Komisi III Nilai Ada Kesalahan Logika Soal Polemik Permendikbud PPKS

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Komisi III Nilai Ada Kesalahan Logika Soal Polemik Permendikbud PPKS


JawaPos.com – Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguran Tinggi menjadi kontroversi. Karena ada yang menunding seakan melegalkan zina.

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengatakan Permendikbud tentang kekerasan seksual ini padahal kalau jeli dan jernih ini sebenarnya bukan polemik melainkan narasi politik. Namun, banyak yang tejebak di dalamnya meskipun narasi yang dibangun mengandung kesalahan logika.

“Dalam mengikuti perdebatan di ruang publik, hendaknya kita berpegang pada hukum logika untuk memastikan argumentasi valid dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Taufik Basari dalam akun Twitter miliknya, Sabtu (13/11).

Menurut Taufik, ada beberapa jenis kesalahan logika yang seringkali terjadi tanpa disadari. Padahal, kenyataannya banyak masyarakat sedang tersesat dalam perdebatan yang sebenarnya tidak perlu menjadi suatu perdebatan atau tidak memiliki kualitas perdebatan atau bukan menjadi polemik.

“Ketika suatu polemik dimunculkan di ruang publik padahal argumentasinya mengandung logical fallacy maka jika pemirsa debat jeli mestinya sudah bisa ambil kesimpulan. Bagi pemilik ruang media mestinya mengedukasi publik dengan menjelaskan bahwa ini bukan lagi polemik karena ada fallacy (kekeliruan),” katanya.

Kata dia, saat ini ramai di ruang publik bahwa seolah-olah ada polemik dalam Permendikbud Nomor 30/2021. Aturan tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual berangkat dari fakta bahwa terdapat kasus-kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan, termasuk kampus yang tidak teratasi dengan baik dan korban tidak terpenuhi haknya.

“Tempat pendidikan, termasuk kampus, sebagai ruang interaksi publik harus mampu menjadi ruang aman bagi semua pihak dari semua bentuk tindak kekerasan, utamanya tindak kekerasan seksual,” ungkapnya.

Ketua DPP Partai Nasdem ini menuturkan, ruang interaksi publik seperti kampus dan tempat lainnya, selalu memiliki interaksi dengan relasi kuasa, antara powerful dengan powerless, dosen dengan mahasiswa, antar teman, antar kelompok, antar gender dan sebagainya.

Sehingga kata dia, konsepnya adalah dalam relasi kuasa potensi terjadi kekerasan seksual selalu terbuka dan bahkan tinggi. Terlebih relasi kuasa ini memengaruhi pandangan terhapap peristiwa kekerasan seksual. Apa contoh pengaruhnya?

Menurut taufik, relasi kuasa memengaruhi cara pandang terhadap kekerasan seksual, seperti dianggap wajar, tidak penting, menyalahkan korban, menyembunyikan fakta dan perpektif patriarki.

“Faktor inilah yang membuat pencegahan dan penanganan kekerasan seksual menghadapi tantangan problematika. Tidak tersedianya sistem pencegahan yang efektif, penanganan yang tidak sensitif, korban yangg traumatik tanpa tersedia upaya pemulihan yang responsif,” ungkapnya.

Karena itulah menurut Taufik, muncul dorongan agar ruang interaksi publik seperti kampus menciptakan sistem agar relasi kuasa yang terjadi tidak mengakibatkan peristiwa kekerasan seksual dan jika terjadi terdapat penanganan yang efektif dan responsif.

“Peristiwa kekerasan seksual terjadi karena adanya relasi kuasa. Relasi kuasa disertai sikap non sensitive dan perspektif patriarki memengaruhi problem pencegahan dan penanganan. Atas dasar inilah ada kebutuhan untuk membuat aturan hukum mengenai hal tersebut,” tuturnya.

Namun demikian narasi yang dibangun oleh pihak yang berkeberatan terhadap pengaturan tentang kekerasan seksual ini ternyata keluar dari konteks. Tidak relevan dengan isu yang dibahas dan ternyata terdapat kesalahan logika pada argumennya.

“Logical fallacy yang dibangun dalam narasi polemik aturan kekerasan seksual ini termasuk ke dalam kategori ignoratio elenchi alias enggak nyambung. Kenapa argumentasi penentang aturan kekerasan seksual ini merupakan ignoratio elenchi atau jaka sembung bawa besi alias sengaja dibuat enggak nyambung karena bawa misi,” imbuhnya.

Kata Taufik, bayangkan kita dari UI Depok mau ke Gondangdia naik kereta. Di stasiun UI naik jurusan Depok-Tanah Abang, bukan jurusan Depok-Kota, lalu ketika di Manggarai ngotot minta masinis mengarah ke Tanah Abang padahal tersedia kereta jurusan Tanah Abang.

“Sejak dari di stasiun UI Depok, kita mestinya naik yang jurusan Depok-Tanah Abang, atau jikapun mau naik jurusan Depok-Kota, sesampainya di Manggarai kita berganti kereta ke jurusan Tanah Abang, tidak bisa ngotot minta keretanya pindah jalur,” katanya.

Karena itun jika dianalogikan, isu kekerasan seksual adalah kereta jurusan Depok-Kota, sementara isu kebebasan seksual atau perzinahan adalah kereta jurusan Depok-Tanah Abang. Jurusan beda, naik keretanya beda.

Taufik melanjutkan, mengapa kedua isu ini memiliki jurusan berbeda? Karena dalam salah satu RDPU Baleg yakni dengan AILA dirinya sempat sampaikan penjelasan itu adalah tiap isu ada kamarnya masing. Tiap kamar ada yang berurutan satu garis menyambung seperti estafet, ada yang beda rel berjalan pararel.

Selain soal isu kekerasan seksual ini dirinya juga pernah jelaskan soal kamar-kamar pembahasan hukum ini untuk isu pemasyarakatan terkait PP 99 soal pengetatan hak napi yang sering disalahpahami beberapa kalangan.

“Jadi isu kekerasan seksual itu akarnya dari perbuatan kekerasan melakukan sesuatu yang tidak dikehendaki seperti memaksa, mengancam, melecehkan, merendahkan. Bentuk dan tujuannya bisa macam-macam,” ungkapnya.

Kekerasan ini bercabang bisa ancaman melakukan atau tidak melakukan sesuatu, bisa juga merendahkan atau melecehkan dengan menyebar informasi diri tanpa persetujuan contohnya seperti yang dilakukan debt colector pinjol. “Nah bisa juga berbentuk kekerasan seksual,” tuturnya.

Kekeliruan proposional terjadi ketika menyatakan Permendikbud ini mendukung atau melegalkan zina karena menekankan persetujuan korban, kemudian menuduh yang mendukung permen berarti mendukung perbuatan suka sama suka.

“Tidak mengatur hubungan seksual luar nikah dalam suatu aturan bukan berarti mendukung atau melegalisasi hal tersebut, lompat sekali pikirannya. Udah capek juga menanggapi cara berpikir seperti ini sebenarnya tapi ya mesti diluruskan supaya tidak tersesat,” imbuhnya.

Dengan adanya kesalahan logika ini mestinya penolakan Permendikbud tidak bisa dikatakan sebagai polemik karena yang terjadi adalah penyesatan berpikir bukan polemik.

“Sayangnya, banyak yang terpengaruh dengan bangunan narasi kesalahan logika karena dibungkus dengan fallacy lainnya yakni argumentum ad passiones dengan memainkan sentimen religius-non religius, sentimen moralitas, stigmatisasi,” tuturnya.

Tuduhan bahwa mendukung pengaturan tentang kekerasan seksual yang konsepnya berarti berpikiran sekuler. Akibatnya sentimen dibangun untuk membuat orang terlibat dalam narasi kekeliruan ini dengan emosi.

“Sayangnya, argumen logical fallacy ini mendapat panggungnya, terlebih dengan pemberitaan bahwa terdapat polemik terkait aturan Permendikbud ini. Padahal bukan polemik melainkan kesesatan berpikir,” katanya.

Argumentasi yang tidak valid dibungkus dengan argumen dan gairah yang memang akan menjadi problematik karena mudah memancing emosi kelompok untuk menjadi pro atau kontra terhadap bangunan narasi ini.

“Jelas bahwa penolakan Permendikbud ini adalah narasi kesalahan logika yang bermisi memainkan emosi publik, memperkuat posisi untuk mendapat manfaat politik,” ujarnya.

Sementara situasi kekerasan seksual di Indonesia sudah darurat, kasus terjadi di mana-mana. Bahkan korban menjadi korban berkali-kali karena perlindungan tidak memadai ditambah narasi penolakan yang semakin menyulitkan korban.

“Narasi ini semakin memperkuat perspektif yang selama ini menjadi kendala dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, yakni non-sensitif, non-responsi, ignorance, yang justru coba dicari jalan keluarnya dengan Permendikbud ini,” tuturnya.

Narasi penolakan ini juga membuat harapan terhadap ruang aman dari kekerasan seksual menjadi terkendala. Semua pihak ingin sekali ruang interaksi sosial terjaga dari sikap melecehkan, merendahkan, predatorian tersebut.

“Jika mau membuka pembahasan tentang isu perzinahan, hubungan seksual di luar nikah, bukalah kamar pembahasan tersendiri, jangan gunakan isu tersebut untuk menghalangi upaya melindungi korban dan membangun kesadaran akan hak kita untuk mendapat rasa aman dari kekerasan seksual,” pungkasnya.


Komisi III Nilai Ada Kesalahan Logika Soal Polemik Permendikbud PPKS