Terpisah Delapan Bulan, Fatih dan Ikbal Ingin Belajar di Kelas

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Terpisah Delapan Bulan, Fatih dan Ikbal Ingin Belajar di Kelas


Sejak pertengahan Maret, seluruh murid di Surabaya belajar dari rumah. Sebab, virus korona kala itu tengah mengamuk. Kini persebaran virus asal Tiongkok tersebut sudah melandai. Harapan siswa untuk mengenyam pendidikan di sekolah kembali terbuka.

ARISKI PRASETYO, Jawa Pos

PAGI itu (25/11), Sutarwiyah terlihat sibuk. Dari depan ruang kerjanya, dia mengamati ratusan siswa yang sedang duduk berderet memanjang di lapangan sekolah. Sesekali, Kepala SMPN 62 Gunung Anyar itu mengecek barisan. Memastikan seluruh murid sudah tiba.

Tempat duduk siswa tidak rapat. Ada jarak pemisah. Panjangnya lumayan, 1,5 meter hingga 2 meter. Untuk sekadar bertegur sapa, antarsiswa harus berbicara lantang. Terlebih wajah para pelajar itu tertutup masker.

Ruang kosong tersebut sengaja dirancang sekolah. Tujuannya bukan untuk melarang murid berinteraksi. Tidak pula menciptakan persaingan antarpelajar. Namun, kondisi itu memang diciptakan sebagai upaya antisipasi.

Ya, virus korona memang belum sepenuhnya hilang. Namun, pemkot mulai berhasil meredam Covid-19. Sebagai langkah preventif, disiplin harus ditegakkan. Salah satunya menjaga jarak.

Setelah memastikan barisan rapi dan seluruh siswa datang, Sutarwiyah melangkah ke halaman belakang sekolah. Mengecek tempat pengujian kesehatan. Terlihat dua petugas dinas kesehatan (dinkes) yang sudah mengenakan pakaian hazmat lengkap.

Selang beberapa menit, kegiatan pun berjalan. Uji usap masal berlangsung untuk seluruh siswa kelas IX. Total 116 pelajar mengikuti tes kesehatan itu. Untuk mencegah kerumunan, pihak sekolah membuat jadwal. Ada dua gelombang pengujian. Yakni, pukul 08.00−09.00 berlanjut pukul 10.00 hingga 11.00.

Fatih Ahsan Khairil dan Ikbal Nasrulloh berada di satu gelombang uji usap. Keduanya merupakan teman satu sekolah. Kerap bermain bersama ketika berada di sekolah. Meski, dua pelajar itu berbeda kelas. Fatih duduk di kelas IX B. Ikbal merupakan siswa kelas IX A.

Sejak virus korona jenis baru itu merebak pada Maret lalu, keduanya tak pernah bersua. Sebab, kegiatan sekolah dihentikan sementara hingga batas waktu yang belum ditentukan. Keduanya hanya bersapa lewat WhatsApp (WA).

Momen uji usap siswa itu seolah menjadi kesempatan melepas rindu. Dua teman sejawat tersebut bertegur sapa. Menanyakan kabar. ”Pas sekolah sering belajar di perpustakaan bersama,” ucap Fatih.

Suasana pembelajaran di sekolah memang berkesan. Hal itu tidak dijumpai ketika murid mengikuti pembelajaran daring. Di sekolah mereka bisa berinteraksi bersama. Tidak dibatasi layar laptop atau HP.

Tak hanya kangen bertemu teman sekolah. Keduanya juga rindu dengan susana pembelajaran di kelas. Guru menerangkan di papan tulis. Siswa mendengarkan, lantas mengerjakan tugas. Kalau boleh meminjam istilah pada hukum Newton III, yaitu aksi sama dengan reaksi. Siswa dan guru berinteraksi. Hal itu sulit ditemukan ketika pembelajaran jarak jauh.

Kesan yang sama disampaikan Ikbal. Dia ingin secepatnya masuk sekolah. Seperti dulu ketika normal. Sebab, pembelajaran daring menyulitkan. Kendala jaringan terkadang datang menghampiri. Meski, di rumahnya sudah terpasang jaringan wifi. ”Kalau diterangkan di kelas jauh lebih jelas,” terangnya.

Harapan Ikbal dan Fatih itu sejatinya juga menjadi angan seluruh siswa di Surabaya. Mereka ingin kembali masuk sekolah. Seperti sedia kala. Sebelum virus korona menyerang.

Sejatinya, bukan hanya murid yang terlilit masalah. Wali murid juga kesulitan. Pasalnya, mereka harus menyiapkan kebutuhan tambahan. Mulai wifi, gadget, hingga paket pulsa. Di masa ekonomi serbasulit saat ini, hal itu tentunya menguras isi dompet warga.

Pemkot pun merespons keluhan itu. Sejak pertengahan tahun pembelajaran tatap muka disiapkan. Agar sekolah kembali buka. Tentunya diberlakukan sistem baru. Sesuai protokol kesehatan (prokes).

Sebanyak 18 SMP ditunjuk sebagai pilot project pembelajaran tatap muka. Mulai SMP negeri hingga swasta. SMPN 62 Gunung Anyar menggelar persiapan. Di antaranya, uji usap guru. Seluruh pendidik menjalani tes kesehatan.

Indikator prokes dipenuhi secara bertahap. Di depan kelas, disediakan wastafel untuk membersihkan tangan sebelum pembelajaran dimulai. Di dalam kelas, bangku siswa diatur. Berjarak. Ruangan itu hanya diisi maksimal 50 persen dari total siswa. ”Ventilasi juga sudah diatur,” terangnya.

Persiapan masuk sekolah juga dilakukan lembaga pendidikan swasta. Contohnya, SMP Kristen YBPK 1 Surabaya. Minggu lalu sekolah yang berlokasi di Pacar Keling itu menggelar uji usap siswa.

Sebanyak 42 siswa bergiliran melakukan pemeriksaan kesehatan. Dengan swab cotton, petugas kesehatan mengambil spesimen dari dalam hidung pelajar. Hasil pemeriksaan itu masih menunggu telaah dinas kesehatan (dinkes).

Kepala SMP Kristen YBPK 1 Erwin Darmogo menuturkan, pihaknya betul-betul menyiapkan pembelajaran tatap muka. Harapannya, kebijakan pemkot di masa pandemi itu berjalan lancar. Tidak timbul persoalan baru. Salah satunya memicu klaster sekolah.

Ada tujuh tahapan yang sudah dilakukan sekolah itu. Dimulai sejak pertengahan tahun ini. Selain uji usap untuk guru dan siswa, disiapkan ruang kelas sesuai indikator prokes.

Lalu, meminta izin pembelajaran tatap muka dari wali murid dan komite serta mendata guru, siswa, dan wali murid yang mempunyai komorbid. ’’Kami juga melalukan sosialisasi pembelajaran tatap muka via medsos agar orang tua siswa mendapatkan penjelasan,’’ paparnya.

Selanjutnya, membuat video tutorial SOP pembelajaran tatap muka, menyiapkan jadwal sekolah, dan sif pembelajaran. Yang tidak kalah penting tetap memberikan kesempatan bagi siswa yang tidak mengikuti pembelajaran di kelas. ”Nanti ada live streaming saat guru mengajar di sekolah,” ucapnya.

Jam pembelajaran normal baru tidak akan lama. Maksimal hanya empat jam. Satu mata pelajaran disampaikan 30 menit. ”Masuk Senin hingga Jumat. Kelas bergiliran,” terangnya.

Untuk memberikan keyakinan, selepas uji usap siswa, SMP Kristen YBPK 1 menggelar simulasi. Melibatkan pelajar. Guru mengarahkan pelajar dari awal masuk sekolah, di dalam kelas, hingga pulang sekolah.

Erwin menambahkan, pembelajaran tatap muka memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan sekolah daring. Salah satunya, guru bisa melihat perkembangan siswa. Kebijakan pembelajaran tatap muka mulai disiapkan pemkot sejak pertengahan tahun. Serangkaian tahapan berjalan. Dimulai dengan uji usap guru. Berlanjut penetapan indikator prokes serta menujuk sekolah percontohan. Selanjutnya, uji usap siswa.

Kepala Dinas Pendidikan (Dispendik) Supomo mengatakan, pembelajaran tatap muka merupakan keniscayaan. Sebab, kondisi korona di Surabaya berangsur membaik. Selain itu, pemerintah sudah memberikan kepastian. Tahun depan sekolah kembali dibuka.

Pemkot tidak ingin kebijakan itu membawa petaka. Gelombang kedua virus korona kembali merebak. Supomo pun melakukan langkah-langkah preventif. Pertama, bekerja sama dengan para pakar. Menentukan waktu yang pas untuk membuka sekolah.

Para ahli itu juga dimintai pendapat. Indikator apa saja yang harus dipenuhi sekolah agar bisa menggelar pembelajaran tatap muka. ”Salah satunya harus ada wastafel serta satu kelas minimal memiliki 20 persen ventilasi,” ucapnya.

Langkah lain adalah dengan menggandeng satgas percepatan penanganan Covid-19. Sebab, di era pandemi korona, seluruh kegiatan harus mendapatkan cap persetujuan dari satgas. Termasuk pembelajaran tatap muka.

Menurut Supomo, sebelum sekolah dibuka, satgas nanti turun ke sekolah. Mengecek langsung indikator prokes. ”Juga mengamati jalannya pembelajaran,” terangnya.

Pembelajaran tatap muka yang kelak berjalan memang terlihat ribet. Penuh aturan. Siswa harus jaga jarak, memakai masker dan face shield. Hingga tidak boleh berkerumun. Tentunya, hal itu membutuhkan pengawasan guru. Juga pengarahan dari wali murid.

Pemkot meminta guru dan siswa disiplin. Tetap menjaga kesehatan. Sebelum pembelajaran tatap muka, seluruhnya harus tetap sehat. Tidak terinfeksi Covid-19.

Mantan kepala dinas sosial (dinsos) itu menjelaskan, aturan sekolah memang jauh berbeda. Lebih ketat dibandingkan sebelumnya. Namun, dia memberikan keyakinan bahwa hal itu bertujuan melindungi siswa. ”Bagi kami, kesehatan siswa, guru, serta wali murid merupakan yang utama,’’ tegasnya.

Saksikan video menarik berikut ini:


Terpisah Delapan Bulan, Fatih dan Ikbal Ingin Belajar di Kelas