Di Tanah Tinggi Gayo, Siti Kawa Menikah dengan Angin…

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Di Tanah Tinggi Gayo, Siti Kawa Menikah dengan Angin…


Di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut, doa dipanjatkan saat pohon-pohon kopi arabika Gayo ditanam.

”Bismillah Siti kewe Kunikahen ko orom kuyu Win kin walimu Tanoh kin saksimu Lo kin saksi kalammu rt (Siti kawa Kunikahkan kau dengan angin Air walimu Tanah saksimu Matahari kalammu)”

RIBUAN kilometer jauhnya dari Aceh Tengah, di lereng Ijen sisi Bondowoso, Jawa Timur, selamatan sebelum dan sesudah panen juga jadi tradisi yang tak boleh terlewatkan. Untuk robusta dan kopika yang telah dianugerahkan bumi yang menjadikan Bondowoso berani mendeklarasikan diri sebagai ”Republik Kopi”.

”Sebagai bentuk wujud syukur, ada yang menyembelih ayam saat selamatan. Bahkan, kalau lahannya luas, bisa menyembelih kambing,” kata Suyitno, salah seorang petani di Bondowoso, kepada Jawa Pos Radar Ijen.

Wujud syukur, sekaligus bagian dari ikhtiar perawatan dan pengolahan kopi. Di 13 ribu hektare lebih ladang kopi yang tersebar di 23 kecamatan di Bondowoso, para petani bersetia pada sepuluh langkah untuk menjaga kualitas kopi. Mulai panen buah matang sampai penggudangan.

Baca juga: Cerita Generasi Ketiga Petani Kopi Gayo Pertahankan Cita Rasa

Varian ikhtiar ini bisa dijumpai di berbagai ladang kopi dari Sabang sampai Merauke, dengan beragam varian praktiknya. Yang kemudian bermuara pada kekayaan cita rasa. Ya, republik ini memang republik kopi. Dari Sabang di Aceh sana sampai Merauke nun di Papua, masing-masing punya produk andalan.

Menurut Dwi Nugroho, peneliti pertama pemuliaan tanaman kopi Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Indonesia, kopi Indonesia kaya karakter rasa yang lahir dari berbagai varietas kopi. ”Sudah kayak Bhinneka Tunggal Ika. Sulit menentukan kopi kita dengan satu jenis saja karena sangat banyak varietas yang kualitasnya baik,” imbuhnya.

DI LUMAJANG: Buah kopi berjenis liberika atau biasa disebut kopi nangka memiliki ciri pohon yang hampir mirip seperti nangka pada daun dan batangnya. (ALFIAN RIZAL/JAWA POS)

Robusta, arabika, sampai liberika (liberica), semua ada. Di Dusun Lumpang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Coffea liberica –kopi nangka dalam bahasa warga setempat– bahkan dulu cuma jadi tanaman pagar pembatas.

Oleh petugas penyuluh lapangan (PPL), warga dusun yang masuk wilayah Desa Jenggrong, Kecamatan Ranuyoso, didorong menanam kopi yang daunnya lebar mirip daun pohon nangka itu. Ternyata tumbuh baik.

Perawatan dilakukan dengan rutin memangkas tunas tiap beberapa pekan. Juga melakukan pemupukan berkala menggunakan kotoran kambing dan sapi ternak. ”Pernah diberi pupuk kimia, disebar begitu ke tanah. Tanaman stres, kering,” ujar Suyitno, salah seorang petani di Dusun Lumpang, kepada Jawa Pos.

Baca juga: Pencinta Kopi Wajib Tahu Bedanya Robusta dan Arabika

Kini panen pun stabil. ”Sekali panen, 40 sak (sekitar 2 ton, Red). Harganya juga bagus, sekitar Rp 35 ribu–Rp 40 ribu sekilo (dalam bentuk green bean),” ucapnya.

Jawa Pos sempat menjajal kopi nangka ini. Rasanya lebih cenderung seperti arabika yang tingkat keasamannya tinggi.

TRADISIONAL: Kopi liberika disangrai dengan teknik sederhana.(ALFIAN RIZAL/JAWA POS)

Di Temanggung, pohon kopi arabika memang bukan tanaman pagar. Melainkan sebagai tanaman terasering berdampingan dengan tembakau, produk pertanian andalan kabupaten di Jawa Tengah tersebut. Dan itu yang membuat cita rasa kopi di sana khas.

”Kopi arabika Temanggung ada rasa tembakaunya. Namun, tidak berarti mengandung nikotin, hanya rasa,” kata Setyo, salah seorang petani kopi di Desa Tlahab, Kecamatan Kledung, Temanggung, kepada Jawa Pos Radar Semarang.

Mulai dibudidayakan pada 2000, kopi arabika Temanggung ditanam di bagian perbatasan lahan di sela-sela tanaman tembakau. ”Fungsinya untuk mengurangi erosi tanah,” jelas Setyo.

TRADISIONAL: Kopi liberika disangrai dengan teknik sederhana.(ALFIAN RIZAL/JAWA POS)

Kalau di Gayo, Aceh Tengah, kopi atau siti kewe/kawa dalam bahasa setempatlah tanaman utamanya. Perkebunan kopi rakyat seluas 49.251 hektare digarap 85 persen dari 209.129 jiwa yang menghuni kabupaten berhawa sejuk tersebut.

Jadilah, seperti dilaporkan Rakyat Aceh, Takengon, ibu kota Aceh Tengah, seperti kota mati justru di hari libur. Sebab, mayoritas warganya berada di kebun-kebun kopi yang ada di pematang gunung dan lembah.

Sayangnya, harga kopi arabika Gayo sedang turun sejak panen raya Desember tahun lalu. Satu kaleng (13,3 kilogram) sekarang hanya Rp 50–60 ribu, turun separo dari sebelum Covid-19 melanda sebesar Rp 110–125 ribu per kaleng.

Tapi, yang menggembirakan adalah antusiasme anak-anak muda di sana mengolah kopi.

Dwi Nugroho berharap kopi bisa terus mendapat tempat di hati (dan lidah) masyarakat. ”Enggak perlu meributkan cara nyeduh kopi. Fokus kita mengenalkan kopi lokal ke masyarakat, baik sebagai komoditas maupun minuman,” tuturnya.

Di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, kopi, baik robusta maupun arabika, bahkan tak sekadar untuk diminum sebagai pembuka pagi. Tapi juga untuk acara adat saat ada kematian dan syukuran.

Ratusan ribu ton dihasilkan tiap tahunnya dari ladang-ladang kopi yang membentang dari barat ke timur, utara ke selatan, tanah air. Di banyak daerah, panen raya umumnya berlangsung mulai April sampai Agustus atau September.

November dimulai lagi penanaman. Saat sang siti kawa ditancapkan ke bumi untuk dinikahkan dengan angin. Dengan air sebagai wali dan matahari sebagai kalam.

Saksikan video menarik berikut ini:


Di Tanah Tinggi Gayo, Siti Kawa Menikah dengan Angin…