Mendekatkan Yang Jauh, Meyakinkan Yang Dekat

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Mendekatkan Yang Jauh, Meyakinkan Yang Dekat


Buku ini fakta masih adanya penyeimbang pasar yang meyakinkan. Juga bukti pergulatan pemikiran Goenawan Mohamad dengan seni rupa.

DI sebuah sudut Jakarta, satu tahun kurang dua pekan dari tanggal pemberedelan majalah Tempo, mungkin dengan luka di ulu hati yang belum kering, Goenawan Mohamad menulis:

”Setelah 21 Juni 1994, saya bermaksud menulis yang lain. Saya berangan-angan dapat menulis secara lebih panjang, tidak dikejar waktu, tentang hal-hal yang tak berhubungan dengan peristiwa yang hangat dan yang menjengkelkan. Saya pernah merencanakan menulis, misalnya, bagaimana tubuh ditampilkan dalam lukisan Picasso, Botero, dan Egon Schiele, suatu topik yang ’jauh’ dari kehidupan sehari-hari kita.”

Kenyataannya, 33 tahun sebelum dan 27 tahun sesudah kejadian nahas yang menimpa Tempo itu, yang diangan-angankan dan direncanakan penulis kelahiran Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941, itu terlaksana sebagaimana ada dalam buku suntingan Alpha Hambally dan Hendro Wiyanto ini.

Pada 1977, misalnya, Goenawan Mohamad menulis ”Dari Dunia Superhero: Sebuah Laporan” (halaman 111–127) untuk majalah intelektual terkemuka Indonesia masa itu, Prisma.

Dibaca hari ini, ”sketsa dari dunia kecil buku komik Indonesia” itu menjelma lukisan mengenaskan. Godam dan Gundala betul-betul telah terpukul mundur dari pasar komik Indonesia. Setali tiga uang dengan nasib Mandala, Jaka Sembung, Panji Tengkorak, dan Barda Mandrawata, Si Buta dari Gua Hantu: mereka dipaksa pensiun dari dunia komik silat tanah air, kemudian tamat.

Sekali sempat, pada awal 2000-an, mereka dibangkitkan guna nostalgia penggemar di lalu waktu. Tapi, tak ada yang menggetarkan dari situ. Tak pula menggentarkan para ”aktor besar” dan ”lalat-lalat beracun”, sebutan Nietzsche untuk salah dua penghuni pasar, yang tersurat dalam ”Zarathustra di Tengah Pasar” (halaman 163–192).

Nasib serupa itu kiranya yang terbayang dari ”Gong” (halaman 5–10), ”In Memoriam Trisno Sumardjo: Dan Biarkan Matiku seperti Hidupku: Asing, Janggal, dan Sunyi” (halaman 21–23), ”Sekitar Nashar” (halaman 26–28), ”Wuwei, Dalam Rusli” (halaman 31–33), ”Pengantar Pameran Seni Rupa Baru Indonesia 77” (halaman 49–51), ”Dede” (halaman 65–69), dan ”Setelah Chernishevski, Emansipasi” (Mengenang Oey Hay Djoen, 1929–2008) (halaman 397–411).

Dulu mereka pernah jadi pemain penting di gelanggang kebudayaan Indonesia. Kini mereka seolah-olah cuma sejumlah nama dari masa lalu yang jauh dalam centang perenang arsip sejarah. Perkaranya bukan ”kita tak cukup panjang ingatan”, melainkan kita jahil soal bagaimana semestinya memberikan penafsiran, penilaian, atau penghormatan kepada daya cipta dan karya mereka.

Celakanya kejahilan itu tambah parah dengan pucat pasinya historiografi seni, pretensiusnya kekuratoran, dan tumpulnya kritik seni rupa. Dalam ”Tentang Seni dan Pasar” (halaman 158) dan ”Marion: Pada Kanvas yang Melimpah” (halaman 583), Goenawan Mohamad menyindirnya sebagai lembaga, yang belum bisa menjadi ”pegangan buat penilaian”, dengan penghuni yang gemar ”menggunakan banyak sekali kata, umumnya tak jernih dan final, buat menjelaskan sebuah karya.”

Apa boleh buat, ”pegangan buat penilaian” dan ”hak untuk menentukan pengakuan” (halaman 49) kini hampir sepenuhnya di tangan pasar.

Soalnya adalah pasar mengandung panacea sekaligus bisa berbahaya. ”Pasar, dengan kata lain, bisa mengukuhkan kemandirian kesenian, tetapi bisa juga menjadikannya kehilangan diri,” tulis Goenawan Mohamad dalam ”Tentang Seni dan Pasar” (halaman 158).

Karena pasarlah Berburu Celeng Djoko Pekik bisa terjual Rp 1 miliar, Berburu Rusa Raden Saleh bisa laku Rp 5 miliar, dan The Man from Bantul (The Final Round) I Nyoman Masriadi bisa terlelang Rp 10 miliar. Tapi karena pasar pulalah, karena tak laku di pasar, lukisan-lukisan Trisno Sumardjo, Nashar, Rusli, Dede Eri Supria, dan lain-lain jadi kurang bernilai di dunia seni rupa Indonesia hari-hari ini.

Maka kita pantas cemas: jika tak ada penyeimbang pasar, antara lain penelitian, penulisan, dan penerbitan yang ekstensif, kemalangan serupa itu, sebagaimana sebelumnya dialami gong dan komik, sangat mungkin menimpa lukisan-lukisan Djoko Pekik, I Nyoman Masriadi, Hanafi, Ugo Untoro, dan lain-lain di waktu nanti yang jauh atau boleh jadi sebentar lagi.

Atas kemungkinan itulah buku kumpulan 40 tulisan Goenawan Mohamad ini jadi penting, setidaknya bagi saya. Ia fakta masih adanya penyeimbang pasar yang meyakinkan. Ia bukti pergulatan pemikiran Goenawan Mohamad dengan seni rupa sebagai ”dunia yang hidup dalam produksi kebaruan” (halaman v) dan filsafat seni sebagai ”proses pemikiran yang berangkat dari sikap tak mau menerima begitu saja asumsi, kesimpulan, doktrin yang sudah beredar” (halaman 520).

Dengan itu, pemikiran-pemikiran yang ”jauh” para filsuf dunia, terutama Hegel, Nietzsche, Marx, Heidegger, Benjamin, Adorno, Ranciere, dan Marion, jadi ”dekat” dengan seni rupa Indonesia, pun Barat lewat Dix, Kollwitz, Duchamp, dan lain-lain.

Dengan itu pula ia menebus amal pengetahuan berharga yang tak diacuhkan, bahkan ditinggalkan begitu lama, oleh kaum akademisi seni rupa dan kalangan filsafat di republik ini, entah kenapa. (*)

  • Judul buku: Rupa, Kata, Obyek, dan Yang Grotesk: Esai-Esai Seni Rupa dan Filsafat Seni (1961–2021)
  • Penulis: Goenawan Mohamad
  • Penerbit: Gang Kabel dan Komunitas Salihara
  • Cetakan: Pertama, Juli 2021
  • Tebal: xix + 638 halaman, 14,3 x 21,5 cm
  • ISBN: 978-623-93818-2-0

Mendekatkan Yang Jauh, Meyakinkan Yang Dekat