Tiga Ibu Dirikan Wadah Pendampingan untuk Anak dengan Disleksia

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Tiga Ibu Dirikan Wadah Pendampingan untuk Anak dengan Disleksia


Tumbuh dengan disleksia dan mengasuh anak dengan disleksia bukan perjuangan mudah. Hal tersebut dilalui Ika Laurencia, Agustina Twinky, dan Erlin Yuliane Soenarto. Ketiganya kemudian sepakat mendirikan wadah untuk membantu anak dengan disleksia mencari minat dan bakat mereka sekaligus menjalani terapi.

RETNO DYAH AGUSTINA, Jawa Pos

SEKILAS, Alena hanya membuat goresan-goresan sederhana. Beberapa horizontal, ada pula yang vertikal. Lama-lama, Alena dituntun membuat garis lengkung. Mungkin simpel untuk anak-anak berusia 5–10 tahun. Kondisi jadi berbeda jika anak memiliki kondisi khusus bernama disleksia. ”Untuk tugas yang sama, anak dengan disleksia butuh waktu tiga kali lipat dari anak normal,” papar Agustina Twinky, seorang psikolog yang juga ibunda anak dengan disleksia.

Memahami kesulitan belajar sang anak, Twinky dan dua rekannya mendirikan Sebaya Riang. Wadah yang didirikan pada November 2020 tersebut berfokus pada pemberian terapi sembari mencari minat dan bakat bagi anak dengan disleksia. ”Anak dengan disleksia itu memiliki kecerdasan normal atau bahkan di atas rata-rata. Jadi, bukan malah rendah lho,” ucap Ika yang juga merupakan seorang psikolog.

Sayangnya, masih banyak orang tua yang tak mengetahui fakta tersebut.

Selama ini banyak orang tua yang tertekan karena nilai akademis anak dengan disleksia rendah. Padahal, rendahnya angka tersebut dipengaruhi cara belajar yang tidak cocok. ”Secara kecerdasan, mereka normal. Hanya cara belajarnya itu yang membedakan dengan anak normal,” tegas Ika.

Melalui proses terapi yang dibalut dengan kegiatan nonakademis, anak diajak memperbaiki gejala disleksia. ”Terapi ini kan sebagai intervensi, semakin dini, semakin baik. Meski, tetap bergantung pada derajat disleksianya,” jelas Twinky.

Alena dan peserta lain makin lama diberi tantangan yang makin sulit. Setelah menggambar garis, mereka diajak menyatukan garis-garis tersebut menjadi sebuah bentuk. Hewan, rumah, atau benda di sekitar mereka. ”Nah, anak dengan disleksia ini kadang tidak tertata. Imajinasinya juga. Ketika dikenalkan garis ke bentuk, mereka juga belajar menata imajinasi,” ucap Erlin.

Terapi garis hingga bentuk itu juga melatih anak dengan disleksia secara perlahan mengenali tahapan. ”Memang akhirnya perlu guru khusus. Yang sangat sabar dan bisa mengulang instruksi bahkan hingga tiga kali,” ujar Ika. Anak dengan disleksia sering dikenal dengan karakter seenaknya sendiri. Maka, mengikuti tahapan akan melatih karakter mereka.

Begitu pula konsentrasi pada anak disleksia. Mereka sulit sekali berfokus pada sesuatu. ”Apalagi kelas daring begini, lihat temannya gerak, langsung teralihkan. Melihat temannya bertanya, langsung nggak fokus,” ucap Twinky.

Dengan membuat anak mengulangi pattern dan aturan tertentu, perlahan-lahan konsentrasi anak dengan disleksia membaik. Bahkan, sesi latihan yang semula berdurasi tiga jam bisa memendek hingga 1 jam 15 menit. ”Ini terjadi karena konsentrasi peserta terus membaik. Mereka juga bisa mengatur waktu saat mengerjakan tugas,” jelas Erlin.

Selain belajar menggambar dan karya kriya, Sebaya Riang memberikan wadah berlatih yoga bagi anak dengan disleksia. Yoga bermanfaat bagi fisiologis dan pertumbuhan anak. ”Jadi, menggambar dan DIY itu untuk motorik halus, yoga ini terapi motorik kasarnya,” jelas Twinky.

Disleksia memang terdiri atas beberapa jenis. Salah satunya, disleksia perilaku. Anak dengan disleksia tipe tersebut sulit sekali berdiam diri. Segala hal dilakukan sembari bergerak. ”Menghafal apa yang diucapkan guru, misalnya, itu harus sambil jalan. Kalau diam, dia bisa berkeringat banyak sekali hingga seperti mengompol,” tutur Erlin.

Melalui yoga, anak dengan disleksia dilatih berkonsentrasi dan belajar mengendalikan tubuhnya. Selain tentunya untuk kesehatan tubuh dan pertumbuhan secara umum.

”Kegiatan-kegiatannya kayaknya simpel. Bisa dilakukan saat senggang ya. Padahal, intinya terapi,” ucap Twinky.

Twinky dan Ika sebagai psikolog membuat kurikulum yang sesuai kebutuhan terapi anak dengan disleksia. Sementara itu, Erlin yang lulusan sarjana seni membalutnya dengan bentuk benda DIY apa atau tema gambar apa yang bisa dikerjakan peserta.

Memang, mendampingi anak dengan disleksia tidak mudah. ”Apalagi, disleksia itu seumur hidup. Kami bertiga yang juga dengan disleksia tetap harus berusaha overcome kondisi meski tak butuh terapi lagi,” ucap Ika.

Baca Juga: Selamatkan Arsip Lawas Rhoma Irama, RRI Surabaya Restorasi Aset Audio

Namun, seiring intervensi yang dilakukan, disleksia bisa dihadapi. Jika anak bisa dibantu menemukan cara belajar yang tepat, minat dan bakat yang pas anak juga akan berkembang baik. Bahkan bisa jadi melebihi anak tanpa disleksia. Sebab, anak dengan disleksia punya tingkat kecerdasan cenderung lebih tinggi. ”Nah, di situ anak jadi lebih percaya diri. Kemampuan akademis pun seiring akan mengikuti,” ujar Twinky.

Saksikan video menarik berikut ini:


Tiga Ibu Dirikan Wadah Pendampingan untuk Anak dengan Disleksia