Cerita Artika Rachmi, Warga Surabaya yang Jalani Masa Pandemi di Eropa

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Cerita Artika Rachmi, Warga Surabaya yang Jalani Masa Pandemi di Eropa


Menjalani kehidupan di tengah kondisi pandemi tidaklah mudah. Apalagi ketika merantau di negeri orang. Seperti apa? Berikut kisah salah seorang warga yang merasakan pengalaman pandemi di negeri nun jauh.

SHABRINA PARAMACITRA, Jawa Pos

ARTIKA Rachmi Farmita segera duduk di kursi sebuah kafe di Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya, Minggu siang (6/12). Napasnya terengah-engah. Dia kelelahan mengayuh sepeda dari rumahnya di kawasan Benowo. Dia melepas masker yang sejak tadi menutupi sebagian wajahnya. ”Capek banget. Huh,” katanya seraya mengembuskan napas dengan agak kencang.

Gowes dengan hidung dan mulut yang tertutup masker membuat tarikan dan embusan napasnya sedikit berat. Maklum, baru sebulan Artika tinggal di Surabaya lagi. Dia masih beradaptasi dengan kebiasaan warga Indonesia yang harus selalu pakai masker ke mana-mana. Selama dua tahun tinggal di Stockholm, ibu kota Swedia, dia tak pernah menggunakan masker. Pun ketika pandemi Covid-19 melanda Benua Biru itu.

Studi Media Management di KTH Royal Institute of Technology yang ditempuh Artika saat ini belum selesai. Namun sejak Oktober 2020, dia harus kembali ke Indonesia karena izin tinggalnya habis. Karena itu, dia akan menjalani ujian tesisnya secara online. Pulang pada saat pandemi membuat mantan jurnalis itu menemukan banyak perbedaan kebiasaan antara masyarakat di Stockholm dan di Surabaya.

Satu hal yang paling mencolok adalah perkara masker. Di Swedia, sangat jarang orang memakai masker. Pemerintah di sana tidak mewajibkan warganya memakai masker.

Artika bercerita, di jalanan di berbagai kota di Swedia, hanya sebagian kecil orang yang memakai masker. Kalaupun ada, itu hanya dilakukan oleh imigran-imigran Asia, terutama yang berasal dari Tiongkok dan negara-negara di Jazirah Arab.

Meski tidak memakai masker, orang-orang di Swedia rata-rata sudah terbiasa menjaga jarak. Setiap orang terbiasa duduk berjauhan. Sangat jarang misalnya, orang-orang menunggu di halte bus dengan duduk berdempetan. Mereka selalu berusaha menjaga jarak sekitar 1,5 meter, duduk di ujung kanan dan kiri kursi halte.

Jika kursi di halte hanya cukup untuk diduduki dua orang, orang-orang berikutnya yang datang ke halte lebih memilih berdiri daripada duduk di tengah dua orang yang duduk di kursi.

Masyarakat di sana cenderung individual, tak seperti warga Indonesia yang cenderung terbiasa bergaul secara komunal. Beruntung, Artika bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan di sana.

”Aku mengalami shock culture ketika awal datang ke Stockholm dua tahun lalu. Nah pas pandemi, tidak ada perubahan berarti karena masing-masing orang pada dasarnya memang berusaha menjaga ruang privasi mereka,” imbuh Artika.

Kini dia sudah tak lagi ngos-ngosan. Salad yang dibawakan pramusaji beberapa menit yang lalu mulai dilahapnya perlahan.

Para epidemiolog dan akademisi Swedia sempat mengimbau pemerintah untuk mewajibkan penggunaan masker. Namun, hingga saat ini pemerintah negara Skandinavia itu masih gamang. Belum ada kebijakan khusus terkait kewajiban tersebut.

Selain tergolong longgar soal masker, pemerintah Swedia juga tidak menerapkan lockdown. Masyarakat bebas pergi ke mana pun tanpa larangan ke luar rumah. Hal tersebut cukup melegakan bagi Artika yang saat itu kali pertama pergi merantau. Meski pemerintah Swedia tidak melakukan restriksi, Artika dan kawan-kawannya saat itu berinisiatif untuk membatasi pertemuan-pertemuan.

Artika juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan dasar di sana. Tisu toilet dan bahan makanan sempat sulit didapatkan. Tempe pun sulit ditemukan di toko-toko Asia di kota tersebut. ”Aku sempat ngobrol sama pemilik toko di sana. Katanya, impor bahan makanan memang sulit pas itu karena kan penerbangan pesawat ikut terdampak pandemi,” ujarnya.

Seiring berjalannya waktu, pasokan kebutuhan dasar mulai tersedia lagi di toko. Artika lega. Sebab, bukan hanya bahan makanan Asia seperti tempe, tahu, dan rempah-rempah yang sulit didapatkan di sana.

Pasta yang notabene makanan pokok orang Eropa pun ikut ludes dari etalase minimarket dan supermarket di Stockholm. Artinya, yang melakukan panic buying bukan saja imigran Asia, melainkan juga warga setempat.

Untuk menjaga daya tahan tubuh, Artika rajin beraktivitas di luar apartemennya. Masyarakat Stockholm pun terbiasa berolahraga. Mereka sering jalan-jalan, berlari, atau bersepeda. Kebanyakan dilakukan seorang diri. Jika pun dilakukan secara kolektif, biasanya hanya sedikit anggotanya, dua atau tiga orang. Artika lebih suka bersepeda bersama teman-temannya sesama orang Indonesia atau bersama imigran dari negara lain. Mereka bersepeda hingga ke luar kota, melewati pinggiran danau, bahkan menembus lebatnya hutan.

Ada sebuah pepatah yang terkenal di kalangan warga Swedia yang mengatakan, ”There is no bad weather. Only bad clothes”. Artinya, tidak ada cuaca jelek. Hanya baju yang jelek. ”Jadi, cuaca apa pun, kondisi apa pun, tetap berolahraga, tetap beraktivitas. Pandemi sekalipun. Mungkin ini yang bikin pemerintah di sana enggak menerapkan lockdown,” ujar Artika sambil mengunyah salad yang dipesannya. Sayur dan buah yang tersaji di piring itu tinggal sisa sedikit.

Menurut dia, kelonggaran kebijakan di Swedia tidak lantas bisa ditiru di Indonesia. Dengan populasi yang lebih padat, ditambah kebiasaan nonggo, ngopi, dan kongko yang sejak lama mendarah daging, tentu tidak tepat jika masyarakat tidak memakai masker dan tidak menjaga jarak. Apalagi, menurut Artika, kegemaran berolahraga masyarakat Swedia dan Indonesia jauh berbeda.

”Yo nek nang Suroboyo sih, nang ndi-ndi yo kudu maskeran, Rek. Nek gak, lak ngeri dhewe (ya kalau di sini sih, ke mana-mana harus pakai masker. Kalau tidak, ya mengerikan,” pungkas Artika sambil menyandarkan bahunya ke kursi. Piring di atas meja di hadapannya itu kini kosong. Saladnya sudah habis. 

Saksikan video menarik berikut ini:


Cerita Artika Rachmi, Warga Surabaya yang Jalani Masa Pandemi di Eropa