjadi daerah operasi militer.

Malah, perlu diingat, penggambaran dan pernyataan itu tercipta dari seorang penyintas, bukan peneliti sok teliti atau pelancong kesurupan di siang bolong. Maka jangan bertanya kepadanya apa arti kemerdekaan di bawah janji-janji perdamaian yang dilesatkan dari moncong senjata. Jangan bertanya kepadanya apa arti kehilangan setelah ibu-bapak dan dua adiknya lenyap disapu tsunami. Jangan bertanya kepadanya apa arti kesaksian sesudah tetangganya ditembak mati tanpa kuasanya mencegah.

“Saya pernah mencoba melukis bentuk-bentuk fantasi ihwal daun, awan, dan bulan untuk menghindarkan diri saya dari pertanyaan dan perenungan tentang kemerdekaan, kehilangan, dan kesaksian,” kata Mahdi. “Tapi bagaimana bisa saya meneruskannya pada saat yang sama tetangga saya dibunuh dan peluru-peluru tajam dari dua arah yang berlawanan tak jua berhenti berdesing?”

Pada saat itulah Mahdi menemukan momen kebenaran untuk berketetapan dengan realisme sebagai “bahasa” yang memungkinnya menemurupakan realitas sosial-politik dan kenyataan sehari-hari di Aceh yang berterima di tengah masyarakat. Lebih-lebih, setelah jurnalisme “Serambi Indonesia” yang didiaminya sepanjang 1985-2004 harus hati-hati “bicara” jika tak mau kena pelor dan tumpas.

Dengan kata lain, realisme adalah alat artistik yang dipilihnya dengan sadar bukan hanya karena bapak beranak empat itu mahir memainkannya, melainkan juga memampukannya bertukar tangkap makna, bukan berhala untuk disembah, secara manasuka dengan pemirsa tanpa perlu khawatir dipopor penguasa militer atau disemprot ludah beracun penganut Islam kolot.

Untuk itu pula sejumlah siasat ekstra-estetik dilakukan Mahdi dari menggambar potret tokoh terkemuka, mengundang cerdik-pandai Islam moderat sebagai peresmi pameran, sampai mempelajari secara saksama Hadis dan Alquran mengenai lukisan dan melukis makhluk hidup.

Hasilnya adalah pemahaman dan keyakinan bahwa realisme dapat diamalkan sebagai bahasa visual yang tahu diri untuk, mengingat kata-kata Paul Klee, “tidak meniru yang terlihat, tetapi membuat sesuatu menjadi terlihat.”

Dengan keinsafan itu, harus diakui, Mahdi menjadi master untuk lukisan-lukisan berpokok perupaan konflik bersenjata dengan segala dampak sosial, politik, dan ekonominya bagi penduduk Aceh. Hal itulah saya kira yang memampukan Mahdi beroleh keunggulan perbandingan di medan seni rupa Indonesia, khususnya dalam khazanah seni lukis realis.

Untuk yang terakhir itu Mahdi bahkan termasuk dalam kekerabatan kreatif Kelompok Cibubur Art yang digawangi oleh, antara lain, Bambang Sudarto, Haris Purnomo, Kela Susanto, dan Umbu LP Tanggela. Pelukis kelahiran Banda Aceh, 26 Juni 1960, itu bersama Kelompok Cibubur Art pernah turut serta dalam pameran perayaan 70 tahun penyair Goenawan Mohamad bertajuk “Membikinnya Abadi” di Galeri Semarang, 24 Juli-4 Agustus 2011.

Mereka membawa sebuah lukisan kolaborasi berjudul “Gandari”, cat minyak dan akrilik di kanvas, 180×600 cm (3 panel), 2011, yang merupakan sajak “Gandari” Goenawan Mohamad dalam pelbagai rupa perempuan, dari perempuan jelata sampai perempuan superhero, dari yang berkulit putih mulus bak keramik Tiongkok sampai yang berkulit coklat keriput bak petak sawah kering-kerontang, dari yang tersenyum bahagia hingga yang tertunduk menanggung derita, dengan teknik realis yang mengesankan.

Mahdi berkontribusi dalam lukisan tersebut dengan sepotong gambar ekawarna perempuan renta memanggul keranjang bambu berisi aneka jenis senapan laras panjang. Gambar itu memperlihatkan sedikit perbedaan teknik-artistik Mahdi dengan eksponen Kelompok Cibubur Art lainnya. Pada Mahdi, garis-garis pembentuk sosok perempuan renta itu dibiarkan menonjol-kasar; sedangkan pada lainnya, misalnya gambar perempuan tertunduk-telanjang yang punggungnya tertancap dua belas panah berbulu angsa garapan Haris Purnomo, tampak halus, bahkan terkesan dihalus-haluskan. Tak jadi soal saya kira.

Rupanya, kekerabatan kreatif mereka sudah terjalin lama. Pada 1979-1985, sembari kuliah di Institut Sains dan Teknologi AKPRIND, Mahdi menjadi “mahasiswa pendengar” STSRI “ASRI” Jogjakarta yang kerap “nimbrung diskusi” dan berkarya bersama para eksponen “Pipa” seperti Gendut Riyanto, Bonyong Munniardhie, Haris Purnomo, dll. Pada masa yang lebih kurang sama Mahdi pun bergaul dekat dengan Moelyono, eksponen utama Seni Rupa Penyadaran.

“Pak Edhi Sunarso, maestro patung, yang mengizinkan saya menjadi ‘mahasiswa pendengar’ di ASRI waktu itu,” kata Mahdi.

***

Dalam lintasan daya cipta itulah, terutama selepas pameran tunggalnya di Sangkring Art Project dan terakui sebagai “pelukis Jogja”, Mahdi dengan sadar memeriksa kembali signifikansi keunggulan perbandingan lukisan-lukisannya berpokok perupaan konflik bersenjata di Aceh, betapapun itu merupakan sumbangan berartinya bagi khazanah seni lukis Indonesia.

Pada beberapa lukisannya terbaru yang ada di rumah-studionya, saya melihat pokok perupaan konflik bersenjata itu tak lagi mendapat perhatian serius. Saya kira soalnya adalah pengalaman hidup yang sudah berbeda. Itu sebabnya yang membikin lukisan-lukisan Mahdi saat ini memberat pada perkara-perkara eksistensial dan personal tentang hidup-mati, tubuh-jiwa, dunia-akhirat, atau sejarah-silat lidah.

Dalam pada itu, Mahdi tetap mempertahankan motif utamanya berseni lukis, yaitu membuat kontradiksi dan ironi dalam hidupnya dan kehidupan sehari-hari kita terlihat di kertas atau kanvas. Motif itu sesungguhnya tak khas Mahdi. Sejumlah pelukis realis lain, antara lain Dede Eria Supria, Haris Purnomo, dan F. Sigit Santoso, memiliki motif serupa.

Tapi, saya kira, Mahdi memang perlu mempertahankan motif itu guna yang disebut filsuf Umberto Eco “efek puitika” atau, dengan parafrase, kapasitas yang ditunjukkan suatu karya seni rupa agar bisa terus-menerus merangsang resepsi yang berbeda-beda, tanpa sepenuhnya habis.

Lukisan kolaborasi kelompok Cibubur Art 2011. (Wahyudin)

Kebetulan, dekat meja kayu 120×200 sentimeter beralas kaca, tempat biasa kami bakubicara di antara lemari arsip, rak kanvas kecil dan botol-botol cat, alat-alat tulis dan melukis, lampu baca, dan tumpukan buku Goenawan Mohamad, Sanento Yuliman, Mikke Susanto dll., terkuda-kuda sepotong lukisan belum rampung tentang hijrah Bung Karno dan Bung Hatta dari Jakarta ke Jogjakarta pada 1946.

Sejak 17 Juli lalu, utamanya selepas Isya hingga Subuh menjelang, ditemani Pink Floyd, Eric Clapton, dan The Police, serta tentu saja kretek dan kopi hitam, Mahdi mempersiapkan lukisan itu untuk pameran “Takhta untuk Rakyat” di Jogja Gallery; semula direncanakan pada September nanti, tapi terpaksa diundur pada Maret 2021 karena pandemi Covid-19.

Sejauh ini Mahdi sudah dua-tiga kali merevisi detail-detail sosok dan pokok dalam lukisan 180×200 sentimeter itu untuk mencapai “sejarah yang ditemurupakan” di kanvas sonder mengabaikan “kebenaran sejarah”. Misalnya, tanggal kepindahan (4 Januari 1946), waktu kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta (pukul 07.20), dan tipe lokomotif (C 2849) yang menghela Kereta Luar Biasa Kepresidenan menuju Jogjakarta saat itu.

Detail-detail macam itu, bersandar pada dokumen fotografi Kantor Berita ANTARA, bisa jadi tak penting-penting amat bagi pemirsa sambil lalu. Tapi sebaliknya bagi penonton bermata awas lagi terpelajar. Dengan begitu, betapapun lukisan itu akhirnya menampakkan peristiwa sejarah yang dianggit oleh pelukis, Mahdi ingin mengesankan bahwa menemurupakan peristiwa sejarah di selembar kanvas bukan perkara sembarangan, tapi juga bukan soal musykil.

Maka, lebih dari sekadar bentuk penggambaran, lukisan itu merupakan bentuk pernyataan Mahdi atas kemuliaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam sejarah perpindahan ibu kota Republik Indonesia dari Jakarta ke Jogjakarta. Bisa dimengerti jika Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dengan aneka rupa penampilan, kial, dan rona, yang menjadi pusat perhatian lukisan itu ketimbang Bung Karno atau Bung Hatta yang tampak begitu lelah meski tetap berusaha tabah dan gembira.

Jadi, di atas kemuliaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX itu ada pemuliaan seorang pelukis kepadanya yang sepatutnya dikenang selalu, bukan dilupakan dengan akal-bulus politik. Pun dengan para pemula seni rupa modern Indonesia seperti Affandi, Hendra Gunawan, dan S. Sudjojono, seyogianyalah mereka dicatat dan dapat tempat dalam ingatan kita akan sejarah besar itu.

Sayangnya, setelah saya memotret lukisan itu, Mahdi melarang saya untuk menyiarkannya ke mana pun, tak terkecuali lewat tulisan ini.

“Jangan diekspos dululah; belum jadi soalnya, dan pamerannya pun belum berlangsung,” kata Mahdi.

Apa boleh buat. Tibalah saatnya mengenakan helm kembali untuk minta diri. Tapi, sebelum mengayuh Heist 2.0 yang terpakir dekat pohon sawo, saya bertanya kepada alumnus Arsitektur Universitas Muhammadiyah Aceh itu.

“Masih ada niat untuk pulang kampung, Bang?”

“Nggak ada lagi.”

“Begitu ya.”

“Saya ingin selamanya di Jogja. Saya bahkan sudah berpesan kepada istri saya untuk menguburkan saya di sini saja bila kelak saya meninggal.”

“Baiklah, Bang. Selamat berkarya. Sampai jumpa lagi.” (*)


*) Wahyudin, Kurator seni rupa, tinggal di Jogjakarta


Dua Sisi Mahdi