Nasionalisme Antikorupsi

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Nasionalisme Antikorupsi


JIKA nasionalisme itu diartikan sebagai sikap cinta tanah air, bela negara, atau diksi lain yang sepadan dengan itu, maka perilaku korupsi tentu bertentangan dengan nasionalisme atau nilai yang dianut dalam nasionalisme.

Tidak ada praktik korupsi dengan dalih dan retorika apapun yang sejalan dengan nasionalisme. Sebaliknya, ia menginjak-injak nasionalisme, karena tidak saja mempermalukan diri sendiri dan keluarga, tapi juga menyengsarakan rakyat dan mempermalukan negara dan bangsa di mata dunia, siapapun pelakunya.

Sudah 21 tahun sejak UU No 31 Tahun 1999 beserta perubahannya UU No 20 Tahun 2001 diberlakukan, 17 tahun KPK dibentuk melalui UU No 30 Tahun 2002, pembaharuan hukum pidana dilakukan dengan memasukan korupsi sebagai delik khusus, konvensi internasional antikorupsi (UNCAC) telah kita ratifikasi melalui UU No 7 Tahun 2006, mestinya korupsi bisa kita tekan seminimal mungkin.

Rakyat sudah bisa menikmati buah manis reformasi yang ditanam pada 21 Mei 1998 silam, saat Orde Baru runtuh. Tapi faktanya lain, praktik korupsi masih menjadi musuh utama bangsa hingga saat ini. Memberi efek domino pada pelanggaran hak-hak dasar rakyat lainnya. Menjadi mitos yang membelenggu kita selama bertahun-tahun, seakan korupsi di negara ini menjadi kutukan yang tidak akan hilang, siapapun pemimpinnya.

Meski ada peningkatan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) beberapa tahun terakhir, namun praktik korupsi masih terjadi secara terstruktur, sistematif dan massif pada beberapa sektor, mulai politik, birokrasi, termasuk penegak hukum.

Sektor Politik

Sektor politik paling disorot karena konsisten memuncaki daftar penyumbang pelaku berdasarkan laporan penindakan KPK tiap tahun dan survey masyarakat sipil sebagai praktik korupsi politik (political corruption). Pada 2018, ada 103 pelaku tipikor yang berasal dari anggota DPR/DPRD Prop/Kab/Kota. Pada 2019, turun menjadi 10 kasus. Belum dihitung aktor politik dari kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) usungan parpol. 3 Gubernur terjerat TPK dalam rentang 2018 dan 2019, dan empat puluh delapan kasus TPK menjerat Bupati/Walikota atau wakilnya pada rentang waktu yang sama. Jika mengkalkulasi ongkos Pilkada, berapa kerugian materil dan immateril yang diderita? Suara rakyat juga terbuang sia-sia, terbuai harapan dan janji palsu figur yang mengkhianatinya.

Tidak saja kadernya, korupsi politik bahkan telah menjerat lima ketua umum parpol; Anas Urbaningrum (Demokrat/Hambalang), Setya Novanto (Golkar/e-KTP), Suryadharma Ali (PPP/Dana Haji), Luthfi Hasan Ishak (LHI/Impor Daging Sapi), dan Romahurmuzy (PPP/Suap Lelang Jabatan Kemenag). Di negara tetangga kita, Malaysia, korupsi politik telah melengserkan seorang Tun Najib Razak dari kursi Perdana Menteri. Sementaera di dalam negeri, korupsi politik yang menjerat komisioner KPU Wahyu Setiawan nyaris memenangkan asumsi hasil pemilu 2019 “unlegitimate”, betapa mengerikannya!.

Korupsi politik menurut Hoddes dalam Global Corruption Report yang diterbitkan Transparency International (2004), sebagai praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin politik dengan mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan serta untuk keuntungan pribadi. Dampak korupsi politik sangatlah luas, seperti diulas Artidjo (2009), analisa terhadap kasus korupsi politik di berbagai negara menunjukkan jika korupsi semacam ini memiliki dampak yang luas dibandingkan korupsi yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Makanya rumusan delik dalam UU Tipikor menyasar penyelenggara negara, karena kuasa mengelola negara ada di tangan mereka.

Daya rusak korupsi politik sangat dahsyat, karena berwujud rupa sebuah pemufakatan jahat oleh orang-orang yang diberikan kuasa untuk mengelola negara. Ironisnya, mereka ini adalah orang-orang yang diberi mandat dari rakyat melalui pemilu. Sehingga benar apa yang dikatakan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku “How Democracies Die”, bahwa matinya demokrasi tidak hanya disebabkan perang dan otoritarianisme, tapi juga oleh hal lain. Penyebab yang lain itu adalah sistem yang bekerja seolah-olah demokratis, tapi justru menghancurkan demokrasi itu sendiri. Pemilihan umum yang melahirkan apa yang mereka sebut sebagai “elected autocrats” (para autokrat terpilih) adalah aktor utama penghancuran demokrasi. “Dewasa ini kemunduran demokrasi dimulai dari kotak suara,” kata mereka.

Politik yang berjalan hari ini adalah politik yang mematikan demokrasi itu. Bagaimana menjelaskan klaim demokrasi dan antikorupsi terhadap sebuah RUU yang ditolak luas oleh rakyat; revisi UU KPK, RUU Minerba dan RUU Cipta Kerja?, bagaimana praktik politik hari ini bertanggungjawab terhadap semakin massif dan beringasnya laku korupsi di kemudian hari akibat KPK-nya digergaji? Tidak bisa disangkal lagi jika politik hari ini adalah politik yang memukul mundur demokrasi dan pemberantasan korupsi.

Baca juga: Robohnya Pengadilan Kami

Penegak Hukum

Pada beberapa kasus, penegakan hukum juga mewarisi mentalitas yang sama, mentalitas koruptif. Keterlibatan beberapa oknum penegak hukum dalam drama pelarian buronan BLBI dan Bank Bali, Djoko Tjandra (DT), menunjukan mentalitas koruptif itu. Andai publik tidak meributkan KTP DT mungkin penegak hukum tidak bergerak mengusut. Jika saja penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan tidak direspons luas publik, mungkin ‘pelaku’nya tidak tertangkap. Mengapa selalu harus menunggu rakyat teriak baru bergerak mengusut?.

Korupsi penegakan hukum adalah siklus korupsi yang berputar pada lingkaran setan (vicious cycle) yang dimulai dari tahapan penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga vonis ke pengadilan (tipikor). Mentalitas dan integritas yang rendah, bertemu dengan kewenangan besar, melahirkan penyalahgunaan wewenang yang massif. Penegakan hukum sering dilihat tidak berjalan diatas rel objektivitas, tapi subjektivitas, ditambah dengan kolusi dan nepotisme, jadilah korupsi.

Kepentingan lebih dominan ketimbang kebenaran dan keadilan. Banyak ditemui, penyelidikan dan penyidikan yang melanggar KUHAP, termasuk pemerasan yang dilakukan oknum Apgakum terhadap saksi dan (calon) tersangka saat pemeriksaan, penuntutan yang tidak sebanding dengan beratnya ancaman pidana, serta putusan yang jauh dari rasa keadilan karena telah disusupi korupsi (suap), adalah realita hukum kekinian yang tidak terbantahkan.

Melihat praktik demikian, apakah masih penting nasionalisme dikumandangkan saat menyelenggarakan ritual peringatan kemerdekaan?. Nasionalisme sebagai jiwa, atau sebatas retorika pemanis pidato! Sudah saatnya praktik politik menunjukan laku dan adab politik yang antikorupsi, praktik penegakan hukum yang lurus dan berkeadilan, bukan laku jahiliyah yang mengorupsi hak-hak rakyat, menggergaji kemanusiaan.

Saksikan video menarik berikut ini:


Nasionalisme Antikorupsi