Tiap 36 Menit, Ada Satu Aksi Kriminal Bersenjata di Amerika Serikat

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Tiap 36 Menit, Ada Satu Aksi Kriminal Bersenjata di Amerika Serikat


Kebijakan kepemilikan senjata api di Amerika Serikat dipertanyakan. Terlebih kejadian penembakan massal terus bermunculan. Sepanjang bulan ini saja sudah ada tujuh kejadian.

RICO Marley berjalan santai memasuki Atlanta Publix Supermarket pada Rabu (24/3). Namun, orang yang melihatnya sama sekali tidak santai. Bukan karena rasis terhadap pemuda kulit hitam 22 tahun itu, melainkan karena dia terang-terangan membawa senapan serbu AR-15 dan langsung masuk ke kamar mandi.

Petugas keamanan langsung memanggil polisi. Sementara itu, pengunjung diamankan. Marley ditangkap. Dia membawa enam senjata api, jaket antipeluru, balaclava, dan berbagai perlengkapan lain yang biasa dipakai pelaku penembakan massal. Kasus itu masih disidangkan dan dia dijerat dengan 11 dakwaan.

Belum diungkap apa sejatinya niat Marley. Namun, insiden tersebut membuat penduduk ngeri. Sebab, 16 Maret lalu terjadi penembakan massal di tiga spa di kota tersebut, menewaskan 8 orang. Pada 22 Maret juga terjadi penembakan di supermarket di Boulder, Colorado, yang merenggut 10 nyawa.

Beberapa pengamat menyatakan bahwa penembakan massal itu justru menunjukkan bahwa AS sudah kembali ”normal”. Negeri Paman Sam itu tidak memiliki data terpusat terkait dengan penembakan massal. Namun, selama pandemi diindikasikan jumlahnya berkurang karena lockdown dan tempat-tempat berkumpul ditutup. Begitu situasi kembali pulih, kebiasaan sembrono penggunaan senjata api juga muncul lagi. ’’Sudah waktunya para pemimpin di mana pun untuk mendengarkan rakyat Amerika ketika mereka mengatakan sudah cukup. Ini adalah hal normal yang tidak lagi dapat kami tanggung,’’ ujar mantan Presiden AS Barack Obama seperti dikutip CNN.

Penembakan massal dan kekerasan dengan senjata api menjadi makanan sehari-hari bagi penduduk AS. Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit (CDC) menyatakan, pada 2019 ada 14.414 kasus pembunuhan. Itu setara satu kasus tiap 36 menit. Sementara itu, angka bunuh diri dengan senjata api mencapai 23.941 orang atau setara satu kasus tiap 22 menit.

Kematian akibat kejahatan dan kekerasan dengan senjata api di AS paling tinggi di antara negara-negara maju. Ia menempati posisi ke-32 secara global. Yang lebih parah dari AS, kebanyakan adalah negara konflik atau negara dengan banyak kartel narkoba seperti di wilayah Amerika Tengah dan Karibia.

Pada 2019, rata-rata kematian akibat senjata api di AS adalah 3,96 per 100 ribu orang. Itu 8 kali lipat lebih tinggi daripada rata-rata di Kanada dan 100 kali lipat jika dibandingkan di Inggris.

Di negara dengan pendapatan rendah seperti Tajikistan dan Gambia, kematian akibat senjata api justru rendah. Yakni, masing-masing 0,18 dan 0,22 kematian per 100 ribu orang. Negara-negara Asia yang kaya juga sama rendahnya. Singapura hanya 0,01 kematian. Jepang, Korsel, dan Tiongkok sama-sama 0,02 kematian.

’’Sedikit mengejutkan bahwa negara (maju) seperti negara kami ini memiliki level kekerasan dengan senjata api seperti ini,’’ tegas Ali Mokdad, profesor epidemiologi di Institute for Health Metrics and Evaluation, seperti dikutip NPR.

Baca Juga: Anaknya Ditampar Ibu Ara, Alasan Pelaku Menculik Ara

Jika dikalkulasikan berdasar negara bagian, kasus kematian akibat senjata paling tinggi terjadi di Distrik Kolombia, disusul Louisiana, Georgia, dan Colorado. Data itu berasal dari Institute for Health Metrics and Evaluation University of Washington yang melacak setiap kematian dan penyebabnya.

Butuh Segera UU Pengendalian Senjata Api

’’Hak rakyat untuk memiliki dan memegang senjata tidak boleh dilanggar.’’ Salah satu penggalan amandemen kedua konstitusi AS itu menjadi dasar bebasnya kepemilikan senjata. Tapi, tetap ada batasannya. UU Pengendalian Senjata 1968 melarang individu di bawah 18 tahun, mantan narapidana, penyandang cacat mental, personel militer yang diberhentikan dengan tidak hormat, dan beberapa pihak lain untuk bisa membeli senjata api.

Tiap-tiap negara bagian dan kota bisa menerapkan kebijakan larangan sendiri-sendiri. Idaho, Alaska, dan Kansas, misalnya. Mereka mengeluarkan berbagai aturan hukum justru untuk membatalkan aturan dari pusat itu. Pada Januari 2016, Obama mengambil kebijakan demi menekan angka kekerasan dengan senjata api.

Namun, pada 2019 terjadi perubahan krusial. Aturan federal yang melarang kepemilikan senjata serbu semiotomatis, senjata serbu militer, dan atau senjata dengan kapasitas magazin besar sudah tidak berlaku lagi. Senjata-senjata itulah yang kini kerap dipakai dalam aksi penembakan massal.

AS hanya menyumbang 5 persen populasi penduduk dunia. Namun, sebanyak 46 persen kepemilikan senjata api oleh sipil ada di Negeri Paman Sam. Data Small Arms Survey menempatkan AS di peringkat pertama dalam hal kepemilikan senjata api per kapita.

Setelah insiden penembakan massal terakhir, Presiden AS Joe Biden sudah mendesak Kongres untuk meloloskan RUU Pengendalian Senjata Api. Jika tidak, dia akan bertindak sendiri untuk menghentikan kasus demi kasus itu.

Baca Juga: Ahli Singapura: Seseorang Bisa Terinfeksi Covid-19 Lagi Usai 35 Hari

Juru Bicara Gedung Putih Jen Psaki menyatakan bahwa Biden bisa menerbitkan perintah eksekutif guna menekan kekerasan dengan senjata api. Sesuai namanya, perintah itu tidak membutuhkan persetujuan Kongres. Para aktivis mendorong sejumlah langkah yang bisa diatur di executive order. Mulai memperketat lagi pengecekan latar belakang kepemilikan senjata api, memberikan stimulus pada kota-kota untuk memerangi kekerasan dengan senjata api, hingga mengatur penjualan senjata rakitan.

Sejatinya, peluang Biden meloloskan RUU itu lebih besar dibandingkan era Obama. Sebab, saat ini Demokrat menguasai DPR dan Senat. Tapi, prosesnya butuh waktu. Perintah eksekutif bisa jadi jalan cepat terbaik.

Saksikan video menarik berikut ini:


Tiap 36 Menit, Ada Satu Aksi Kriminal Bersenjata di Amerika Serikat