Memori-Memori yang Tercecer dari Taman Remaja Surabaya

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Memori-Memori yang Tercecer dari Taman Remaja Surabaya


Taman Remaja Surabaya (TRS) seakan menjadi sebuah kenangan. Tempat itu pernah menjadi jujukan warga Surabaya lintas generasi. Namun, sekarang tempat tersebut akan hilang. Satu per satu fasilitas di sana berubah menjadi barang rongsokan.

GALIH ADI PRASETYO, Surabaya

Pekerja memereteli bagian demi bagian 20 wahana permainan di TRS. Aktivitas itu dimulai sejak dua pekan lalu. Truk-truk hilir mudik memuat potongan besi-besi di sana. Besi-besi tua tersebut akan dilebur lagi.

Tutupnya TRS memang disayangkan banyak pihak. Namun, pengelola tidak bisa berbuat banyak. Status hak guna bangunan di atas hak pengelolaan (HPL) tidak diperpanjang lagi oleh Pemkot Surabaya.

Di sisi lain, PT Sasana Taruna Aneka Ria (STAR) sudah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Surabaya.

Mereka terpaksa menjual aset yang dimiliki untuk menutup semua tanggung jawab kepada pihak ketiga. Taman hiburan yang berdiri sejak 20 Februari 1971 itu layaknya sebuah surga saat awal perkembangan Surabaya.

Sarana hiburannya hampir menyamai ibu kota Jakarta. Bahkan menjadi salah satu pelopor taman dengan wahana permainan modern.

Masa jayanya menjadi sebuah pijakan bagi warga kota dan luar Surabaya sebagai pusat wisata. Saat ditanya soal TRS, hampir setiap orang di Surabaya pernah ke sana walau hanya sekali. Mereka punya kenangan yang kuat saat menapaki kegembiraan bersama orang tersayang.

Misalnya, yang diceritakan salah seorang penulis Surabaya Adi Setiawan. Ingatan masa kecilnya tidak akan pernah lapuk. TRS menjadi saksi sekaligus memori yang indah kebersamannya dengan sang nenek. Adi punya panggilan kesayangan untuk neneknya: Mbah Buk.

”Saya ingat betul selalu diajak nenek saya untuk nonton wayang orang di samping TRS itu. Naik becak dari Pasar Pucang ke sana. Waktu itu jalannya masih sepi. Baru ramai pas dekat TRS itu,” jelas Adi.

Berderet penjual mainan kayu, seperti kuda-kudaan dan berbagai mainan lain. Penjual terang bulan dan martabak berjejer rapi di kiri dan kanan Jalan Kusuma Bangsa sekitar TRS.

Dulu Adi dan sang nenek sering berkunjung ke TRS. Dua wahana favoritnya adalah sepur kelinci dan monorel. ”Nggak pernah pengin mainan yang lain. Ya, dua itu yang menjadi favorit saya. Waktu itu, sekitar tahun 1988. Usia saya masih sekitar 6 tahun,” ujar penulis buku Kronik Pertempuran Surabaya itu.

Apalagi saat naik wahana tersebut, ada Simbah di sisinya. ”Kalau ingat-ingat masa itu, mbrebes mili rasanya. Bahkan, saya masih ingat wanginya Mbah,” papar pemerhati sejarah Surabaya itu.

Setelah bermain, sekotak susu kemasan selalu jadi bonus baginya. Setelah itu, dia menikmati pertunjukan wayang orang bersama. Pulangnya kembali naik becak. Orangnya juga sama dengan yang saat mengantar dari Pasar Pucang. ”Nama tukang becaknya masih saya ingat, Pak Made, orang Bali,” ujar pendiri komunitas Roodebrug Soerabaia itu.

Kenangan serupa diungkapkan Bobin Nila Prasanta Yudha. Dia masih ingat betul TRS menjadi salah satu jujukan hiburan modern di Surabaya. Kalau ke Surabaya, tidak lengkap rasanya tanpa menapaki wahana-wahana di sana.

Mulai masa kecil hingga sudah berkeluarga, Boni, sapaannya, punya kenangan di sana. ”Paling ingat itu saat masa-masa SMA. TRS itu jadi tempat unjuk gigi band-band anak muda. Waktu itu musik rock masih jadi tren,” ujar pegiat Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) Jatim itu.

TRS memang memiliki panggung khusus untuk pertunjukan. Bisa digunakan seni apa pun. Entah musik, tari, hingga konser musik. ”Saya masih ingat pada hari tertentu, di TRS memang ada pertunjukan bakat dari kalangan waria. Kebetulan waktu itu ke mana-mana naik angkot. Kalau pas pertunjukan itu, saya melipir. Takut juga seangkot, badannya gempal-gempal,” katanya.

Saat sudah berkeluarga, Boni juga membawa anaknya ke sana. Dia ingin kebahagiaan masa kecil bapaknya juga dirasakan mereka. Toh, tempat itu belum kalah oleh tempat-tempat hiburan lain.

”Saya ingin menunjukkan bahwa TRS pernah menjadi salah satu tempat legendaris Surabaya. Pikir saya, anak saya jangan sampai kehilangan roh sebagai arek Suroboyo. Saya ingin mereka juga punya kenangan di sana,” ujar CEO Dolen Surabaya itu.

Namun, kini hal itu akan benar-benar menjadi sebuah kenangan saja. Boni berharap ke depan ada sebuah tempat yang bisa menggantikan posisi TRS. Sebuah tempat yang tetap memberikan kesan bagi warga Surabaya. ”Kalaupun digantikan dengan sesuatu yang baru, maknanya tidak kalah dengan TRS di masa lalu,” ungkapnya.

Berbeda cerita yang diungkapkan M. Fatoni, warga Barata Jaya. Kehadiran TRS masa itu menjadi motivasi agar putrinya semangat belajar. ”Ranking pertama, saya ajak main di TRS,” katanya.

Memang TRS waktu itu memiliki program khusus. Anak-anak berprestasi juara kelas bisa masuk gratis. Cukup membawa fotokopi hasil rapor, mereka bisa masuk dan bebas bermain di semua wahana. ”Ternyata, anak saya jadi langganan. Sehabis terima rapor, pasti langsung ngajak ke sana. Tidak sabaran,” katanya.

Saksikan video menarik berikut ini:


Memori-Memori yang Tercecer dari Taman Remaja Surabaya