Kukuh Yudha Karnanta, Dosen Unair Peraih Penghargaan Piala Citra FFI

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Kukuh Yudha Karnanta, Dosen Unair Peraih Penghargaan Piala Citra FFI


Bagi Kukuh Yudha Karnanta, film yang keren itu mampu memberikan pengalaman estetis bagi penontonnya. Tak hanya memberikan wawasan, film juga menyentuh perasaan dan mengubah pola pikir. Misalnya, film Perempuan Tanah Jahanam.

AZAMI RAMADHAN, Surabaya

KEPUTUSAN Maya untuk pulang ke Desa Harjosari sudah bulat. Terlebih, dia telah melihat foto masa kecilnya serta menemukan kertas bertulisan Jawa kuno di bekas lukanya.

Sejak itu kesan seram di film Perempuan Tanah Jahanam semakin kuat. Tepatnya, saat Maya memasuki kawasan rumah milik Donowongso, ayah kandungnya, seorang dalang yang bersekutu dengan iblis.

’’Iya sekilas di film itu tak ada yang istimewa. Alur cerita normal, perempuan kota balik ke desa. Tapi, kalau dirasakan, film itu jeru (dalam),’’ kata Kukuh Yudha Karnanta saat ditemui Jawa Pos di Benteng Kedung Cowek Minggu (14/11).

Peraih penghargaan Festival Film Indonesia (FFI) 2021 kategori Karya Kritik Film Terbaik itu mengungkapkan, sejak awal film besutan Joko Anwar tersebut berhasil mendobrak stigma perempuan di film horor yang selalu digambarkan sensual dan erotis. Terlebih memosisikan perempuan sebagai objek hasrat yang memuaskan pandangan pria.

’’Itu nilai di film Joko Anwar. Perempuan menjadi subjek, bukan objek ya. Jadi, lebih luwes dan ’merdeka’ dalam bertindak,’’ terangnya.

Bagi Kukuh, kisah Maya itu menceritakan perjuangan seseorang mengatasi penderitaan sehingga dapat menimbulkan efek emosional mendalam kepada pembaca dan penontonnya.

Jika dilakukan pemaknaan lebih dalam, film Perempuan Tanah Jahanam jelas jauh dari isu perempuan, yang sering menghadirkan perempuan semata sebagai objek tontonan dan sebuah kenikmatan. Film itu juga meruntuhkan segala macam bentuk upaya dan pandangan seksisme terhadap seorang perempuan.

Dosen mata kuliah Film Studies Departemen Bahasa dan Sastra Inggris FIB Unair itu menyebutkan, masih ada beberapa nilai lain yang terkandung dalam film tersebut. Salah satunya, keberanian sutradara Joko Anwar mengangkat martabat film horor Indonesia. Film horor tak harus menampilkan pemodelan hantu secara nyata. Misalnya, pocong, genderuwo, dan suster ngesot. Tapi, film horor bisa mengangkat cerita dan plot latar belakang pembuatannya.

Menurut dia, setting latar belakang dalam film itu sudah kuat. Termasuk rumah ayah Maya, Ki Donowongso, yang memang benar-benar ada di Desa Lemahbangdewo, Rogojampi, Banyuwangi. Dengan begitu, nuansa horor terbentuk bukan dari hantu dan segala pemodelannya, melainkan pengaturan film. ’’Hantu di film itu kan sekilas-sekilas. Nggak sampai menonjol begitu kan,’’ ujarnya.

Menurut wisudawan terbaik Pascasarjana UGM 2013 tersebut, film horor Joko Anwar mampu mengangkat derajat genre horor itu sendiri. Serta, martabat sutradara dan yang terpenting martabat perempuan. Tak ayal, film itu memenangkan penghargaan di Bucheon International Fantastic Film Festival (BIFAN) 2020 serta mendapat Méliès International Festivals Federation (MIFF) Award for Best Asian Film.

Saat mendapat penghargaan di kategori Karya Kritik Film Terbaik, pria 36 tahun itu sempat kaget dan tak percaya. ’’Apalagi yang baca nominasi Dian Sastro. Di hadapan hadirin. Termasuk Joko Anwar juga ada,’’ kata Kukuh, lantas terbahak.

Dia mengatakan mengirim dua naskah kritik film untuk ajang bergengsi itu. Pertama, versi awal artikel yang terbit di harian Jawa Pos, 29 November 2020, dengan judul Perihal Jahanam dalam Film Horor Indonesia. Lalu, di naskah kedua, dia memperpanjang naskah sebelumnya dengan penambahan data dan konsep yang lebih lengkap. Judulnya, Going Gaga Kejahanaman: Martabat dan Pandangan Dunia Perempuan Tanah Jahanam.

’’Sebulan menuntaskan naskah itu. Pas liburan juga. Jadi, ini penulisan artikel kritik film yang paling lama,’’ lanjutnya.

Lulusan Sastra Indonesia Universitas Airlangga itu sangat bersyukur atas penghargaan tersebut karena bertepatan dengan 10 November dan Dies Natalis Ke-67 Unair.

’’Saya persembahkan untuk almamater. Semoga penghargaan ini bermakna bagi universitas. Masiyo penghargaan kritik film ini tidak terindeks Scopus ya,’’ terangnya. 


Kukuh Yudha Karnanta, Dosen Unair Peraih Penghargaan Piala Citra FFI