Pendidikan Melawan Kekerasan Seksual

Jika anda butuh jasa pembuatan blog silahkan hubungi www.oblo.co.id

Pendidikan Melawan Kekerasan Seksual


Diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual menjadi momen penting dalam merespons problem kekerasan seksual di Indonesia, khususnya di area pendidikan.

PERATURAN ini berlandasan Pancasila dan UUD 1945, yang hakikatnya menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak perlindungan dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Peraturan ini pun searah demi menjaga kelancaran penyelenggaraan tridarma pendidikan atau tiga kewajiban yang menjadi asas dalam perguruan tinggi terkait pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 menguraikan pengertian kekerasan seksual sebagai, ”…setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh dan/atau fungsi reproduksi seseorang karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.” Peraturan ini dengan cermat menunjukkan bahwa kekerasan yang terjadi menggunakan ketimpangan posisi kuasa atau relasi kuasa. Tindakan kekerasan seksual diuraikan di pasal 5, mencakup tindakan verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.

Selain mengidentifikasi kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, peraturan ini mengelaborasi langkah-langkah tindak pencegahan yang dapat dilakukan perguruan tinggi. Tiga hal yang ditekankan dalam pencegahan adalah melalui pembelajaran, penguatan tata kelola, dan penguatan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan. Penting sekali dalam rangka menciptakan ruang pendidikan yang adil dan setara, pembelajaran yang diselenggarakan hendaknya memiliki kepekaan dan sensibilitas terhadap isu-isu gender. Sementara itu, terobosan penting lainnya adalah penghapusan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dengan cara memperkukuh tata kelola kampus.

Penguatan tata kelola kampus mencakup perumusan kebijakan turunan yang mendukung pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di masing-masing kampus. Kebijakan kampus ini selaras dari tingkat universitas hingga ke fakultas dan program studi. Demi menunjang layanan pelaporan kasus, memang dibutuhkan layanan pelaporan yang khusus untuk menanggulangi kekerasan seksual di kampus. Pelayanan ini mempertimbangkan kerahasiaan demi melindungi korban. Begitu pula layanan konseling serta pendampingan psikologis untuk membantu korban. Peraturan ini juga mendorong kampus-kampus untuk menunjukkan komitmen menghapuskan kekerasan seksual di pendidikan tinggi melalui penyusunan pedoman hingga pelatihan dan sosialisasi pedoman tersebut. Pasal ini sangat penting sebab acap kali kekerasan dan pelecehan yang terjadi di lingkup kampus tidak ditanggulangi secara profesional dan baik karena tidak dituangkan ke dalam pedoman tata tertib atau tata laksana yang jelas, konsisten, dan baku.

Tujuan menghapuskan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tidak terlepas pula dari penggunaan pendekatan budaya. Dalam peraturan ini digarisbawahi peran komunitas formal maupun informal di lingkungan kampus untuk membangun komunikasi, menyebarkan informasi yang tepat, serta melakukan edukasi terkait dengan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Perguruan tinggi perlu mengarusutamakan topik kesetaraan di mana salah satu bagiannya, yakni advokasi penghapusan kekerasan seksual, dapat dikembangkan menjadi bagian dari penelitian ilmiah, pengembangan pengetahuan, dan diterapkan dalam berbagai aksi maupun program-program pengabdian kepada masyarakat.

Dalam pasal 23 diatur terkait urgensi dibentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Diuraikan secara detail pentingnya menjaga profesionalitas serta kepakaran dalam mempertimbangkan rekrutmen anggota satuan tugas. Saya berpandangan, syarat-syarat yang disertakan misalnya, ”a. Pernah mendampingi korban kekerasan seksual, b. Pernah melakukan kajian tentang kekerasan seksual, gender, dan/atau disabilitas…” Dalam konteks ini, anggota satuan tugas memang memiliki minat serta keseriusan dan keberpihakan pada kesetaraan.

Dalam pengalaman saya menyusun buku saku standar operasional penanganan (SOP) kasus kekerasan seksual di lingkungan universitas bersama Dr Lidwina Inge Nurtjahyo dari Fakultas Hukum UI, kami menyadari betapa beratnya tantangan untuk menciptakan ruang pendidikan yang setara dan aman. Kehadiran Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 memberikan harapan untuk cita-cita pendidikan yang humanis dan berorientasi pada kesetaraan dan keadilan. Peraturan ini secara imperatif memusatkan posisi kewajiban perguruan tinggi untuk mendampingi korban. Pengertian pendampingan tersebut melingkupi konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi, hingga bimbingan sosial serta rohani.

Pada kesempatan menghadiri konferensi internasional pendidikan tinggi terkait dengan pengarusutamaan gender beberapa tahun yang lalu di Manila, Filipina, saya mencermati bahwa negara-negara tetangga seperti Singapura, Filipina, dan Malaysia sudah memiliki perangkat aturan-aturan formal untuk mengeliminasi diskriminasi serta kekerasan seksual di ruang lingkup pendidikan tinggi. Saya berpikir Indonesia perlu mengejar ketertinggalan itu. Terbitnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 sangat vital dan menjadi bagian fundamental mereformasi dunia pendidikan Indonesia yang sungguh-sungguh mempromosikan keadilan dan kesetaraan. Peraturan ini juga sejalan dengan instrumen internasional seperti tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), khususnya tujuan 5, demi mencapai kesetaraan gender, khususnya di ranah pendidikan. (*)

SARAS DEWI, Dosen Filsafat Universitas Indonesia


Pendidikan Melawan Kekerasan Seksual