Distribusi Pengujian Obat Covid-19 Harus Dijelaskan

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Distribusi Pengujian Obat Covid-19 Harus Dijelaskan


SEBELUMNYA saya apresiasi uji klinis yang dilakukan Unair untuk menguji calon obat Covid-19. Sebab, ini sebuah proses pembuktian terhadap apa yang sebelumnya pernah mereka publikasikan.

Beberapa bulan lalu civitas Unair memublikasikan ada lima rejimen yang bisa menjadi obat Covid-19.

Setelah itu, disarankan untuk melakukan uji klinis. Sebetulnya proses tersebut sudah benar. Protokol untuk pelaksanaan uji klinis juga sudah disetujui BPOM dan komite etik. Dengan demikian, proses uji klinis bisa dijalankan.

Tetapi, kemudian saya melihat hasil uji klinis yang disampaikan secara terbuka ke publik. Kita tidak tahu prosesnya seperti apa. Setelah melihat edaran hasil uji klinisnya, saya lihat ada beberapa yang kurang sinkron. Misalnya, bagian paparan uji rejimen. Unair menjelaskan, protokol yang dilakukan untuk uji klinis ada tiga rejimen. Tetapi, sampai di hasil penelitian, kolomnya ada lima. Jadi, ini tiga atau lima rejimen yang diuji. Ini adalah kelemahan atau bolong yang seharusnya tidak terjadi. Tim yang melakukan uji klinis atau menyusun dokumen harusnya cermat.

Baca juga: Kemenristek Tegaskan Belum Ada Obat yang Dapat Sembuhkan Covid-19

Kemudian, di dalam laporannya dikatakan bahwa pengujian dilakukan pada pasien kategori ringan, sedang, dan berat. Tetapi, tidak ada informasi distribusi untuk masing-masing kategori itu seperti apa. Distribusi untuk masing-masing kategori itu penting. Sebab, nantinya berpengaruh pada hasil.

Harusnya distribusi pengujian untuk setiap tingkat keparahan itu dijelaskan dan merata. Sehingga bisa equal dan matching. Tidak berarti pengujian hanya dilakukan pada kelompok A yang itu isinya pasien ringan-ringan saja. Atau ke kelompok pasien B yang isinya berat-berat semua. Intinya, tidak ada penjelasan seperti itu.

Ada dugaan uji klinis itu digunakan banyak untuk orang tanpa gejala (OTG) atau pasien dengan kondisi ringan-ringan. Contohnya adalah pasien di klaster Secapa. Seperti diketahui, klaster Secapa berisi banyak pasien dengan kondisi ringan, bahkan OTG. Sehingga, ada kesimpulan hasil PCR tiga hari kemudian negatif semua. Pengujian terhadap pasien kondisi berat ke mana? Berarti, ini tidak sesuai dengan desain awal.

Apakah catatan yang muncul itu karena timnya terburu-buru atau memang kurang cermat. Sayangnya juga, hasilnya dipublikasikan dahulu. Sehingga menimbulkan pertanyaan di publik. Dokumen yang disampaikan ke BPOM untuk proses mendapatkan izin edar harus berupa laporan lengkap. Namun, dokumen yang disampaikan ke publik tidak lengkap. Jadi, jelas sudah terjadi kesalahan yang fatal. Ini menimbulkan pertanyaan lain di masyarakat. Tetapi, saya tetap berprasangka baik.

Baca juga: Lusa Tim Unair Presentasikan Obat Covid-19 di BPOM

Kombinasi atau rejimen obat yang diuji klinis oleh Unair ada tiga. Yaitu, kombinasi lopinavir/ritonavir dan azitromisin, lopinavir/ritonavir dan doksisiklin, serta hidroksiklorokuin dan azitromisin. Sebetulnya obat-obat itu bukan obat baru. Jadi, kurang tepat jika dikatakan menemukan obat baru. Obat-obat itu sudah lama beredar di pasaran.

Lopinavir/ritonavir itu untuk HIV. Kemudian, saat dulu muncul penyakit SARS, juga pernah dipakai. Tetapi, sekarang terbukti tidak efektif untuk Covid-19.

Terkait dengan keputusan revisi dari BPOM terhadap dokumen yang diajukan Unair, revisinya tentu bergantung dari kekurangannya di mana saja. Katakanlah misalnya ada critical finding karena tidak melibatkan pasien Covid-19 dengan kondisi sedang dan berat, tentu harus menambah pasien untuk uji klinis lagi. Atau bisa jadi data analisisnya saja yang harus direvisi. Pada intinya, tim di BPOM sangat teliti.

Covid-19 ini adalah penyakit baru. Jadi, obat yang diuji sampai saat ini bersifat trial and error. Untuk itu, riset obat menggunakan obat yang sudah ada. Kemudian, dikombinasikan dengan obat-obat lainnya. Cara seperti ini, yaitu menggunakan obat yang sudah beredar, baik juga. Tinggal cara melakukan pengujiannya secara benar. Kalau benar-benar menggunakan obat dengan formula yang benar-benar baru, dibutuhkan waktu tahunan. Bahkan sampai puluhan tahun.

Baca juga: Unair Temukan Obat Covid-19

Riset yang dilakukan Unair bersama TNI-AD dan BIN itu lebih pada obat untuk membunuh virus atau antivirus. Berbeda lagi dengan riset yang dilakukan LIPI bersama sejumlah lembaga dengan penelitian imunomodulator. Seperti diketahui, proses uji klinis imunomodulator LIPI sudah selesai dengan menggunakan subjek pasien di Wisma Atlet.

Imunomodulator itu juga obat. Tetapi, fungsinya lebih pada penguat atau pengatur sistem imun dalam tubuh. Covid-19 ini adalah penyakit infeksi. Yang sejatinya bisa ditangani oleh sistem imun di tubuh manusia. Makanya, ada orang positif Covid-19 yang sembuh dengan sendirinya.

*)  Guru besar farmakologi dan farmasi klinis UGM

**) Disarikan dari hasil wawancara dengan wartawan Jawa Pos M. Hilmi Setiawan


Distribusi Pengujian Obat Covid-19 Harus Dijelaskan