Kisah KPK dan Perjuangan Pegawainya dalam Memberantas Korupsi

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Kisah KPK dan Perjuangan Pegawainya dalam Memberantas Korupsi


Kumpulan surat-surat elektronik (e-mail) selama lima belas tahun terakhir yang ditulis menjadi buku ini, seperti mewakili suara hati pegawai KPK yang tengah berjuang dan tak putus dirundung nestapa melawan kekuatan besar perlawanan balik koruptor dan sekutunya. Banyak potret buram yang kerap dijadikan refleksi untuk memompa semangat para pejuang – pejuang antikorupsi di lingkungan internal lembaga antirasuah, agar terus semangat membersihkan negeri ini dari bahaya laten korupsi.

MEMBACA buku ‘The E-MAIL Mengeja Gelisah Merangkai Asa’ yang ditulis pegawai senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nanang Farid Syam, seperti membaca pelajaran buku Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (kini sejarah), yang disajikan sebagai salah satu mata pelajaran siswa SD di era Orde Baru. Bedanya, dalam buku ini pembaca akan disajikan tentang sejarah KPK beserta problematikanya, dari sudut pandang seorang pegawai yang ahli dalam membidangi jaringan ini.

Banyak kisah-kisah ketimpangan sosial yang berhasil dipotret penulis untuk dijadikan cerminan dan memompa semangat juang kawan-kawan seperjuangannya, agar tak kendur dalam melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi.

Seperti kisah ‘Bumi dan Cucu Kakek’. Betapa jelinya penulis memanfaatkan ruang atau momen acara pegawai KPK di car free day (CFD), saat mengadukan nasibnya ke sang Presiden, usai DPR berhasil mengamputasi lembaganya melalui revisi undang-undang.

Dalam potretnya, penulis mencoba membuat analogi bernada satire, antara nasib si kecil Bumi yang ikut berpanas-panasan mengikuti acara aksi damai perjuangan ayahnya bersama teman-teman kantornya membagikan bunga kepada warga Jakarta, dengan kehidupan mapan Cucu sang Presiden yang akhirnya pekannya diisi bermain di halaman istana yang indah dan megah. Bumi penulis analogikan sebagai simbol perjuangan generasi penerus bangsa yang siap menyongsongkan masa depan, sementara Cucu sang kakek sebagai simbol kemapanan, yang seolah tak peka dengan kehidupan rakyat jelata, hanya memikirkan kebahagian dirinya saja.

Lewat Bumi dan Cucu sang kakek, penulis ingin mencoba mengetuk pintu pemimpin negeri ini, dan memberi pesan bahwa korupsi di Indonesia masih merajalela yang dampaknya bisa sampai menggerogoti sampai ke Bumi dan Cucu nya. Sehingga sang pemimpin tak boleh setengah hati mendukung upaya pemberantasan korupsi, hanya sebatas beretorika tanpa ada tindakan yang nyata.

Kisah ‘Sukardal’ dalam buku ini juga tak kalah menarik untuk dibaca. Dalam tulisannya, penulis mencoba mereflesikan simbol perlawanan dari Sukardal. Seorang tukang becak yang memilih gantung diri di sebuah pintu rumah, usai becaknya disita aparat. Meskipun memilih mengakhiri hidupnya dengan tragis, namun sebelumnya simbol perlawanan ‘orang kecil’ ini telah melawan aparat yang telah menyita harta bendanya yang sangat berharga, dengan cara menulis sebuah pesan bernada protes di dinding tembok. ‘Saya gantung diri karena becak saya dibawa anjing Tribum’.

Sebagai bagian dari ‘orang kecil’ pemilik negeri ini, penulis ingin mengajak dirinya dan teman-temannya di KPK, berjuang sekuat tenaga melawan kekuatan oligarki yang merongrong negeri ini, yang kerap menyengsarakan rakyatnya melalui berbagai tindakan yang korup.

Sepertihalnya Sukardal yang telah melawan sekuat tenaga aparat yang menyita harta bendanya yang istimewa, meskipun akhirnya kalah dan memilih bunuh diri. Penulis ingin para pegawai lembaga antirasuah tak cengeng, ketika menghadapi berbagai serangan yang masif datang bertubi-tubi ingin membunuh KPK secara perlahan-lahan.

Tak hanya soal kisah ketimpangan sosial, kisah heroik juga ikut ditulis penulis dalam buku ini. Yang tak kalah penting, penulis juga menulis tentang kritikannya terhadap pihak pengawas internal lembaganya yang seolah tajam ke bawah tumpul ke atas. Hal ini penulis paparkan dalam kisah ‘Persoalan Etik, Tanggung Jawab Siapa?’. Penulis ingin persoalan etik di lingkungan pegawai lembaga antirasuah ditegakkan secara adil. Tidak hanya tegas kepada pegawai rendahan, seperti kisah petugas keamanan yang langsung dipecat karena kedapatan menerima ‘duit receh’ dari seorang kolega tersangka korupsi.

Menurut penulis banyak pelanggaran etika yang dilakukan oknum internal pegawai KPK yang mempunyai jabatan tinggi dan vital, namun tak jelas juntrungnya penanganannya. Terkadang, para oknum pegawai itu hanya dikembalikan ke instasi asalnya ketika sudah melakukan kesalahan yang fatal dan berbau pidana. Atau sering kali menjadi cerita pepesan kosong yang kerap tercium awak media, namun tak bisa mengemuka. Oleh karena itu, dalam kritikannya, penulis meminta agar pihak pengawas internal transparan membuka kasus pelanggaran etika apa saja yang tengah ditanganinya. Hal ini sebagai bentuk bentuk pertanggungjawaban ke publik, serta sebagai pembelajaran bagi insan KPK agar tak mengulangi kesalahan yang sama.

Masih banyak kisah-kisah menarik lain yang belum tertulis dalam buku ini. Namun sayangnya, karena keterbatasan jumlah halaman, maka penulis hanya bisa mengabadikan sedikit surat-surat elektronik di milis pegawai KPK ini untuk dibukukan, agar menjadi bahan perenungan.

Membaca buku ini seperti menemukan oase di tengah gurun. Bagi siapapun pegawai lembaga antirasuah, pegiat antikorupsi dan orang-orang yang peduli terhadap pemberantasan korupsi di negeri ini, jika membaca buku ini maka akan seperti dicubit penulis agar sadar dan bangun dari mimpi indahnya, untuk berani menghadapi kenyataan pahit bahwa koruptor tak tinggal diam dan akan menggerakan jaring-jaring penyelenggara negara untuk membalaskan dendam kesumatnya.

Judul      : THE E-MAIL: Mengeja Gelisah Merangkai Asa
Penulis   : Nanang Farid Syam
Penerbit : Binsar Hiras
Edisi.      : Pertama, November 2020
Tebal.     : 203 halaman
ISBN.     : 978-623-6679-22-7


Kisah KPK dan Perjuangan Pegawainya dalam Memberantas Korupsi