Fotografi yang Mempertanyakan Realitas

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Fotografi yang Mempertanyakan Realitas


Usaha untuk membekukan realitas yang tampak merupakan hal yang pada mulanya dilakukan oleh seni rupa. Apa yang dituangkan di atas medium seni rupa seperti kanvas memang bukan realitas itu sendiri, tetapi representasi yang membuat pelihatnya mampu membayangkan realitas dengan lebih jelas.

AMBIL contoh karya realisme Gustave Courbet yang berjudul The Stone Breakers (1849). Kita sebut lukisan tersebut sebagai representasi realitas karena keserupaannya dengan objek-objek yang bisa dikenali di dunia nyata.

Kehadiran teknologi kamera kemudian memunculkan praktik fotografi sebagai usaha membekukan realitas secara lebih apa adanya. Dengan teknologi yang memungkinkan untuk ”menyalin realitas”, pertanyaan kemudian muncul: apa artinya lukisan realisme jika keduanya sama-sama berupaya merepresentasikan realitas dengan semirip mungkin? Tidakkah dalam hal ini, kamera bisa melakukannya dengan lebih canggih?

Pertanyaan semacam itu sebenarnya pertanyaan klasik yang mungkin sudah ”selesai” dan tidak relevan lagi dipertanyakan. Melalui pameran fotografi Road to Bandung Photography Trienale dengan tema Welcome to the Machine, kita justru diajak untuk memasuki pertanyaan lain, yaitu: apa itu realitas? Apakah realitas adalah sebatas keserupaan dengan objek-objek yang dikenali seperti yang dilukiskan Courbet? Atau, realitas adalah juga seluruh kemungkinan imajinatif yang bisa dibayangkan?

Pertanyaan berikutnya yang diajukan oleh pameran yang berlangsung di tiga tempat di Bandung (Selasar Sunaryo Art Space, Orbital Dago, dan Ruang Dini) mulai 10 September hingga 10 Oktober lalu ini adalah terkait medium itu sendiri: jika kita menganggap kamera sebagai alat untuk memproduksi salinan realitas, lalu pernahkah kita mempertanyakan kamera sebagai realitas itu sendiri?

Menggugat Realitas

Saat melihat pameran Road to Bandung Photography Trienale, hal yang tebersit kali pertama adalah pertanyaan: realitas apa yang sedang direpresentasikan para fotografer ini? Sebagai contoh, karya Connecting to Happiness (2021) dari Iswanto Soerjanto akan sukar diidentifikasi sebagai karya fotografi jika masih menggunakan ”definisi lama”. Kita akan sulit melihat keserupaannya dengan objek apa pun yang kita kenali. Namun, saat membaca deskripsinya, kita akan paham bahwa Soerjanto sebenarnya tengah memotret sampah botol plastik yang digerakkan berkali-kali dengan bantuan refleksi sinar matahari yang terik.

Pada karya lain, misalnya karya 3rd Eye/ The New Dawn (2013) dari Piyatat Hemmatat, yang menjadi objek justru adalah lensa kamera itu sendiri. Dalam deskripsinya, disebutkan bahwa fotografer asal Thailand tersebut tengah mengabadikan lensa yang selama ini menjadi ”mata ketiga”-nya. Ia menyebut karyanya sebagai: ”perjalanan menuju semesta kecil yang tersembunyi di balik lensa fotografis.”

Bahkan, kalaupun kita berhasil menemukan foto yang cenderung representasional dalam pameran ini, misalnya karya Hari ”Pochang” Kresnadi yang menunjukkan figur manusia, tetap saja, meminjam istilah kurator Henrycus Napitsunargo, ini merupakan ”parodi gelap yang depresif” yang bisa dinikmati secara sensasi ataupun menjadi simbolisasi untuk mengarahkan kita pada sesuatu yang lain (Henrycus menyebutnya sebagai ”praktik komodifikasi di beberapa lembaga”). Namun, pada intinya, karya yang ditampilkan Hari tidak bisa dikatakan representasional dalam arti yang klasik.

Apakah ini artinya karya fotografi menjadi tidak bisa berbicara pada dirinya sendiri dan mesti dijelaskan melalui narasi kuratorial atau pernyataan estetis si fotografer? Jawabannya ya dan tidak. Narasi tentu mampu memberikan landasan pengetahuan yang membantu kita memahami karya, tetapi bisa jadi hanya terbatas di tataran kognisi.

Hal yang lebih menarik justru ini: karya fotografi ternyata punya potensi untuk menimbulkan sensasi, membuat kita fokus pada elemen-elemen estetisnya tanpa perlu menghubungkannya dengan realitas mana pun. Sensasi yang dimaksud di sini adalah meminjam ekspresi Gilles Deleuze dalam Logic of Sensation: ”suatu perasaan yang mengalir tidak melalui otak, tetapi langsung mengarah pada daging.”

Selain itu, dalam paradigma yang lebih kritis, mungkin para fotografer di pameran ini juga mulai menggugat: jika orang menemukan fotografi untuk membekukan realitas secara apa adanya dan ternyata realitas ”apa adanya” tersebut saat ini semakin wajar untuk dimanipulasi –taruhlah, lewat fenomena post-truth–, mesti ada redefinisi realitas yang menabrak batas-batas empiris.

Bukan artinya kembali ke manifesto surealisme yang menampilkan gambaran mimpi, otomatisasi, dan ketidaksadaran, melainkan lebih ke realitas yang tidak lagi sebatas yang ditangkap mata: realitas yang ditangkap oleh seluruh pengindraan –itu sebabnya, dalam karya Utami Dewi Godjali yang menggambarkan pengalaman kritis saat terkena Covid-19, ia tidak memotret tabung gas atau oksimeter, melainkan suatu visualisasi transenden yang diyakini tidak bertumpu pada pengalaman melihat saja, tetapi pengalaman merasai dengan segenap tubuhnya.

Merenungkan ”Kamera”

Kembali ke tema Welcome to the Machine yang diusung oleh pameran fotografi internasional ini, rupanya gagasan kuratorial tersebut berhasil memancing para fotografer untuk melakukan eksplorasi terhadap ”si mesin” atau kamera itu sendiri. Istilah ”kamera” bermetamorfosis sebagaimana kita menyebut ”televisi” tidak lagi sebagai benda kotak yang menampilkan gambar bergerak, melainkan keseluruhan konten visualnya.

Itu sebabnya, saat timbul pertanyaan: lantas, pada tingkat ini, apa bedanya karya fotografi dengan seni lukis ataupun seni grafis? Jawabannya kembali pada ”kamera” sebagai sebuah kata sifat, yaitu bahwa karya-karya ini dibuat dengan teknologi yang melibatkan elemen-elemen yang terdapat pada kamera (bisa sebagian atau keseluruhan) atau bisa juga terkait ”objek yang biasa dihadirkan oleh kamera”. Perubahan ini, secara lebih luas, bisa membawa kita pada renungan lain tentang mesin yang tidak lagi sebatas alat, melainkan suatu entitas yang ”hidup” dan dinamis. (*)

*) SYARIF MAULANA, Dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung


Fotografi yang Mempertanyakan Realitas