Elegi Sekeping Pagi

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Elegi Sekeping Pagi


Suatu pagi pada tahun 1967.

KAMU tahu bagaimana rasanya tidur dengan ketakutan bahwa ketika terlelap, kepalamu mungkin akan terpenggal?

Aliong mengetahuinya dengan pasti. Beberapa hari ini tidurnya tidak tenang. Namun malam itu lain, ia terjaga sampai pagi datang. Sampai kicauan burung mulai terdengar dan tumisan son mi dari istrinya mulai menguar memasuki hidungnya. Dengan perasaan melayang karena kekurangan tidur, Aliong beranjak dari kasurnya yang berderit malas dan berjalan menuju dapur kecil mereka.

”Met ma ai nyi? (Masak apa kamu?)” tanya Aliong kepada Amoy, istrinya yang sedang menumis sesuatu. Yang ditanya tak langsung menjawab. Ia melirik Aliong dengan lelah, ”chau fon (nasi goreng).”

Aliong berjalan sebentar ke pintu belakang, tempat ia menyimpan peralatan bertukangnya. Lantai kayu rumah mereka berderit-derit saat ia melangkah masuk dengan palu di tangannya. Butuh beberapa waktu bagi Amoy untuk sadar bahwa Aliong tengah membuka paku yang menancap di fondasi shin than. Melihat hal itu Amoy berteriak, meninggalkan kompornya dan berjalan ke arah Aliong.

”Met ma ay nyi, Liong? (Kamu ngapain, Liong?)”

”Lia tung si ta ha met sika si, Moy. (Barang ini bisa membuat kita mati, Moy.)”

Amoy mulai menangis sambil berusaha merebut palu dari tangan Aliong. Diam-diam, bawang putih yang sedang ia masak dari tadi telah menghitam dan mengeluarkan bau tak sedap.

*

Setiap benda mati, selaiknya benda hidup, mempunyai sejarahnya sendiri. Itulah yang diajarkan ibu Amoy padanya. Begitu pula dengan shin than yang berada di rumah kecil mereka.

Sebulan setelah Amoy mengalami keguguran anak pertamanya, kedua orang tua Amoy serta ketiga kokonya datang menghampiri kediaman mereka sambil membawa sesuatu dalam bungkusan koran. ”Ngai ten ti nyi sin kon an kiuk. Sika thai lia ting su pun nyi lau Aliong. (Kami tahu perasaanmu sedang sedih. Makanya kami bawa ini untuk kamu dan Aliong.)”

Ketika bungkusan koran itu dibuka barulah Amoy sadar bahwa keluarga membawa shin than untuknya. Bilah papan bercat merah itu terdiam sesaat sambil keluarga mereka menyantap camilan yang disediakan suami istri muda itu, sementara mereka semua menunggu loya datang untuk ”membersihkan” rumah mereka dan melakukan upacara sebelum shin than itu bisa mereka pasang.

Rumah itu belum lama mereka tempati karena mereka harus mengungsi beberapa waktu lalu. Amoy sebenarnya merasa sedih karena harus meninggalkan rumah lamanya, terlebih di rumah inilah ia mengalami pendarahan dan dukun beranak harus menguret dirinya. Merampas buah cintanya bahkan sebelum sempat ia petik.

Setelah upacara selesai dan matahari berusaha kembali ke peraduannya, Amoy terpaku menatap shin than yang sudah terpasang di rumahnya dengan jemawa. Amoy meletakkan hio dan memberikan persembahan ke sana. Sembari berdoa kepada Thi Kong agar kebahagiaan kiranya kembali diberikan kepada keluarga kecil mereka.

Malam itu Aliong dan Amoy kembali melakukan hubungan badan.

Tiga minggu setelahnya, rahim Amoy kembali diberkati oleh Thi Kong.

*

Salah satu fondasi shin than itu mulai goyah, namun masih cukup kuat menahan beban persembahan di atasnya agar tidak jatuh. Tidak seperti air mata di pipi Amoy yang mulai terjatuh ringkih.

”Emo a’ Liong, mo met fai ka shin than a’ (Jangan Liong, jangan dirusak shin than-nya),” isak Amoy sambil berusaha melepaskan palu dari tangan Aliong.

”Eng hiao ya, Moy. Ta ha kim chat bei loi met sika si a’. Nyi mo khon ma ngai lo thai si mang con? (Tidak bisa, Moy. Nanti tentara itu bakal datang membunuh kita. Kamu tidak lihat adik aku belum pulang?)”

Aliong menyentak tangannya keras. Membuat Amoy jatuh terduduk. Melihat hal tersebut Aliong langsung dengan sigap memegang kepala dan perut Amoy. Tempat anaknya yang belum juga merasakan hidup tengah bersemayam, ”Nyi em pha ma? (Kamu tidak apa-apa?)”

Amoy hanya menjawab dengan isakan, ”Ngai an kiang a, Liong (Aku takut, Liong),” ujarnya putus asa, ”sika mo met ma ai tungsi ce mai gi ten an boi bui si? (kita tidak melakukan apa-apa, tapi kenapa mereka membenci kita?”

Lelaki itu hanya dapat terdiam mendengar pertanyaan retoris istrinya. Diletakkan palunya sejenak. Ia merengkuh istrinya yang tengah menangis sambil tersedu-sedu di bawah shin than. Aliong menenangkan terus istrinya sampai asap keluar dari penggorengan istrinya yang sedari tadi belum Amoy matikan. Tersadar akan hal itu Aliong bangun dengan sigap untuk mematikan api. Cukup shin than-nya yang kau lenyapkan, Aliong, pikirnya dalam hati. Jangan lantas rumah ini malah jadi terbakar.

*

Pada suatu waktu yang kelabu, Athung, adiknya, berkata padanya, ”Liong Ko, ngai oi cew then siu gi ten perbatasan Serawak kai. (Bang Liong, saya mau pergi bantu mereka di perbatasan Serawak sana.)”

Aliong hanya menghela napas. Adiknya lahir tepat pada saat kemerdekaan Indonesia. Dalam benaknya mungkin itulah yang menyebabkan Athung sangat berjiwa nasionalis. Ia teringat saat siaran radio dengan rekaman suara Presiden Soekarno terdengar membacakan proklamasi, jerit tangis adik satu-satunya itu pecah membahana mengalahkan suara Pak Soekarno.

Sudah berkali-kali Athung ingin mendaftar menjadi tentara Indonesia, namun mata sipitnya menghalangi jalannya. Maka ketika rekan-rekan main Athung yang sesama bermata sipit tergerak untuk membela Indonesia dalam kelompok yang mereka sebut Paraku, Athung pamit.

Dengan berat Aliong melepas adiknya untuk pergi menjadi relawan menjaga perbatasan Indonesia agar tidak dikuasai neokolonialisme Inggris di Negara Malaysia. Athung bahkan belum berumur 18 tahun kala itu. Entah apa yang akan dikatakan orang tuanya di surga kelak melihat kebodohan Aliong melepas Athung pergi.

Masalahnya adalah sudah lima tahun Athung pergi dan belum juga kembali. Dua tahun sebelumnya para keturunan Tionghoa di Pulau Jawa mulai dibantai atas tuduhan komunis. Aliong dan Amoy pun mengungsi semakin masuk ke dalam hutan di Singkawang. Mungkin itu jugalah yang membuat Amoy mengalami keguguran. Walau sejujurnya Aliong sangat takut mempunyai anak di masa sekarang. Mengingat para keturunan bermata sipit sepertinya tidak akan mempunyai masa depan di negeri ini.

Setelah menetap selama hampir dua tahun di rumahnya sekarang, Aliong mendapat setitik titik cerah dalam kehidupannya. Ia dan Amoy mulai bisa bercocok tanam serta berkebun. Bahkan sekarang Amoy tengah mengandung anaknya setelah mengalami keguguran sebelumnya.

Seminggu lalu salah satu relawan yang pergi bersama Athung tiba-tiba datang. Ia kabur karena anggota Paraku mulai difitnah oleh tentara Indonesia. Ia pun mengabarkan bahwa Athung telah terbunuh oleh tentara karena ia dituduh berkhianat dan sekarang mereka tengah mencari keluarga Athung. Aliong tak habis pikir mengapa adiknya yang mengorbankan masa mudanya untuk membantu tentara malah terbunuh oleh mereka.

Aliong tidak paham, yang Aliong pahami adalah ia harus menjaga Amoy dan anak mereka yang belum lahir. Ia bahkan tidak memberi tahu Amoy soal kabar ini. Ia takut kalau-kalau kekhawatiran ini akan membuat kandungan Amoy semakin melemah. Walaupun ia tidak tahu sampai kapan ia sanggup menyembunyikan ini dari istrinya.

*

Di meja makan, Aliong akhirnya menceritakan perihal kematian Athung.

”Nyi phien ngai ma? (Kamu bohong?)”

”Ce mai ngai phien nyi na, Moy? Ngai lo thai si het lia. Asa sika han jiu kei shin than, ke kim chat bei khon sika, Moy. Sika thong nyin si eng hiao met ma ai tung si bo. (Untuk apa aku berbohong, Moy? Adikku sudah mati. Kalau kita masih punya shin than itu para tentara bisa lihat. Kita orang Tionghoa tidak punya banyak pilihan soal itu.)”

”Asa nyi met fai ke shin than, thi kong bei at, Liong. Sika nak si bei si. (Kalau kamu rusak shin than itu, dewa akan marah, Liong. Anak kita bisa meninggal lagi.)”

”Asa ke shin than han kia bui, sika bei si a, Moy. Sika! Nye nak si eng hiao chut se’a (Kalau shin than itu masih di sana, kita yang akan mati, Moy. Kita! Anak kamu bahkan tidak bisa dilahirkan),” tidak ada kemarahan dalam nada bicara Aliong saat mengatakan ini. Hanya keputusasaan yang beresonansi di dalamnya.

Nasi dingin yang berada di tengah mereka tampak mulai mengeras. Amoy dan Aliong hanya dapat terdiam dengan pikiran masing-masing. Shin than di belakang mereka seakan lancang menertawai perdebatan mereka, padahal nasibnyalah yang sedang dipertaruhkan.

”Ngai hi Athung phen jiu kai ngai oi mun gi, ta ha ngai con sika hi nyi apak kai, nyi hiau chut se ka bui (Aku pergi ke rumah teman Athung sebentar untuk menanyakan sesuatu, pulangnya nanti kamu aku antar ke rumah orang tuamu dulu untuk mengungsi sampai anak kita lahir),” ujar Aliong memecah keheningan.

”Ho, cuma mo met fai ke shin than, Liong. Ngai han oi piong hio. Jit pien, Liong, jit pien ti’a (Baiklah, tapi jangan rusak dulu shin than-nya, Liong. Aku ingin menaruh dupa di sana. Sekali saja, Liong, sekali saja),” pinta Amoy dengan sangat.

Aliong berjalan ke arah istrinya dan memeluknya yang tengah duduk di bangku ruang makan, ”ho (baiklah),” ujarnya tenang.

Untuk sesaat Amoy merasakan kedamaian merasuk ke dalam tubuhnya. Sejenak ia berharap waktu dapat berhenti agar hanya perasaan ini yang ia ingat di hidupnya.

”Nyi mang sit fon’s, Liong. Ngai chien chun pun nyi’a? (Kamu belum makan kan, Liong. Aku gorengkan telur ya?)”

Aliong mengangguk. Kemudian beranjak pergi diikuti oleh Amoy di belakangnya, ”ngai eng kiu ha. (saya pergi tidak lama.)”

”Ho ho’a (Hati-hati),” jawab Amoy tanpa dapat menyembunyikan kecemasan di suaranya.

”Ingat jika ada yang ke sini, siapa kamu punya nama?” tanya Aliong perlahan sambil menatap masa Amoy lekat-lekat.

”Wati, nama aku Wati.”

”Dan suamimu?”

”Suami saya punya nama Joko.”

Dengan begitu Wati melihat suaminya pergi. Ia terus berada di pintu sambil melihat punggung Joko yang menjauh. Ketika Wati akhirnya menutup pintu, Joko membalikkan badannya, namun hanya pintu tertutup yang ia lihat.

Diam-diam, Wati seharusnya tersadar ia lebih tekun dalam harapnya untuk menghentikan waktu sejenak saat suaminya memeluknya tadi. Dengan begitu, tangan-tangan takdir mungkin tidak akan sedemikian kejam memainkan perannya.

*

Wati terus memasak. Tangannya menggoreng telur dan membaliknya dengan cepat. Ia tahu Joko pasti lapar dan masakannya harus sudah siap sebelum suaminya pulang ke rumah.

Ia menaruh telurnya ke dalam piring saat ia mendengar suara angin berdesing masuk ke dalam dapurnya. Dipandanginya dinding kayu di rumahnya dengan perasaan tidak nyaman. Seekor kupu-kupu tampak terbang masuk melalui jendela dapur dan hinggap di kusennya.

Ia beranjak ke arah shin than dan mulai membakar hio. Namun entah mengapa tiga gelas yang biasa ia isi arak di dalamnya mulai berubah posisinya. Tangan Wati berusaha terjulur mengambil abu bekas hio saat ia merasakan sakit di perutnya dan darah mulai mengalir di antara kakinya. Ia pun terjatuh dengan pelan.

Wati berusaha tidak panik, walaupun ia tahu bayinya tidak baik-baik saja. Ia memanggil nama suaminya perlahan. Ia mulai mencium bau amis darah. Ketika suara erangannya mulai terdengar tanpa terkontrol, dalam keputusasaan ia kembali memanggil nama suaminya.

”Aliong…”

Joko terus berjalan. Kakinya melangkah ringan sambil sesekali menendang kerikil. Ia tahu perutnya lapar dan ia tak sabar untuk memakan sarapannya yang sedang dimasak oleh Wati.

Ia menatap hutan di sekelilingnya dengan saksama saat ia mendengar suara angin berdesing di antara pepohonan. Dipandanginya hutan kayu di sekelilingnya dengan perasaan tidak nyaman. Seekor kupu-kupu tampak terbang keluar dari dalam hutan tersebut dan hinggap di kakinya.

Ia beranjak terus untuk segera sampai di jalan besar. Namun entah mengapa ada tiga bercak darah di jalan yang ia lalui. Ia pun menghampirinya dan berlutut. Tangan Joko berusaha terjulur mengecek bekas darah saat ia merasakan pukulan di kepalanya dan darah mulai mengalir di pipinya. Ia pun terjatuh dengan keras.

Joko berusaha tidak panik, walaupun ia tahu ada orang lain di belakangnya. Ia memanggil nama istrinya perlahan. Ia mulai mencium bau amis darah dan suara laki-laki di belakangnya mulai berteriak sambil terbahak. Dalam keputusasaan Joko kembali memanggil nama istrinya.

”Amoy…”

Diam-diam, sepasang kupu-kupu terbang dan hinggap di shin than. (*)

*) AWI CHIN, Penulis dan novelis dengan karya debut Yang Tak Kunjung Usai


Elegi Sekeping Pagi