Kopi Indonesia Kaya Potensi di Pasar Domestik dan Ekspor

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Kopi Indonesia Kaya Potensi di Pasar Domestik dan Ekspor


CITA RASA kopinya dikenal di mana-mana. Jumlah produksinya juga nomor empat di dunia. Tapi, mengapa Indonesia hanya menjadi pengekspor urutan kesembilan?

Bahkan kalah oleh Swiss dan Jerman yang mungkin lebih dikenal orang, untuk urusan barang konsumsi, sebagai jagoan pengolah cokelat dan penghasil bir. Ini tentu ironi, tapi di sisi lain juga potensi.

”Kita produsen besar, sayangnya belum teroptimalkan dengan baik,” ujar Direktur Pengembangan Produk Ekspor Kementerian Perdagangan Olvy Andrianita.

Menurut Olvy, salah satu strategi yang akan didorong adalah memperluas pasar ekspor ke negara-negara dengan konsumsi kopi yang besar di dunia. Misalnya, Jerman.

Berdasar data Kementerian Luar Negeri, Jerman merupakan pasar terbesar produk kopi di Uni Eropa dengan nilai sekitar USD 7,7 miliar. Jerman sekaligus akan menjadi jembatan Indonesia memperluas ekspor kopi ke pasar European Free Trade Association (EFTA). ”Jerman merupakan pemimpin industri dan juga konsumen karena populasinya besar di Eropa,” katanya.

Indonesia merupakan negara penghasil biji kopi terbesar keempat di dunia setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Pada 2019, produksi biji kopi Indonesia mencapai 729,1 ribu ton dengan nilai ekspor produk kopi olahan USD 610,89 juta.

Hingga saat ini, tercatat 1.204 unit usaha IKM (industri kecil dan menengah) kopi olahan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. ”Industri olahan kopi juga turut menjadi pemasok bagi munculnya kedai kopi di Indonesia,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pun berkomitmen mendukung pengembangan industri kopi melalui pembinaan dengan berbagai program strategis. Di antaranya, melalui penumbuhan wirausaha baru, pengembangan sentra IKM kopi, serta pengembangan produk dan sertifikasi.

Arah industri kopi di Indonesia memang belum sempurna. Namun, itu sekaligus berarti bahwa potensi yang bisa dijelajah sangat banyak.

Raymond Anggajaya, pemegang sertifikat grader kopi robusta atau arabika, menyayangkan sebagian besar ekspor kopi di Indonesia masih produk mentah. ”Padahal, Pak Presiden (Joko Widodo) meminta agar semua yang diekspor merupakan produk hilir,” ujarnya.

Menurut dia, saat ini industri kopi Indonesia sudah memasuki third wave atau gelombang ketiga. Gelombang pertama datang saat Indonesia mengenal kopi. Gelombang kedua datang saat franchise kopi di kafe mulai menjamur. Sementara itu, gelombang ketiga datang saat masyarakat mulai membedakan kualitas kopi dan rela membayar lebih untuk mendapatkan kepuasan tersebut.

Soal ini, pemilik roastery di Sidoarjo itu tahu benar betapa susahnya memproduksi kopi. Terutama kopi yang dikategorikan specialty. Dari seluruh kopi yang beredar di dunia, hanya 10 persen yang masuk kategori specialty.

Setiap kali produksi, grader harus melihat proses mulai bahan mentah alias green bean. Biji yang masuk specialty coffee tak boleh mengandung biji hitam, rusak, dan benda-benda asing yang terlalu banyak.

Saat roasting, warna biji pun harus merata. ”Setelah itu diambil sampel, lalu akan diuji tiga grader. Mereka bakal menentukan apakah aroma dan rasa kopi memenuhi standar specialty grade,” paparnya.

Saat ini terdapat 10 penghasil kopi specialty di Indonesia: Gayo, Mandheling, Lintong, Java, Preanger, Toraja, Kalosi, Bali Kintamani, Flores, dan Baliem. Setiap wilayah memproduksi 2–60 ribu ton per tahun.

Sementara itu, peluang lain yang coba ingin ditangkap pelaku usaha kopi adalah problem mengenai harga kopi ”enak” yang mahal. Keresahan itulah yang membuat Kopi Kenangan berdiri sejak 2019 dengan mengusung konsep grab and go.

Konsep grab and go memastikan kebersihan sekaligus memberikan rasa tenang dan aman bagi para karyawan, mitra pesan antar, dan pelanggan. Di sisi lain, pelanggan bisa menikmati kopi yang berkualitas dengan harga yang tidak menguras kantong.

Baca juga: Di Tanah Tinggi Gayo, Siti Kawa Menikah dengan Angin…

”Karena salah satu biaya terbesar yang membebani harga kopi adalah harga rental,” ujar Public Relation and Communication Kopi Kenangan Ruth Davina.

Founder Jaringan Warkop Nusantara (JWN) Setya Yudha Indraswara juga mengakui penjualan biji kopi di tokonya, Joyo 99 Coffe & Co, sempat drop ketika PSBB (pembatasan sosial berskala besar) jilid I. Sebab, seluruh kedai dan coffee shop di Jabodetabek tutup.

Beruntung, masa paceklik itu tidak lama. Momen penjualan biji kopi di JWN bangkit ketika para barista kedai kopi memulai usaha kopi rumahan. Umumnya, minuman kopi yang dikemas dengan botol.

Saksikan video menarik berikut ini:


Kopi Indonesia Kaya Potensi di Pasar Domestik dan Ekspor